Di perjalanan, Imea menoleh ke Uminoke yang duduk di sampingnya di bangku tengah. Uminoke tampak sedikit melamun, membuat Imea berwajah khawatir.
"Mbak Uminoke, kau baik-baik saja kan?" tatapnya.
"Ha.... Oh aku baik-baik saja, ngomong-ngomong Imea, berapa umurmu?"
"Aku 18."
"Hah muda....!" Uminoke menjadi terkejut.
"Bagaimana dengan Mbak Uminoke?"
"Aku 20... Kenapa tinggimu lebih banyak dari padaku... Aku benar-benar pendek."
"Hehe tinggi-ku 169," balasnya, membuat Uminoke terkejut.
Mereka lama melaju di jalan dengan samping kanan kiri adalah hutan.
Tapi tiba-tiba, Line memberhentikannya mendadak, membuat mereka terdiam bingung.
"Ada apa?" Uminoke menatap. Lalu ia menoleh ke depan dan terkejut, sekumpulan zombie mengepung sebuah mobil yang berada agak jauh di depan mereka.
"Mereka sedang apa?" Imea menatap. Line mengamati apa yang ada di dalam mobil itu, yang ternyata ada bayi sendirian di sana. Ia segera memundurkan mobilnya masuk mundur ke hutan.
"Line, apa yang terjadi?!"
"Tetaplah di mobil, aku tak mau kalian keluar satu inci pun dari sini," kata Line sambil beranjak pergi keluar.
"Mbak Uminoke, apa Mas Line akan menghadapi zombie sebanyak itu?"
"Aku tidak tahu, semoga saja dia tidak apa-apa," Uminoke membalas sambil merasa khawatir. Tiba-tiba ada yang membuka pintu, mereka terkejut, tapi setelah menoleh, rupanya itu Line.
"Line?"
"Inih," Line memberikan sebuah bayi pada Uminoke. Bayi itu menangis saat digendong Uminoke.
"Da-dari mana kau dapat bayi ini?" Uminoke terkejut.
"Bayi itu yang dikepung banyak zombie. Meskipun dia bayi, tapi dia adalah nyawa."
"Tapi dia terus menangis...." Uminoke menjadi panik.
"Mbak Uminoke, bisa aku gendong dia?"
"E... E, baik," Uminoke memberikan bayi itu pada Imea. Dengan perlahan, Imea menyanyikan lagu lembut, membuat bayi itu tertidur secara perlahan.
Line yang mendengar bayi itu yang tidak menangis lagi menjadi tersenyum kecil.
Ia segera menancapkan gas dan maju ke arah yang akan dilewati tadi. Uminoke dan Imea terkejut karena zombie-zombie yang agak banyak itu bergeletakan di antara mobil dan bayi tersebut.
"Kau yang melakukannya?" Uminoke berkata pelan. Line hanya menoleh lalu kembali fokus.
Sorenya, mereka ada di sebuah kedai makan yang agak besar.
"Line.... Kenapa kita ada di sini?" tatap Uminoke dengan bingung.
"Istirahat di sini dulu," balas Line.
Mereka turun dengan Imea yang masih menggendong bayi itu. Kedai tersebut terlihat tertutup semua pintunya.
Line terdiam mengamati dari luar kedai itu. "Ada orang di dalam," kata Line.
"Ada orang, itu berarti ada yang masih selamat," Uminoke langsung senang dan berjalan ke pintu.
"Hei tunggu, kau mau kemana?" Line menatap.
"Aku ingin menyusul orang itu, siapa tahu dia bisa membantu."
"Serius? Apa aku tidak cukup membantu untukmu, huh?" Line menjadi menyilangkan tangan.
Uminoke hanya melirik dingin dan melanjutkan berjalan di depan pintu kedai diikuti Line. Tapi saat Uminoke membuka pintu, seketika muncul pisau yang diarahkan oleh tangan dari dalam. Pisau itu akan mengenai wajahnya, tapi Line melindunginya dengan menjadikan tubuhnya pelindung.
Crak!!
Alhasil dadanya yang terkena tusukan pisau dari belakang. Kejadian yang benar-benar tidak terduga, tusukan itu benar-benar sangat tajam hingga menembus tubuh Line karena pisau itu juga bisa dibilang panjang. Darah mengalir cepat dari bawah, kemeja putih dan mantel birunya terkena darah itu hingga menetes ke bawah. Manusia biasa pasti sudah mati dengan serangan itu.
"Ugh... Cough....." Line langsung muntah darah sambil perlahan turun. Imea yang melihat itu menjadi terkejut.
Wajah senang Uminoke menjadi wajah pucat.
"LINEEEE!" ia berteriak.
--
"Hah.. Maafkan aku," seseorang muncul dari pintu itu. Seorang laki-laki yang terkejut.
"M....Mas Line," Imea mendekat.
"Line, Line kau baik-baik saja?" Uminoke menatap sambil memangku kepala Line.
"Maafkan aku, bawa masuk dia," laki-laki itu mempersilahkan mereka.
Di dalam, Line diletakkan di sofa. Uminoke masih menekan luka Line agar darahnya tidak mengalir deras.
"Aku akan ambil perban," kata lelaki itu.
"Aku akan membantumu," Imea mengikutinya.
"(Apa yang harus kulakukan.....)" Uminoke menjadi panik. Tapi ia ingat sesuatu bahwa dia adalah dokter awal.
"(Ya... Benar.... Aku adalah dokter... Aku harus melakukan apa yang dilakukan dokter di saat kondisi seperti ini. Dilihat dari penampilan Line dari awal, dia harusnya kuat menahan serangan itu tadi, tapi aku juga sangat ragu,)" Uminoke melepas kancing baju Line, tapi ia bingung sambil berhenti perlahan-lahan ia menurunkan baju Line yang penuh darah. Betapa terkejutnya dia, tubuh Line penuh dengan bekas luka goresan dan tembakan. Kebetulan mereka ada di ruangan itu sendiri.
"(Bekas luka ini.... Hanya dimiliki seseorang yang sangat terlatih.... Apa dia... Seseorang yang dominan bertarung dengan adu senjata?)"
"Line, kau masih di sana," Uminoke menatap sambil berkata pelan. Tiba-tiba tangan kanan Line terangkat menyilangkan rambut Uminoke yang panjang agar tidak terkena darahnya.
"Sayang sekali, rambut cantik seperti ini harus kotor," kata Line sambil mengangkat kepalanya menatapnya dengan senyum seperti biasanya.
Seketika Uminoke menatap lega lalu memeluknya. "Aku takut sekali," ia sedikit menangis. Line tersenyum sambil membelai rambutnya.
"Kau takut aku pergi, huh.... Aku sudah terbiasa dengan ini.... Uminoke," kata Line.
"Mbak Uminoke, kami sudah menemukannya," Imea tak lama datang beserta lelaki itu. Tapi mereka terkejut dengan apa yang dilihat.
"Hah, ini ini tidak seperti yang kalian lihat!!" Uminoke beranjak dari Line.
"Cepatlah pakai perbannya," Imea memberikannya pada Uminoke.
"Hah, kenapa aku?"
"Aku menggendong bayi ini lah, Mbak Uminoke," Imea melirik.
"Haiz.... Baiklah..." Uminoke menghela napas pasrah lalu ke belakang Line dan menggulungkan perbannya di dada Line. Tapi ia terdiam ketika melihat sebuah tato tribal di punggung atas Line.
"(Tato ini.... Sangat rumit.... Apa tato tribal... Kenapa aku seperti mengenalnya... Aku pernah melihatnya di internet... Kebanyakan tato ini hanya dimiliki mantan tentara bayaran saja.)"
"Apa perban saja cukup untuk mengurangi sakitnya?" lelaki itu menatap.
"Aku akan baik-baik saja," Line membalas. Lelaki itu terus menatap semua bekas luka yang ada di tubuh Line. Ia menjadi terdiam aneh dengan Line.
Tapi mendadak Line meliriknya membuatnya terkejut tidak nyaman dan menelan ludah. "Sebagai permintaan maafku, kalian bisa bermalam di sini," tatapnya membuat Imea dan Uminoke tampak senang.
Malamnya, tampak Line duduk di sofa sambil memakai sebuah kemeja. Lalu lelaki itu datang.
"Aku benar-benar minta maaf," ia menundukkan badan.
Line hanya menoleh dan setelah itu cuek.
". . . Namaku Paol.... Senang bertemu denganmu."
"Tidak ada yang bertanya namamu," kata Line dengan lirikan, membuat Paol terdiam dengan sikap itu.
"Sekarang katakan padaku, kenapa kau ada di sini sendirian?" lirih Line.
"Aku hanya bersembunyi dari para makhluk-makhluk itu. Mereka memakan pacarku..."
". . . Aku tidak percaya itu. Jangan-jangan kau mengorbankannya hanya untuk menyelamatkan dirimu sendiri," lirih kembali Line.
"Tidak, aku tidak akan begitu. Dia yang tergigit duluan dan aku terlambat untuk menyelamatkannya."
". . . Terserah, yang penting aku harus berterima kasih karena mengizinkan kami tinggal di sini dan kami tidak akan mengganggumu, jadi kami akan pergi esok hari."
"Esok hari, tinggal lah di sini bersama para teman perempuanmu. Kalian akan dalam bahaya dan tubuhmu belum sepenuhnya sembuh."
"Aku sudah janji pada Uminoke akan mengantarnya ke stasiun," Line menyela.
Lalu Paol terdiam mendengar itu dan akhirnya mengangguk.
"Tapi serius... Kau benar-benar kuat menahan luka itu.... Apa kau benar-benar manusia atau apa?"
"Ini hanya rahasia semata," balas Line. Jawaban itu membuat Paol terdiam bingung.
Sementara itu, Uminoke membuka pintu ruangan dengan lampu yang sedikit terang dan kasur di lantai. "Imea," dia berjalan memanggil Imea yang berdiri menggendong bayi kecil di lorong rumah itu.
"Ada apa Mbak Umin?"
"Apa dia tidur.... Kau benar-benar hebat."
"Hehe, terima kasih."
"Kenapa kau bisa sehebat itu?"
"Ini bukanlah kemampuan hebat, aku hanya suka pada anak kecil... Setiap pulang sekolah, aku akan mampir ke tempat penitipan anak."
"Tunggu.... Kau... Bekerja sambilan?"
"Ya.... Di sana sangat menyenangkan. Aku bisa memakai apron lucu ditemani banyak teman kecil... Mereka sangat lucu... Tapi sekarang sudah tidak lagi."
"Aku turut berduka, Imea... (Sepertinya Imea tipe perempuan yang lembut pada anak kecil.)"
"Um.. Ngomong-ngomong, apa aku bisa tidur bersama dengan Mbak Uminoke dan bayi ini juga?"
"Oh, kebetulan aku tadi menemukan kasur... Kita bisa tidur bersama," kata Uminoke yang menunjukkan kamar tadi. Lalu Imea mengangguk.
Pagi tersubuh, Imea terbangun karena Paol terus memanggilnya dari belakang. Ia menoleh dan terlihat Paol memberi isyarat untuk ke sini. Lalu Imea dengan rasa bingung berjalan ke tempatnya.
"Aku mohon ikutilah aku."
"Aku harus membawa bayi ini, jika dia ditinggal oleku, dia akan menangis," Imea menggendong bayi kecil. Paol menghela napas lalu mengangguk mengizinkan. Mereka pergi ke belakang kedai.
"Jadi Mas Paol, apa yang terjadi? Kau mau bilang apa?" Imea menatap Paol yang dari tadi membelakanginya. Sikapnya menjadi berubah aneh setelah di belakang kedai.
Tiba-tiba Paol menoleh dengan wajah yang mengerikan.
"Aku ingin kalian mati," Paol mendekap Imea dan merebut bayi itu sehingga membuat bayi itu menangis.
"Ahh," Imea terkejut dan mencoba terus memberontak.
"Kau harus mati di sini untuk jadi makananku," kata Paol dengan tiba-tiba ia menusuk wajah bayi yang ia pegang di depan Imea. Imea hanya bisa terkejut dan menangis karena ia terdekap Paol.
Paol melempar bayi itu dan menjatuhkan Imea.
"Imea, kau benar-benar seksi. Bagaimana jika di sini saja dan jadi pelampias nafsuku?" Ia akan memperkosa dan melecehkan Imea, tapi mendadak sesuatu membuatnya terpukul hingga terpental.
Ternyata yang memukulnya adalah Line.
"Imea, kau baik-baik saja?" Uminoke juga menghampirinya.
"Mbak Umin!!" Imea memeluknya sambil menangis, menunjuk bayi yang telah mati itu.
"Kalian seharusnya tidak ada di sini. Seharusnya kau mati, aku sengaja menusukmu untuk mati agar aku bisa menghabiskan dua wanita ini!!" kata Paol dengan tatapan psikopatnya.
"Tindakanmu tak bisa dimaafkan," Line menarik kerah bajunya dan melemparnya ke jalanan. Lalu mengeluarkan pistol.
"Kau....!! Apa yang akan kau lakukan?!?!" Paol mundur menyeret diri. Dari sisi jalanan ada tiga sampai empat zombie berjalan mendekat.
"Inilah mengapa aku bersikap seperti ini padamu."
Line menarik pelatuk pistol mengenai kaki Paol.
Door!!!
Dia tak akan bisa berjalan dan hanya perlu menunggu zombie-zombie itu memakannya.