webnovel

Ternyata

Rain yang melihat siapa di depannya sangat terkejut. Pasalnya, yang berhak duduk di kursi itu adalah presdir perusahaan. Otomatis pria sombong yang beberapa hari ini bertemu dengannya adalah bosnya sendiri. Tetapi, dia berusaha menyangkal jika pria itu bukan bosnya.

"Bapak ngapain di situ? Itu kan kursi presdir. Bapak nggak cocok di situ," celetuk Rain.

"Hei, apa katamu?" tanya Kevin dengan sedikit kesal.

"Bapak ngapain di situ, mending Bapak minggir, deh. Itu kursi Pak presdir, nanti Bapak yang dimarahi," ucap Rain.

Kevin memandang Rain sinis, "Coba baca itu," ucap Kevin seraya menunjuk papan nama yang ada di mejanya.

Sedangkan Rain, dia langsung melihat papan nama itu. Sontak matanya terbelalak saat membaca papan nama itu. Dia menelan ludahnya kasar, ternyata yang dihadapi adalah bosnya sendiri.

'Sial! Dia benar-benar Presdir di perusahaan ini,' batin Rain.

Dilihatnya, Kevin tengah duduk di kursi kebesaran dengan senyum smiriknya.

'Awas kau gadis kecil,' batin Kevin.

"Apa? Masih mau ngeyel?" tanya Kevin dengan nada datar.

"Ah, tidak-tidak, Pak. Maaf saya salah." Rain menggaruk tengkuknya tidak gatal, dia benar-benar malu dengan apa yang terjadi. Bisa-bisanya dia berani dengan Pak Presdir.

"Emm, anu Pak. Tadi Bapak memanggil saya, ya? Kalau boleh saya tahu, ada apa? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Rain dengan hati-hati.

"Oh iya, sejujurnya saya malas mempekerjakan orang yang tidak punya etika seperti kamu," ucap Kevin membuat Rain mendongak.

"Pak, jangan pecat saya. Saya butuh pekerjaan ini." Rain memohon agar dia tidak dipecat.

"Tapi, berhubung saya baik hati. Saya akan tetap mempertahankan kamu," sambung Kevin membuat Rain bernapas lega.

"Alhamdulillah, terima kasih, Pak," ucap Rain.

"Hemm. Jangan seneng dulu, ada syaratnya." Ucapan Kevin membuat Rain sedikit terkejut, sebab apalagi yang diinginkan oleh bosnya satu ini.

'Aaa, apalagi sih, kenapa dia begitu menyebalkan. Ingin kubuang saja ke antartika. Mau dimakan beruang kutub atau tenggelam di dasar antartika juga aku nggak peduli,' batin Rain kesal.

"Apa syaratnya, Pak?" tanya Rain dengan malas, tetapi berusaha tersenyum agar tak disangka tak punya etika.

"Kau harus menuruti semua perintahku. Tidak ada penolakan!" ucap Kevin dengan santainya.

"What?" pekik Rain mendengar penuturan Kevin yang terlihat semena-mena.

"Pelankan suaramu, Raina," ucap Kevin dengan nada tegas

"Sorry, tapi kenapa semua?" tanya Rain yang masih cengo mendengar persyaratan yang diajukan Kevin.

"Kau ingin tetap di sini atau mau keluar silahkan saja. Tapi, jangan lupa bayar denda sesuai kontrak yang kau tandatangani tadi. Simpel bukan?" ucap Kevin dengan penuh wibawa, dia selalu punya cara untuk melakukan apa yang diinginkan. Membuat lawan bicaranya tak berkutik adalah cara yang paling jitu.

Rain menghela nafas, "Sudah terlanjur, mau dibuat bagaimanapun saya akan tetap bertahan di perusahaan ini," ucap Rain dengan pasrah.

"Good." Kevin tersenyum tipis, dalam hatinya dia sangat puas bisa membuat gadis pecicilan itu bungkam.

Dirasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Rain akan beranjak dari tempat duduknya tadi. Sebab, dia juga mulai bekerja esok hari. Banyak hal yang harus dipersiapkan, termasuk mental yang kuat.

"Siapa yang nyuruh kamu berdiri?" interupsi Kevin membuat Rain kembali duduk.

"Bukannya udah selesai? Saya kan mulai kerjanya besok, Pak," kata Rain.

"Iya, besok. Tapi buatkan saya kopi dulu, anggap saja ini permintaan maaf kamu karena sudah lancang dengan saya," ucap Kevin.

"Baik, Pak." Rain segera pergi dari ruangan menyeramkan itu, sesak juga berada di dalam ruangan bersama pria sepertinya. Buru-buru dia menuju pantry untuk membuatkan kopi bosnya. Dia tak mau membuat bosnya mengomel tak jelas.

Sesampainya di sana, Rain segera menyiapkan gelas dan lain sebagainya. Dia sangat cekatan membuat kopi tanpa memikirkan kopi jenis apa yang dipinta oleh bosnya.

"Astaga, kenapa aku bisa lupa. Bos itu sukanya kopi apa, ya?" tanyanya kepada dirinya sendiri.

'Dasar bos killer, seenaknya aja nyuruh-nyuruh. Mulai kerja aja belum, udah disuruh-suruh,' batin Rain.

Di lemari, ada beberapa jenis kopi. Mulai dari, latte, cappuccino, dan ada juga kopi pahit. Rain bingung dibuatnya. Harusnya tadi dia bertanya, ingin dibuatkan kopi apa?

"Ya salam, ini harus apa? Aku benar-benar bingung. Ish, dasar pelupa. Apa aku buatin cappuccino aja, ya? Daripada bingung. Au ah, yang penting mah kopi," gumam Rain.

Pilihan Rain jatuh kepada Cappuccino. Masa bodo, yang terpenting dia membuatkan kopi untuk bosnya. Masalah bosnya mau atau tidak, itu urusan nanti.

Rain segera kembali ke ruangan bosnya, dia tak ingin membuat bosnya menunggu terlalu lama.

"Ini kopinya, Pak." Rain meletakkan gelas di meja Kevin dengan was-was.

Sedangkan Kevin terus memperhatikan gerak-gerik Rain. Dilihatnya, kopi yang dibuat Rain adalah cappuccino. Padahal, Kevin tak suka dengan cappuccino.

"Kenapa cappuccino? Saya tidak suka cappuccino. Buatkan saya kopi hitam. Ini minum saja sendiri, salah siapa tidak tanya dulu," ucap Kevin tak peduli dengan raut muka Rain yang berubah muram.

"Baiklah, Pak. Tunggu sebentar." Rain memilih menurut, daripada dipecat sebelum bekerja.

Tak butuh waktu lama Rain membuatkan kopi untuk Kevin, sebab dia sudah terbiasa membuat kopi saat di rumahnya dulu.

"Ini, Pak. Kopi hitam sesuai keinginan, Bapak." Rain kembali meletakkan gelas di depan Kevin.

"Tunggu, biar saya coba." Kevin menyesap kopi yang sudah dibuat oleh Rain.

"Kopi apa ini? Kenapa manis sekali? Saya tidak suka yang manis-manis. Cepat ganti! Kamu mau buat saya diabetes?" kesal Kevin lantaran Rain yang membuat kopi belum juga tepat.

"Astaghfirullah," gumam Rain.

"Baik, Pak." Lagi-lagi Rain harus kembali berkutat di pantry, menuruti keinginan bosnya yang tak ada akhlak itu. Harusnya tadi bilang, jika ingin kopi hitam yang tak manis.

'Sial! Kenapa dia sangat menyebalkan. Tadi mau kopi hitam, sekarang malah disuruh buat lagi. Kenapa nggak bilang aja dari awal kalau mau kopi hitam less sugar, kan nggak perlu bolak-balik pantry. Menyebalkan,' gerutu Rain dalam hatinya.

"Ini, Pak, kopi less sugar. Semoga sesuai dengan keinginan Bapak." Kopi yang dibuat sudah selesai.

"Good, thanks."

"Iya, Pak."

"Oh iya, Pak. Apa saya sudah boleh pulang?" tanya Rain hati-hati, takut salah lagi.

"Pergilah, besok jangan telat!" ucap Kevin dengan nada datar nya.

"Baik, Pak. Terima kasih."

"Hmm." Rain keluar dari ruangan itu dengan bernapas lega, bisa stress lama-lama di kandang singa itu. Dia memutuskan untuk pulang agar bisa beristirahat lantaran besok dia harus mulai bekerja.

Rain sudah memesan taksi online untuk mengantarkannya menuju rumah sewa. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. Hari ini cukup melelahkan walau hanya sekadar membuat kopi untuk bosnya.

"Aku harus menabung kesabaran yang banyak untuk menghadapi bos yang nyebelin itu," batin Rain.

Tak lama, Rain sudah sampai di rumah sewanya. Segera dia membersihkan diri agar bisa beristirahat. Tak lupa dia memberi kabar ke orang tua dan abangnya itu.

[Bang, alhamdulillah. Rain tadi diterima kerja. Abang kasih tahu papa sama mana, ya. Rain mau istirahat dulu. Papay, Abang nyebelin.] satu pesan terkirim untuk abangnya. Rain tertawa kecil saat mengirimnya. Setelah itu, Rain memutuskan untuk beristirahat.

***

Di sisi lain, Kevin merasa cukup senang bisa mengerjai Rain. Entah mengapa dia bisa seperti ini, tak biasanya.

"Cukup menarik bisa bermain dengan gadis kecil itu," gumam Kevin, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya yang masih menumpuk. Dia tipe orang tak suka menunda pekerjaan.

.

.