webnovel

Kesalahan

Semasa kecilnya dulu, Helen termasuk anak yang kurang bahagia. Dia memiliki satu kakak laki-laki dan lima kakak perempuan.

Kedua orangtuanya sangat pilih kasih. Mereka lebih menyayangi putra sulung mereka daripada putri-putrinya.

Meskipun begitu kakak-kakaknya masih mendapatkan perlakuan yang baik dari kedua orangtuanya. Mereka sangat ahli dalam mengambil hati kedua orangtua mereka.

Sedangkan dia... karena dia yang paling bungsu, kakak-kakaknya akan menjadikannya kambing hitam membuat kedua orangtuanya semakin membencinya.

Apapun yang dia kerjakan tidak ada yang bisa menyenangkan hati mereka. Bahkan disaat dia mendapat nilai yang lebih bagus dari keenam kakaknya, dia tidak mendapat pujian.

Sebaliknya disaat dia mendapat nilai yang buruk, kedua orangtuanya mencaci makinya dengan berkata dia sangat bodoh, tidak sepintar saudara-saudaranya.

Sewaktu dia masih kanak-kanak, dia merasa sakit dan sedih karena diperlakukan tidak adil oleh kedua orangtuanya. Tidak hanya itu, kakak-kakaknyapun turut menindasnya, menghinanya bahkan mereka berani mengurungnya di kamar selama berjam-jam jika dia memberontak.

Kedua orangtuanyapun tidak akan ada yang memarahi saudara-saudaranya yang kejam terhadap adik bungsu mereka.

Sejak itu, dia berusaha sebaik mungkin untuk tidak melawan. Dia berusaha menghindar dari amukan keluarganya, kalau tidak, dialah yang pertama kali dijadikan tempat pelampiasan.

Helen bertumbuh dengan memiliki sebuah ambisi. Dia akan menjadi lebih berhasil dari saudara-saudaranya. Dia akan membuat mereka semua tidak bisa lagi menindasnya.

Lalu ia bertemu dengan Gardnerr. Dia tahu Gardnerr tidak akan bisa memenuhi ambisinya. Meskipun memiliki sebuah hotel biasa, jika pria itu terus saja mau dikekang ibunya maka dia tidak akan bisa berkembang.

Helen ingin mencari seorang suami yang memiliki kekayaan yang luar biasa untuk bisa membalikkan keadaan.

Itulah semula yang dipikirkannya. Namun saat semakin lama mengenal Gardnerr, sikapnya yang masih hormat dan sayang pada ibunya yang jahat, membuatnya tidak bisa berpaling dari pria itu.

Ditambah lagi, sikap Gardnerr terhadap dirinya penuh dengan perhatian dan pengertian.

Sebagai contoh saat mereka makan bersama di restauran, Gardnerr akan membantunya mengiris daging steak miliknya agar dia bisa memakannya lebih mudah.

Contoh yang lain disaat mereka berada diluar dan sedang hujan deras. Mereka tidak memiliki payung, hanya sebuah jaket tebal tahan air yang dimiliki Gardnerr. Pria itu memberikan jaketnya padanya tanpa pikir panjang hingga jatuh sakit keesokan harinya.

Pria itu juga tidak sombong atau arogan pada tiap orang yang ditemuinya. Tidak sedikit yang mau menjadi teman dengannya.

Semakin lama dia menghabiskan waktu dengan pria itu, semakin mengecil ambisinya untuk menguasai keluarganya.

Tidak masalah jika keluarganya tidak menginginkannya, yang dia inginkan adalah keluarga sederhana namun bahagia di setiap waktu.

Karena itu dia bersedia menikah dengan pria itu. Kebahagiaannya sempurna dengan kemunculan putri kecil mereka.

Joy.. sukacita. Joy adalah pelengkap rasa bahagia mereka berdua. Ketika Joy berusia dua tahun, Joy sering tertawa. Apapun yang dilakukannya ataupun suaminya, anak itu pasti tertawa dengan ceria.

Sangat jarang sekali terdengar suara tangisan dari putrinya. Dia hanya akan nangis kalau sedang lapar atau waktunya ganti popok. Selain itu, Joy selalu tertawa.

Helen sama sekali tidak tahu kapan pastinya... tapi putrinya jarang tertawa dan hubungannya dengan suaminya mulai retak.

Saat suaminya meninggalkan mereka untuk mencari uang, Helen harus merawat Joy sendirian.

Memang Joy jarang menangis, tapi tiap tengah malam Joy akan terbangun dan merengek. Begitu digendong, Joy akan kembali tersenyum.

Pada awalnya, dia tidak masalah menemani putrinya.. tapi setelah berjalan satu minggu, dia mulai merasa capek. Tubuhnya terasa berat dan sakit karena kurang tidur. Dia membutuhkan bantuan seseorang.

Dia mencoba meminta bantuan pada Febe, kakak terdekatnya. Dia merasa lega saat kakaknya mau membantunya meskipun dia harus mendengar ocehannya tiap hari, dia tidak keberatan.

"Suamimu kemana sih? Kok malah meninggalkan kalian. Pasti dia selingkuh dan menyesal menikah denganmu."

Helen mendesah dan tidak menghiraukan ucapan kakaknya. Dia berpura-pura tidak mendengar ocehannya. Dia percaya pada suaminya tidak akan meninggalkannya hanya karena wanita lain. Karena itu dia setia menunggu.

Lagipula, kakaknya tidak meneruskan ocehannya menyadari dia sama sekali tidak menanggapinya.

Dua tahun berlalu dengan cepat. Tiap malam, Helen akan memastikan Joy bisa mengenal ayahnya dengan bercerita sambil menunjukkan foto Gardnerr. Dia juga mengajarkan bagaimana cara memanggil suaminya saat pulang nanti.

Dan seperti yang diduganya, pertemuan antara suaminya dengan Joy sangat mengharukan. Helen sendiri nyaris ikut meneteskan air mata saat mengusap air mata suaminya.

Dia merasa puas saat dia berada dalam dekapan suaminya dan dia sangat menanti-nantikan hari-hari mereka yang akan datang.

Dia tidak tahu harus berkata apa saat suaminya membeli sebuah rumah yang besar atas nama dirinya. Tidak hanya itu, pria itu juga menyerahkan seluruh uangnya dalam kendalinya.

Dia sangat terharu mengetahui suaminya begitu mengasihinya. Tidak pernah terbayangkan dalam dirinya akan ada seseorang yang begitu menyayanginya, memanjakannya, dan melindunginya seperti Gardnerr.

Bahkan dia sama sekali tidak merasakan kasih sayang seperti itu dari kedua orangtuanya maupun saudara-saudaranya. Dia merasa hidupnya sempurna, dan dia sangat mensyukurinya.

Namun segalanya berubah saat dia membiarkan dirinya 'diracuni' oleh rasa benci yang sudah lama ia kubur.

'Suamimu kok malas sih? Kerjaannya hanya di rumah melulu. Dia pengangguran ya?'

'Helen, Helen.. kamu kok mau sih dinikahi pria seperti itu?'

'Sudah ditinggalkan selama dua tahun, malah kembali dengan bermalas-malasan di rumah.'

'Benar. Kasihan sekali si Joy. Dia harus tumbuh besar dengan menyadari bahwa dia memilik kedua orangtua yang bodoh.'

Dari dulu dia dihina, dicaci maki, ditindas, dia sangat membenci mereka semua. Sekarang dia harus mendengar cacian yang sama... terlebih cacian itu ditujukan pada keluarganya.

Tidak bisa. Dia tidak bisa membiarkannya.

"Gardnerr, coba kamu cari pekerjaan besok. Kalau bisa cari pekerjaan yang bisa membuatmu berada di posisi teratas."

"... Helen, kau baik-baik saja?"

"Aku sudah capek mendengar mereka yang terus menghinamu."

Suaminya malah tersenyum padanya dengan santai.

"Tidak perlu menanggapi mereka. Mereka bebas mengucapkan apapun yang mereka mau. Santai saja, ya?"

"Tapi..."

"Ssst.. Nanti kau akan membangunkan Joy."

Helen menatap putrinya berusia empat tahun sedang tidur tertidur pulas disamping suaminya. Dia mengurungkan niatnya dan berusaha melupakan kejadian yang tidak menyenangkan.

Lalu.. kesempatan itupun datang.

"Helen, aku harus bagaimana? Tiba-tiba saja hutang kita sudah menumpuk di bank. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan."

Mendengar keluhan dari salah satu saudaranya, dia menawarkan bantuan. Tentu saja bantuan tercepat yang ia berikan adalah... uang.

Keesokan harinya, saudara-saudaranya yang lainpun ikut minta 'bantuan' darinya.

Semenjak itu, tidak ada satupun yang berani menghinanya. Mereka semua berbicara yang manis, memperlakukannya dengan sangat baik. Mereka bahkan memuja-mujanya dan rajin 'berkunjung' tiap hari.

Setiap saat mereka berkunjung, mereka akan memperlakukan Joy dan Gardnerr dengan sangat ramah.

Melihat perlakuan mereka, Helen tersenyum puas. Namun melihat kenyataan bahwa suaminya pengangguran, dia terus mendengar anjuran saudara-saudaranya untuk menggugat cerai.

Helen sendiri juga mulai terpancing, namun dia masih belum mau bercerai. Dia berusaha membujuk suaminya untuk mencari pekerjaan mengingat keuangan mereka mulai menipis.

Sayangnya suaminya bersikeras tidak mau bekerja membuatnya marah dan memandang rendah suaminya.

Barulah dia terus mengajak suaminya untuk bercerai jika pria itu tidak mau bekerja juga. Semenjak itu kehidupan rumah tangga mereka diisi dengan pertengkaran tanpa memperdulikan putri mereka.

Tanpa terasa sudah berjalan hampir sepuluh tahun semenjak dia bertengkar dengan suaminya.

Helen sudah mulai terbiasa dengan pertengkarannya dan dia hanya berfokus untuk menjadikan kehidupan Joy lebih baik darinya.

Dia akan memenuhi semua keinginan Joy. Seorang anak remaja pada umumnya pastilah menginginkan baju baru, tas indah dan makanan yang enak. Dia akan memberikan semuanya pada Joy, tidak seperti kedua orangtuanya yang tidak pernah memberikan apapun padanya.

Semula dia mengira semuanya berjalan dengan lancar hingga pertengkarannya dengan Gardnerr tadi siang.

Pria itu menantangnya apakah dia mengetahui secara mendalam mengenai putrinya. Dia sadar, dia sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai putrinya.

Dia bisa memberikan apapun yang Joy ingingkan, tapi dia sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali dia melihat Joy tertawa bahagia.

Dan kalimat terakhir suaminya yang membuat jantungnya terasa berhenti.

'Besok aku akan pergi untuk mengurus perceraian kita.'

Selama ini dialah yang selalu meminta cerai, namun saat dia yang diminta untuk bercerai, kenapa hatinya terasa sakit?

Dia tidak ingin bercerai. Sebenarnya dia sama sekali tidak ingin bercerai. Dia hanya asal bicara karena dia sudah terlalu sering mendengar anjuran dari saudara-saudaranya.

Dia menandatangi surat perceraian itu hanya karena dia tahu, suaminya pasti tidak akan menyetujui perceraian mereka.

Lalu sekarang... pria itulah yang meminta cerai.

Helen menghapus air matanya yang menetes saat mendengar derap langkah kaki. Dia menjadi panik saat melihat suaminya menggendong putrinya yang tidak sadarkan diri.

"Joy..." kata-katanya terhenti saat melihat tatapan dingin dari suaminya. Pria itu tidak mengizinkannya untuk mendekatinya.

Dia sama sekali tidak bergerak. Dia tahu suaminya tidak akan membiarkannya menemui Joy. Yang bisa ia lakukan saat ini adalah menunggu.

Helen terus berjalan mondar mandir didepan pintu kamar putrinya. Dia ingin sekali masuk untuk memastikan keadaan putrinya baik-baik saja. Tapi dia juga merasa dirinya tidak layak untuk masuk kedalam.

"..."

Helen berdiri terpaku saat mendengar suara tangisan. Seolah melupakan rasa keraguan sebelumnya, Helen menerobos masuk kedalam.

Dia melihat Joy sedang menangis keras seolah mengalami mimpi buruk, sementara suaminya terus menepuk lembut punggungnya sambil berbisik menenangkan.

"Sst.. jangan takut. Kau aman disini."

Insting seorang ibu, Helen langsung bergerak dan berbaring disisi kanan putrinya yang sedang berbaring menghadap kearahnya; memeluknya dengan lembut.

Helen tidak peduli apakah Gardnerr akan setuju dengan sikapnya atau tidak, tapi prioritasnya saat ini adalah memberi ketenangan untuk putrinya.

Dia terkejut saat melihat pria itu ikut berbaring disisi putrinya yang lain.

Mereka berdua sama sekali tidak saling bicara, hanya terus menenangkan putrinya.

Setelah memastikan Joy benar-benar terlelap dalam tidurnya, barulah Helen bicara.

"Kenapa kita tidak membangunkannya? Bukankah lebih cepat jika dia dibangunkan dari mimpi buruknya?"

"Percuma. Tidak peduli seberapa keras aku membangunkannya, dia tidak akan terbangun. Dia malah berteriak semakin histeris dan seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Satu-satunya cara adalah berbisik di telinganya untuk menenangkannya."

"Apa dia sakit? Apa perlu dibawa ke dokter?"

Helen bisa melihat alis suaminya terangkat.

"Akhirnya kau mau peduli pada putrimu?"

Helen mengatupkan mulutnya berusaha tidak membantahnya. Saat itulah dia menyadari ada yang lain dari wajah putrinya.

Dia melihat warna kebiruan di daerah rahang kiri putrinya. Tidak hanya itu, dia menyadari pipi kirinya agak lebih besar daripada sisi kanan.

Terdapat goresan bewarna merah muda yang menjulur dari tulang pipi hingga dekat ujung bibir putrinya. Goresan itu terlihat seperti bekas luka dengan warna darah yang telah mengering.

Ini bukan bekas goresan pecahan cangkir, tapi bekas sesuatu yang bergerak secara sengaja.

Helen mengelus pipi kiri putrinya dengan lembut. Matanya berkaca-kaca saat menyadari dia telah melakukan kesalahan besar.

Akhirnya, sebentar lagi selesai. Semoga bisa mengakhiri cerita ini dengan baik.

VorstinStorycreators' thoughts