webnovel

LEGEND OF THE ETERNAL FIREFLY

Ardani lahir 6 Mei 1995, tiba-tiba kembali ke masa lalu setiap dia terlelap. Wulan 6 Mei 1978, bertemu lelaki aneh dari masa depan. Mereka bertemu di tahun 1998, kala itu usia mereka sepantaran. Alam memiliki aturan yang tidak bisa dicurangi. Semesta menyeleksi siapapun yang goyah. Berbagai masalah muncul. Akankah mereka bisa bersama?

Rendy_Brontosaurus · SF
レビュー数が足りません
2 Chs

Teorema Pythagoras

Jakarta, 11 Januari 1998

Wulan keluar dari taksi. Ardani berlari kencang. Preman beserta kenek bus —yang sepertinya saling kenal—berlari mengejar Dani. Ketiganya, tanpa mereka sadari telah membentuk sebuah segitiga magis.

Wulan mengamati Dani lekat, dia sangat menyayangkan kenapa pria setampan itu harus menjadi copet. Dia cukup tinggi, badannya pun bagus, matanya sayu, wajahnya pun bersih, jauh dari kesan yang dipikirkannya tentang copet.

"Dia terlalu menyia-nyiakan bakat larinya." Ujar Wulan dalam hati.

Ardani sedang dalam kondisi tidak baik. Dia mendapati gadis itu —yang baru saja keluar dari taksi—sedang menatapnya. Lekat. Dani mengerutkan dahi. Gadis itu sepertinya belum mandi, pikir Dani. Pakaiannya pun terkesan asal comot, kemeja merah kotak-kotak dengan bawahan rok panjang kotak-kotak berwarna biru gelap. Rambut hitamnya diikat ke belakang.

Secara tidak sengaja, keduanya menatap satu sama lain, meski dalam waktu yang berbeda. Dan, sebagai seorang tamu di dunia ini, tanpa Ardani sadar dia memiliki hak istimewa. Kehadirannya ibarat angka nol sedangkan dunia tempatnya berdiri adalah sebuah bilangan bulat, keduanya tidak bisa berbagi keuntungan.

Untuk menjadi segitiga yang utuh, ketiga sudutnya harus bilangan bulat. Jika tidak, segala hal yang berusaha berhubungan dengan Ardani, akan berakhir tidak baik.

***

Sopir bus yang ditumpangi Dani melanjutkan perjalanan, dia benar-benar kesal harus mengejar setoran. Tanpa keneknya, dia mendorong perseneling bus dan secara tidak sengaja dia menginjak gasnya terlalu dalam. Bus itu mengerang, knalpotnya bergetar, mengepulkan asap hitam. Bus melaju dengan cepat di jalan sempit yang padat.

Karena terlalu panik, kakinya seakan menempel dengan pedal gasnya. Membuat spedometer bus itu naik dengan cepat. Orang-orang berhamburan panik, mereka berlarian menghindari bus yang tiba-tiba melaju cepat. Beberapa mobil membanting setirnya menghindari bus itu, salah satu mobil taksi yang hendak belok ke kampus membanting stir. Mobil itu melaju tanpa arah dan menabrak kenek bus yang mengejar Dani. Mobil itu tidak lantas berhenti setelah menabrak satu orang, mobil itu terus melaju hingga membentur monumen identitas kampus.

Sedangkan bus tersebut beruntung bisa menghentikan lajunya, mobil taksi berjenis Mazda 323 Lantis itu remuk redam. Bodi sampingnya remuk, mesinnya mengeluarkan asap.

***

Ardani menghentikan larinya. Dia berbalik, melihat apa yang terjadi. Jantungnya berdegup memandangi tubuh kenek bus itu berlumur darah. Orang-orang langsung berkerumun. Tubuh Dani panas dingin, bulu kuduknya berdiri. Perlahan, dengan langkah bergetar, dia melangkah mundur, tidak percaya akan pemandangan yang disaksikannya.

Dari sudut lain, orang-orang berusaha menolong orang dalam taksi tersebut. Ardani bernafas lega tatkala mengetahui sopir taksi itu secara ajaib selamat. Tetapi tak lama, beberapa wanita menjerit. Seorang penumpang taksi tersebut berdarah-darah. Beberapa remaja menariknya keluar.

Mata Dani terbelalak, matanya tiba-tiba panas. Entah perasaan apa yang dirasakannya. Dia segera berlari menghampiri penumpang itu, seorang pria, berkemeja putih, dengan wajah yang lembut. Meskipun Dani sama sekali tidak pernah mengenal pria itu, rasanya dia memiliki ikatan yang kuat dengannya.

Seorang pria yang baik. Dani mendorong semua orang yang menghalangi jalannya. Dia menyeruak ke dalam kerumuhan. Tatkala semakin jelas wajah pria itu, air matanya membuncah. Dani bersimpuh di samping tubuh pria itu, genangan darah melebar dari kepala pria itu. Dani menggoyang-goyangkan tubuhnya.

"Maaf, Pak...Maaf" Kata Dani sesak. "Pak Ridwan—"

Matanya benar-benar merah. Mulai muncul rasa menyesal dalam dirinya, apakah ini semua salahnya, dia sungguh menyesal, sungguh.

Di sisi lain, Wulan meneteskan air mata melihat Dani yang menangisi seorang pria. Dia berpikir pria itu mungkin ayah Dani. Perlahan-lahan, Wulan berjalan mendekati lokasi pria itu terkapar. Dia paham betul perasaan Dani, karena dia pun pernah merasakannya. Ingatannya dipenuhi oleh kenangan beberapa tahun yang lalu. Wulan hanya bisa memandangi dari jauh. Mereka berdua menangis.

***

Ambulan datang, disusul dengan mobil-mobil polisi. Dua jenazah itu dibungkus dalam kantung jenazah. Polisi terlihat bertanya kepada beberapa saksi mata.

Wulan menengok kesana-kemari. Dia tidak bisa menemukan pemuda itu. Maksud hati ingin memberinya motivasi, malah seorang polisi yang menghampirinya.

"Selamat siang Dek, saya Ipda Putu, ingin mengajukan beberapa pertanyaan." Kata Polisi itu tegas.

Wulan kaget, salah tingkah, takut, kejadian beberapa tahun lalu telah membentuk cara pandangnya terhadap kepolisian. "Boleh pak, silahkan" Katanya gugup.

"Adek melihat kejadian tadi?" Tanya polisi itu.

Wulan memilih menghindar, "saya baru datang waktu kejadian sudah terjadi pak,"

"Kalau begitu, adek melihat seorang pemuda, 20 tahunan, menangisi jenazah pria penumpang taksi?"

Dia benar-benar ingin kabur dari obrolan ini. "Emm, itu,.. Karena tadi sesak sekali, saya agak samar melihatnya pak.."

Padahal, jika polisi itu bisa melihat pikiran Wulan, polisi itu pasti menemukan gambaran jelas, ketika pemuda itu lari hingga bersimpuh di samping jenazah pria itu. Wulan merekam semua kejadian itu dengan jelas.

"Baiklah kalau begitu, terima kasih." Polisi itu pergi.

***

Langkahnya lesu, ia berjalan terpincang-pincang. Di sampingnya, gedung kampus berdiri menjulang. Ardani berada di jalan sempit belakang kampus. Meskipun itu berada di luar wilayah kampus, beberapa mahasiswa terkadang melewati jalan ini.

Perasaannya masih hancur. Perasaan bersalah terus menghantuinya. Dani yakin, jika dia tidak kemari, jika dia tidak menumpang bus itu, jika dia tidak terlahir, kematian tragis dua orang itu tidak akan terjadi.

Kakinya sakit. Dia duduk di pinggir jalan. Perutnya kosong, dia sungguh sangat lapar. Dia penasaran apa yang terjadi ketika dia tidur di sini. Apakah tubuhnya akan tetap di sini, bagaimana kalau ada yang membangunkan.

Beberapa meter di sampingnya, Dani melihat ada bungkusan nasi yang dibuang, dia menengok sekeliling. Sepi.

Segera Dani mengambil bungkusan itu, membuka karetnya. Masih ada sedikit nasi, mie kuning, dan sejumput sambal. Tanpa berpikir lagi, karena perutnya yang sangat lapar, dia memakannya.

Akan tetapi, nasi itu habis dalam dua suapan saja. Perut Dani masih lapar.

Ia memandangi tong sampah tidak jauh dari tempatnya, beberapa serangga terbang di sekitarnya, kebanyakan berwarna hijau. Sambil menutup hidung, Dani mengurak-arik isi tong sampah itu. Sesekali orang lewat, menatap Dani dengan aneh, kemudian, ketika sampai di ujung jalan, mereka saling membisikan sesuatu dengan teman mereka. Dani tidak mempedulikannya, lagipula dia tidak akan pernah mengenalnya. Bicara tentang memungut makanan dari tong sampah, bukan pertama kalinya Dani terpaksa melakukan ini.

Dari ratusan sampah plastik busuk, di dasar tong sampah itu, Dani menemukan apel yang baru sedikit dimakan. Dia mengantonginya. Tidak ada lagi yang bisa diambil. Dia kembali duduk di pinggir jalan, mengusap apel itu dan memakannya.

***

Setelah kejadian itu, Wulan agak terkejut. Ia baru merasakannya sekarang. Dia duduk di bangku taman, teringat akan ayahnya. Hingga beberapa wanita lewat.

"Kecelakaan tadi itu loh, ngeri banget, gue gak tahu bakal jadi apa kalau ngelihat."

"Eh ya, lihat cowok dibelakang kampus gak?"

"Dia lumayan juga sih, tapi nggak banget ah"

Wulan segera berdiri menghampiri orang-orang itu. "Hei, halo, gue mau tanya bentar boleh gak?"

Salah seorang wanita menjawab, "eh Wulan, apa kabar?"

"Gue baik, denger-denger ada cowok dibelakang kampus ya?" Ujar Wulan terburu-buru. Wulan tidak mengenal gadis-gadis itu, tetapi mereka mungkin mengenal Wulan. Dia terkenal sebagai mahasiswa yang cerdas.

"Iya, ganteng sih, tapi dia ngais-ais sampah." Ujar wanita yang lain.

Senyum mengulir di wajah Wulan. "Makasih ya, sehat-sehat." Dia segera berlari.

***

"Sumpah, masih enak..." Dengan lahap Ardani menggerogoti apel itu.

Hari sudah siang, mungkin sudah tengah hari. Ardani membaringkan tubuhnya di rumput, dia sedikit memejamkan mata, silau akan cahaya matahari yang melewati celah-celah dedaunan. Pagi di tahun 1998 yang sulit. Sama seperti pagi-pagi di tahun 1998 sebelumnya.

Ardani teringat pria-pria yang mengejarnya pagi tadi. Yang berkacamata hitam. Sebenarnya mudah saja untuk menghindari pria-pria itu, dia cukup menuruti permintaan mereka. Tetapi itu bukanlah permintaan yang mudah, jika ketahuan, wajahnya bisa menjadi buronan dunia.

Dia menggigit Apel itu lagi. Kemudian melemparnya ke tong sampah.

Ardani berdiri. Mungkin siang ini dia bisa tidur, kembali ke dunianya, berharap ini semua hanya ada di pikirannya, berharap ini bukan kehidupan nyata. Dia hanya harus mencari taman, atau kebun yang sepi agar tidak ada yang mengganggunya.

Dengan langkah lemas dia berjalan menjauh.

Tidak lama setelah Dani pergi, Wulan datang. Dia melihat tempat sampah yang berantakan.

Dia kesal karena terlambat kemari.

BERSAMBUNG...