webnovel

Pertemuan pertama

Sudah dua hari ini Rain menunggu e-mail dari perusahaan. Ada sedikit rasa ragu dalam hatinya, antara yakin dan tidak yakin bisa diterima kerja. Ah, bukan diterima, tepatnya dipanggil untuk interview kerja.

Rain sendiri tak tinggal diam, dia selalu berdoa kepada Allah harap segera mendapat panggilan interview di perusahaan tersebut. Dia sendiri tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah mendukungnya, jangan lupakan sang abang pun mendukungnya bekerja di Jakarta.

Terkadang, sembari menunggu panggilan interview kerja, dia hanya di rumah bersama orang tuanya. Rebahan, scroll media sosial, membantu mamanya mengurus rumah adalah kegiatannya saat di rumah. Padahal, baru dua hari dia di rumah. Rasa bosan sudah menyeruak dalam hatinya.

Maklum, Rain terbiasa dengan berbagai kegiatan saat kuliah dulu. Mana bisa dia tak melakukan apa-apa.

"Aaa, kenapa membosankan sekali," gerutu Rain.

"Pengen jalan-jalan aja mager, nggak ada temen pula. Menyebalkan," sambungnya dengan kesal.

Dia memilih rebahan, meski akhirnya tertidur. Dua jam kemudian, dia terbangun sebab bunyi ponselnya sangat berisik.

Saat melihat ponsel, dia melihat ada email yang masuk.

"Apa dari perusahaan, ya?" guman Rain yang masih mengantuk, bahkan beberapa kali menguap.

Rasa takut dan berdebar kian terasa. Takut jika tak sesuai harapan. Namun, dia harus bersabar. Apapun yang terjadi, dia harus menerimanya. Matanya terbelalak saat membaca email itu, matanya mendadak basah dipenuhi air mata yang menggenang di pelipuk mata.

"Alhamdulillah," lirih Rain, akhirnya dia dipanggil untuk interview kerja. Penantiannya membuahkan hasil, tinggal selangkah lagi.

Rain memberi tahu kedua orang tuanya, tak lupa juga abangnya yang super jahil itu. Ada rasa senang, juga sedih. Sebab, dia akan jauh dari orang tuanya. Dia juga jauh dari abangnya yang selalu melindunginya, menjaga dan menyayanginya. Namun, tak masalah, dia ingin mandiri dan tak ingin merepotkan keluarganya.

***

"Mah, aku berangkat, ya. Jaga diri Mama baik-baik. Jangan sampai kecapekan, ya," ucap seorang gadis yang masih sesenggukan di dalam pelukan sang Mama.

Papanya terkekeh, "Sayang, katanya mau berangkat. Itu keretanya udah mau jalan. Nggak takut ketinggalan, mana yang dipeluk Mama mulu, tapi Papanya nggak dipeluk."

Ucapan sang papa membuat gadis itu tersadar akan tujuannya ke tempat ini. Dia melerai pelukannya dengan sang mama. Dengan sedikit memberenggut, dia mengusap air matanya.

"Papa mengganggu kami saja," kesal gadis yang kerap dipanggil Rain itu.

"Papa baik-baik, ya. Jangan begadang terus, Pa." Rain memeluk cinta pertamanya itu, rasa tak ingin berpisah pun menyelimuti. Namun, Rain berusaha tegar, bagaimana pun dia merantau juga demi dirinya dan keluarga.

"Pa, Ma, Rain berangkat dulu." Rain langsung bersalaman dengan kedua orang tuanya. Sebab kereta api sebentar lagi akan berangkat.

"Girl, tunggu Abang." Reno mengejar Rain sebelum masuk ke dalam kereta, dipeluknya adik kesayangannya itu. Rasanya tak ingin melepaskan pelukan ini, tetapi dia sadar jika adiknya juga harus pergi. Sebab, kereta akan segera berangkat.

"Baik-baik di sana, jangan bandel. Jangan lupa makan." Banyak sekali pesan yang disampaikan oleh abangnya itu, membuatnya tertawa kecil.

"Bang, udah. Aku ketinggalan kereta nanti," gerutu Rain, namun dia sendiri tak sanggup melepas pelukannya.

"Dadah." Rain melambaikan tangan dengan senyum ceria.

Rain segera berlari kecil agar tak ketinggalan kereta. Bisa gawat jika ketinggalan.

"Huft, untung saja aku nggak ketinggalan kereta." Rain bernapas lega, setidaknya dia bisa tepat waktu untuk sampai di Jakarta.

"Pa, Ma, Bang Reno, doakan Rain, ya. Rain pasti merindukan kalian," lirihnya di dalam kereta api. Rain berusaha tegar demi kedua orang tuanya. Dia harus bisa membuat mereka bangga memiliki anak sepertinya.

Perjalanan menuju Jakarta lumayan panjang dan cukup melelahkan. Rain harus sabar menunggu keretanya sampai. Sembari menunggu, Dia menggunakan waktunya untuk tidur. Agar saat sampai di Jakarta tak terlalu lelah.

Beberapa jam kemudian, Rain sampai di Jakarta. Pertama kalinya dia seorang sendiri di kota metropolitan ini. Memang, dia pernah ke Jakarta, tetapi sudah belasan tahun yang lalu dan itu pun bersama orang tuanya.

Rain menghela napas, "Bismillah, ayo Rain, kamu bisa," ucap Rain menyemangati dirinya sendiri. Lalu, beranjak menyeret kopernya. Tak lupa juga dia memberi kabar ke orang tuanya.

Dilihatnya, stasiun sangat ramai, untung saja tadi dia sudah memesan taksi online, untuk mengantarnya ke rumah sederhana yang dia sewa untuk sementara waktu. Ya, Rain sudah menyewa rumah untuk ditinggali selama di Jakarta. Meskipun sederhana, setidaknya punya tempat untuk berteduh.

Rain segera berlalu menuju taksi online yang sudah menunggunya di depan stasiun. Namun, baru saja beberapa langkah, dia sudah.

Bruk!

Seseorang menabraknya hingga terjembab, membuat Rain kesal.

"Hei, kau tak punya mata apa? Jalan aja nggak becus," hardik seseorang itu.

Rain yang merasa tak bersalah pun tambah kesal, bagaimana mungkin dia yang salah. Jelas-jelas, yang menabraknya adalah dia sendiri yang berjalan tanpa menatap ke depan.

"Hei, Pak. Bapak yang salah, kenapa saya yang disalahkan?" kesal Rain, dia masih dalam posisi terduduk. Segera dia bangkit, bisa-bisa makin dicela jika masih terduduk di bawah.

Seseorang itu terperangah saat dipanggil dengan sebutan 'bapak', "seenaknya kamu manggil saya bapak, emangnya saya bapak kamu apa!" ucapnya dengan nada dingin.

"Bukannya minta maaf, malah marah-marah, dasar bapak-bapak," ucap Rain dengan nada kesal.

"Jelas saya marah, lihat baju saya kotor gara-gara kamu." Seseorang itu berlalu begitu saja tanpa meminta maaf kepada Rain.

"Dasar bapak-bapak gila, maunya menang sendiri." Rain juga ikut pergi menuju taksi online yang sudah menunggunya.

"Maaf, Pak. Nunggu lama, tadi ada kejadian yang nggak terduga, masa ketemu bapak-bapak gila," ucap Rain nada yang masih kesal.

"Iya, Mbak. Nggak apa-apa," jawab supir itu.

Perjalanan menuju rumah sewa milik Rain cukup jauh dari stasiun. Jadi, dia baru sampai di rumah sewa setelah dua jam kemudian. Rain turun dari taksi, tak lupa juga dia mengucapkan terima kasih.

Dia melihat rumah sederhana yang disewa. Pekarangan yang tak terlalu luas, dengan nuansa yang sederhana pula. Ada bunga-bunga di depan rumah itu, cocok untuknya lantaran Rain suka menanam bunga-bunga.

Untungnya, pemilik rumah sudah meninggalkan kunci di depan pintu rumah. Jadi, dia tak perlu mencari-cari pemilik rumah untuk meminta kunci rumah.

Rain masuk ke rumahnya untuk meletakkan barang-barang yang dia bawa. Tak hanya itu, dia juga harus membersihkan rumahnya, sebab masih ada debu-debu yang menempel di ruangan, terutama di kamarnya.

"Hah, akhirnya selesai juga. Mana sepi lagi nih rumah," gumam Rain dengan rebahan di atas tempat tidur, setelah tiga puluh menit bersih-bersih.

"Gangguin Bang Reno ajalah." Rain tertawa kecil mengingat betapa kesalnya Reno saat diganggu oleh dirinya.

[Bang?] Satu pesan untuk Reno terkirim, tetapi tak kunjung mendapat balasan dari Reno.

[Bang?]

[Bang Reno, yuhu]

Rain mengirim banyak pesan ke abangnya, tetapi masih saja tak ada balasan. Akhirnya, dia memutuskan untuk menelepon abang jahilnya itu. Namun, lagi-lagi tak diangkat.

"Menyebalkan," kesal Rain. Tak berapa lama, ada notifikasi tanda pesan masuk.

[Apa sih, bocil ganggu aja.] pesan dari Reno sukses membuat Rain tertawa.

[Jangan tidur, temenin ngobrol. Aku belum ngantuk, Kak.] Reno mendengus di balik layar, adiknya selalu saja ada cara untuk mengganggunya. Namun, dia pasti merindukan kecerewetan sang adik.

Mereka berdua berbicara lewat telepon hingga tertidur. Setidaknya, Rain ada teman untuk diajak bicara saat dia tengah sendirian di rumah sewa.

.

.