webnovel

Kejutan

Abel memasuki kamar dengan wajah berseri-seri seperti habis dapat bonus tahunan. Begitu pintu kamar terbuka langkahnya seketika berhenti. Ada sesosok pria sedang duduk bersandar di tempat tidurnya. Abel mendekatinya yang kini sedang tertidur pulas.

Abel menyentuh pundak pria itu. "Abel." Gumamnya sambil membuka setengah matanya.

"Lagi ngapain kamu di sini?"

Tanya Abel sambil membuka hoodie dan menggantungkannya di tempat gantungan baju yang ada di sudut kamar.

"Mama kamu bilang kalau kamu lagi pergi keluar sama teman kamu. Terus kebetulan Mama sama Papa kamu juga mau pergi. Aku di suruh nunggu kamu aja di sini. Ngantuk, ketiduran deh."

Abel berhenti bergerak dan reflek membalikkan tubuhku pada Tristan. "Mama bilang aku pergi sama temenku yang mana?"

Tristan mengernyit menatap Abel bingung yang tiba-tiba menjadi panik. Abel tidak bisa bersikap lebih tenang dan biasa-biasa saja.

"Maksud aku, apa Mama bilang aku pergi sama Nisa?"

"Enggak," Tristan menggeleng. "Mama kamu engga tahu kamu pergi sama Nisa. Jadi, kamu pergi sama Nisa?" Jantung Abel mendadak bergemuruh lebih cepat. Abel menelan ludah susah payah.

Abel mengatur napas berusaha tetap tenang. Tristan tidak akan tahu kalau dia baru saja pergi keluar dengan pria lain.

"Ya, aku pergi sama Nisa. Jadi, tumben malem-malem kamu dateng ke sini. Ada apa?"

Dengan pengendalian diri yang hebat Abel mengalihkan pembicaraan sebelum Tristan menanyakan hal yang aneh-aneh. Seperti pergi kemana dan melakukan apa saja.

Tristan mengeluarkan ponsel di saku celananya, kemudian dengan senyum gusinya mendekati Abel.

"Temen aku ngasih tahu soal decoration buat acara tunangan. Aku udah liat-liat instagramnya. Bagus deh. Coba kamu liat?"

Tristan menyodorkan ponselnya pada Abel yang terpampang feeds di instagram akun decoration pertunangan di layar ponselnya.

Sesaat kemudian Abel berdecak kagum melihat postingan-postingan yang memukau.

"Bagus banget." Ucap Abel. Jempolnya masih mengscroll layar ponsel Tristan. "Mahal ya?"

Wajah Abel berubah cemas. Abel rasa semua wanita pasti akan selalu memikirkan harga sebelum di mulainya bertransaksi. Kecuali kalau memang di lahirkan dari orang yang berduit. Tapi Tristan justru tersenyum kecil.

"Kamu suka enggak? Kalau kamu suka sama dekorasi di situ, kita pakai ini aja."

"Suka sih," gumam Abel. "Tapi--"

"Ya udah hubungi aja nanti nomornya sama kamu."

"Tapi--"

"Enggak usah mikir harga, Bel," Tristan mengusap kepala Abel. "Harganya juga pasti enggak bakal bikin jual tanah." Abel berdecak lalu meninju lengan Tristan, yang langsung dengan sigap di tangkap oleh Tristan.

Pria itu menggenggam tangan Abel. Menautkan jemari mereka yang terlihat pas. Dan merasakan desiran di dada Abel saat Tristan mengecup punggung tangannya.

"Enggak usah mikir harga ya Bel, nanti malah stres. Kalau kamu suka dan mau pakai disitu, aku ikut aja."

"Thanks, ya sayang. Kesibukanmu soal kerjaan ternyata enggak sia-sia. Dapet bonus gede nih pasti tahun ini kalau perusahaan provit."

"Hahaha. Bonusnya gede, tapi otakku juga ngebul, Bel."

Abel cekikikan mendengar penuturan Tristan. Lalu melingkarkan tangannya di perut Tristan. Otomatis lengan Tristan merangul pundak Abel.

Abel semakin mempererat pelukannya, sedangkan Tristan sudah menempelkan bibirnya di rambut Abel lama sekali. Tristan melepas pelukannya kemudian beralih mengecup bibir Abel. Menekannya sebelum dia melumat bibir Abel lebih dalam. Tangan Abel yang masih melingkar di pinggang Tristan terangkat ke atas, dan mengalungkannya ke leher Tristan, membuat aktifitasnya lebih instens.

Abel dibuatnya melayang. Dalam sekejap dia melupakan kencan mewahnya yang gagal bersama Kevin.

Tuhan memang sudah menakdirkan dia dengan Tristan. Bukan dengan Kevin. Paling tidak begitu yang ada di benak Abel saat ini.

***

Abel melihat Annisa sedang sibuk di depan komputernya sambil senyum-senyum tidak jelas. Abel tahu apa yang dilakukannya sekarang, pasti dia sedang chat dengan pacarnya yang bernama Zafir Adiguna Mahesa. Seorang anak konglomerat yang pintar, tampan dan kelewat alim dengan segala kebutuhannya yang terpenuhi tanpa harus capek-capek bekerja. Bahkan namanya sudah paten tercatat dalam daftar pewaris tunggal perusahaan ayahnya yang bejibun itu. Tapi dengan bodohnya pria itu malah bekerja di sini dengan alasan agar bisa bertemu Annisa setiap hari, bahkan dia ngotot tidak digaji pun tidak apa-apa asalkan dia diterima di kantor ini. Demi Annisa.

Di kantor ini tidak ada karyawan yang benar-benar sibuk bekerja. Jika ada karyawan yang sok mondar-mandir sambil membawa-bawa dokumen, dia pasti sedang berpikir bagaimana caranya kabur sebentar dari kantor untuk meminum kopi. Seperti yang dilakukan Samuel sekarang ini. Badannya yang didominasi lemak itu mondar-mandir dengan wajah yang terus mengawasi sekitar agar rencananya berjalan dengan lancar.

Lalu, Guntur, pria dengan wajah lucu seperti bayi sedang serius membaca buku arkeologi yang tebalnya nyaris 10cm. Tapi bisa Abel tebak dia tidak benar-benar membaca buku itu, maksudnya dia menyelipkan majalah orang dewasa dibalik buku arkeologi itu. Jika dipikir-pikir kenapa dia menggunakan buku arkeologi yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan kantor.

Kemudian Jamaludin alias Jems –dia bilang itu nama kerennya- pria dengan tubuh tinggi berotot yang hobinya nge-gym, sedang serius sekali dengan dokumen yang menumpuk di mejanya. Padahal itu semua isinya hanya panduan-panduan cara cepat bagaimana menaklukan wanita di ranjang. Karena menurut kabar yang Abel dengar istrinya itu tidak pernah puas untuk urusan ranjang. Abel jadi geli sendiri mendengarnya.

Bagaimana Abel bisa mengetahui semua yang dilakukan karyawan di kantor ini? itu karena Abel pun sama seperti mereka. Setiap hari Abel menatap komputer bukannya untuk kerja tapi membuka internet untuk melihat setiap horoskop dan membaca semuanya.

Oke, tidak ada karyawan kantor yang benar-benar bekerja, bahkan semua hanya mengharapkan gaji besar dengan bekerja paruh waktu. Tapi mana ada kantor yang seperti itu. Semuanya harus kerja keras untuk menadapatkan sesuatu.

Mungkin ada pengecualian untuk Zafir. Orang seperti Abel? Jangan ditanya. Sudah satu tahun Abel mengajukan dirinya untuk di promosikan. Abel ingin naik jabatan, meningkatkan karirnya lebih tinggi, tidak ingin hanya berhenti di sini saja dengan menjadi staff accounting officer.

Tapi sampai sekarang pun Abel sama sekali tidak di promosikan. Dia malah di rekomendasikan ke Lhokseunawe kalau mau naik jabatan.

Karina berlari kegirangan sambil membawa tumpukan dokumen yang membuatnya susah payah. Abel mengernyit melihatnya.

"Rin." Panggil Abel begitu dia berada di depan meja Abel. Karina menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke arah abel.

"Ya?"

Abel bangkit berdiri dari kursi kemudia mendekatinya dan mendekatkan diri pada Karina.

"Gimana sama promosi gue? Sampai sekarang Niko enggak ngasih gue kesempatan."

Karina adalah sekretaris Niko. Jadi semua yang berurusan dengan Niko menjadi tanggung jawabnya.

Ekspresi wajah Karina berubah menjadi memprihatinkan dengan tumpukan dokumen yang justru membuatnya semakin menderita.

"Semuanya pasti ada jalannya. Elo cuma perlu lebih berusaha lagi Bel. Terus aja bujuk Niko suapaya dia mau memprosikan lo. "

"Lo sendiri tahu 'kan, dia itu bukan tipe orang yang mau di paksa."

Karina mengangkat tumpukan dokumennya yang hampir merosot dengan susah payah.

"Gue yakin, dia pasti mau. Lo cari cara aja supaya Niko luluh sama Lo. Lo itu harus cerdik. Emm.. sedikit licik juga enggak apa-apa." Karina terkekeh dan Abel menatapnya. "Ya udah, dokumen ini bikin berat."

"Ah, ya."

Baru beberapa langkah Karina pergi, dia berbalik lagi ke arah Abel.

"Bel, Lo tahu enggak cabang yang di Serpong udah provit bulan ini. Tristan keren banget naikin penjualan cabang naik pesat, dan ngatasin flow yang awut-awutan jadi beres lagi." Cerocos Karina. "Katanya Tristan mau balik lagi ke pusat. Emang iya?"

"Hah?" Abel tidak begitu mendengar apa yang Karina katakan. Dia melamun memikirkan cara licik apa yang harus dia lakukan.

"Diajak ngomong malah bengong." Dumel Karina. "Laki lo si Tristan mau balik lagi ke kantor ini."

"Apa?"

"Dih ni orang kesambet kali ya. Udah ah gue pergi ya."

Karina melesat membawa dokumen itu meninggalkan Abel. Sampai Karina menghilang dari pandangan keluar dari pintu kaca, Abel masih termangu berusaha untuk mencerna kata-katanya. Tristan provit?

Abel berjalan lemah menuju kursi, dan mengempaskan tubuh di punggung kursi sambil memikirkan cara cerdik yang Karina sarankan. Tapi kenapa nama Tristan dan provit lah yang membuatnya bingung. Apa maksudnya dengan--

Astaga! Kantor cabang sudah provit dan itu artinya.

"Bel."

Abel mendongak saat seseorang memanggilnya. Tapi pikiran Abel masih melayang-layang. Annisa sudah berdiri dihadapan Abel dengan senyum lebarnya.

"Zafir bilang, Tristan bakal balik lagi ke kantor pusat karena cabang di Serpong udah provit. Jadi sebentar lagi kamu bakal ketemu terus sama Tristan tiap hari."

"Apa?" lolong Abel sambil bangkit berdiri.

"Kamu pasti seneng karena kamu sama Tristan enggak akan lagi mempermasalahan kesibukan. Kamu akan ketemu setiap hari sama dia di kantor ini. Kamu pasti seneng banget."

Annisa berujar sambil menerawang dengan wajah yang berbinar-binar.

Ini gawat! Dengan begitu bukan hanya Abel saja yang akan bertemu dengan Tristan setiap hari tapi Kevin juga. Ya, Kevin juga akan bertemu Tristan dan tahu siapa Tristan.