webnovel

Chapter 26 Lead The Way

Sementara itu, Line melihat kondisi mobilnya yang baru saja dia naiki tadi. Ia sekarang ada di tengah kota yang sepi dan berantakan. Di sampingnya terdapat sebuah apartemen tanpa penghuni. Salah satu ruangan apartemen itu dipakai Nikol untuk istirahat di dalam, Barbara pun juga ada di sana. Ia melihat Nikol yang masih terbaring tak sadarkan diri, lalu keluar menemui Line yang melihat mesin mobil depan.

"Kemana kita akan pergi nanti?"

"Tunggu sampai wanita itu bangun, kita akan pergi."

"Dia tidak akan bangun, luka miliknya jelas sangat parah dan dia saat itu masih bisa berjalan mendekatimu. Lagi pula di sini terlalu berbahaya, sebaiknya kita pergi ke militer. Di sana menampung banyak orang."

"Kalau kau ingin ke sana, pergilah sendiri. Aku tak mau ke sana," kata Line dengan dinginnya.

"Apa maksudmu? Kenapa kau tidak mau memilih tempat aman?" Barbara menatap kesal, lalu Line menutup mesin mobil dan menatap padanya. "Dengar kau kaum hawa, jika aku ke sana aku akan mati dan kau juga akan mati bersamaku karena tuduhan kerja sama."

". . . Kau... Buronan," Barbara menatap. Line diam cuek lalu mendekat membuat Barbara waspada, tak disangka Line mengangkat tangannya ke kepala Barbara.

"Apa yang kau lakukan?!" Barbara terkejut dan rupanya Line mengambil seekor ular kecil di rambut Barbara.

"Ah...!! (Bagaimana itu bisa ada di sana?!)" dia terkejut melihat ular berbisa itu di tangan Line.

"Ikuti saja aku atau kau akan bahaya nantinya. Btw, kau bisa menyetir mobil?" Line menatap sambil membuang ular itu dengan santainya. Lalu Barbara mengangguk.

"Kalau begitu bagus... Sebaiknya kita ke dalam," Line berjalan masuk ke dalam.

Line meletakkan sebuah peta di meja dekat Barbara. "Peta Jepang... Untuk apa?" Barbara menatap.

"Wabah ini sudah muncul 15 hari yang lalu dan para medis mengatakan Jepang yang mulai terinfeksi. Munculnya wabah ini berasal dari sebuah hujan dan hujan itu rupanya hanya turun di negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang. Jadi di bagian situ sudah terinfeksi semuanya. Dalam waktu 2 minggu lebih tentunya sudah menyebar mulai melalui kapal maupun udara karena mereka hanya penting menyelamatkan diri. Salah satu negara yang tak terinfeksi tentunya jauh dari sini," kata Line.

"Di mana?" Barbara menatap.

"Indonesia."

"Indo... nesia?"

"Menurut perkiraanku, Indonesia sudah lebih dulu mengetahui kabar ini sebelum terjadinya wabah ini. Mereka sudah menutup akses masuk negara lain dan pemerintah mengatakan untuk tetap berada di rumah. Di sana juga belum terjadi hujan apapun selama satu bulan kebelakang terakhir. Jadi mereka akan aman sementara sebelum hujan itu datang melanda. Indonesia mungkin hanya salah satu tempat yang akan menerima kita yang masih selamat, daripada harus ikut militer di sini. Militer di sini memang melindungi... Tapi untuk sementara saja karena virus ini memiliki 10 tahap regenerasi," kata Line.

"Maksudmu... Mereka semakin tumbuh dan kuat?" Barbara menatap.

"Ya... Bisa dibilang begitu. Setiap tahapnya akan menghabiskan waktu selama 10 hari. Jika sudah lewat 10 hari maka mereka akan masuk ke tahap kedua."

"Seperti apa perubahan mereka nanti?"

"Entahlah... Aku juga belum melihatnya, tapi ada yang pertumbuhannya cepat seperti satu tahap hanya menunggu 2 sampai 5 hari."

"Apa... Itu terlalu cepat... !!!" Barbara menjadi terkejut.

"Sama seperti makhluk kanibal yang raksasa itu... Dia aku perkirakan sudah di tahap ke lima. Mungkin dia tumbuh selama satu hari dan bertambah seterusnya."

"I... Itu mengerikan... Jika hari semakin bertambah... Mereka akan semakin kuat dan ganas... Apa yang seharusnya dilakukan?!" Barbara menjadi sedikit panik.

"Salah satu caranya adalah mengebom tempat ini," kata Line.

---

"Uh... Ah... Kenapa sakit sekali," tiba-tiba Nikol berteriak membuat mereka berdua menoleh. Nikol berjalan mendekat dengan pakaian yang hampir telanjang.

"Hah... Pakai pakaianmu," Barbara terkejut sementara Line hanya bersikap biasa. Dia bahkan tak berekspresi penuh nafsu.

"Cih... Tubuhku sangat sakit, hei kau..." Nikol menunduk dan menatap Line yang fokus pada peta.

"(Jika dugaan ku benar, pastinya akan ada kapal yang akan berlayar ke Indonesia. Kapal biasanya akan menunggu 5 hari, mungkin ini sudah 3 hari aku hanya punya waktu 2 hari. Jika berjalan ke sana akan menghabiskan waktu 3 hari, mungkin lewat jalan bebas hambatan dengan sebuah mobil,)" Line masih fokus berpikir.

"Hei, kau yang membawaku kemari bukan? Aku juga telah menyelamatkanmu, mana balasanku?" Nikol duduk di pangkuan Line membuat Barbara terkejut melihat mereka.

"Hoi... Kenapa kau diam saja?" Barbara menatap Line dengan wajah merah.

"Haiz... Tak perlu bersandiwara, aku tahu kau bukan wanita seperti ini," kata Line yang melirik dingin ke Nikol. Lalu Nikol terdiam dan berdiri. Ia berjalan pergi memakai bajunya. Lalu jatuh sebuah tanda pengenal miliknya. Tanda pengenal itu bertuliskan seorang polisi dan sudah jelas Nikol adalah seorang polisi wanita semasa dunia masih normal. Ia lalu melempar sesuatu ke Line yang ditangkap Line dengan sempurna saat duduk.

"Gunakan saja itu, itu sudah tak ada artinya bagiku... Ini semua menjadi aneh... Dan... Pengamatanmu bagus juga soal penampilanku," kata Nikol dengan suara dinginnya.

Line melihat yang ada di tangannya bahwa itu sebuah peluru maglev Jepang yang berkecepatan sangat kuat.

"Kau punya rokok rupanya," Nikol mengambil rokok Line yang ada di baju Line yang tergeletak di kursi. Lalu Nikol menghisapnya satu.

Sementara Barbara masih bingung sendiri dengan sikap mereka.

"(Se... Sebenarnya... Siapa mereka sih... Yang wanita polisi, yang lelaki buronan... Ah... Aku nggak tahu lagi,)" dia mulai pusing dalam kepalanya.

Line menatap Barbara. "Ada apa... Kau bingung?"

"Tentu saja... Sebenarnya siapa kalian sebenarnya?!" Barbara menatap.

Lalu Nikol menghembuskan nafas rokoknya dan berkata, "Ini suatu keajaiban saja... Aku mulai bersikap bodoh amat itu saja... Aku tahu kau Line... Buronan terdepan itu bukan... Semuanya mencari mu saat dunia masih normal. Aku mencoba mencari muka denganmu tapi kau selalu berganti identitas. Siapa sih yang tidak mengenalmu... Manusia yang seperti lahir dari laboratorium... Melakukan berbagai keajaiban... Benar kan?" Nikol menatap.

Lalu Line menghela napas. "Aku bahkan tak tahu masa laluku seperti apa... Ini tak ada hubungannya dengan laboratorium... Aku juga tak lahir di sana... Wabah ini tentu saja bisa membuatku untung dengan lari dari kalian bukan."

"Yah begitulah... Tapi sekarang aku tak mau melakukannya apalagi menangkapmu... Wajahmu tampan, sayang jika harus digebuki... Aku hanya akan ikut denganmu," kata Nikol.

"(Bagus... Sudah diputuskan,)" Line menjadi tersenyum seringai sendiri dengan Barbara yang masih terdiam.

Beberapa lama kemudian Line berjalan ke kamar mandi, ia melihat dirinya di kaca dan melihat akar rambutnya yang berwarna bukan hitam yakni putih dan sedikit perak. Ia menjadi kesal dengan mengepal tangan lalu memakai sebuah topi hitam yang ia dapat.

Di sisi lain, Uminoke dan pria berkulit hitam yang bernama Steve bersamanya di jalanan kota. "(Um... Aku benar-benar kehilangan Line lagi, apa yang harus kulakukan, aku benar-benar mencemaskannya,)" Uminoke berjalan dengan adanya beban pikiran.

Steve menoleh padanya dan berkata, "Dengar nona, sebenarnya aku dari sebuah agen."

"Eh, apa..." Uminoke terdiam.

"Tas yang aku bawa, berisi bom-bom waktu yang tidak aktif untuk jaga-jaga nanti. Aku dikirim untuk membunuh semua makhluk kanibal itu."

"(Kenapa di sini banyak banget yang berkaitan dengan agen sih?!) Kau, dari agen mana?"

"Yang pasti ini adalah privasi kami. Mereka memintaku menyerahkan diriku untuk mengebom wilayah penuh zombie. Jadi aku mencari di mana makhluk-makhluk itu berkerumun. Saat sudah kutemukan, aku akan memasang bom ini di area mereka. Tapi yang lebih tepat adalah... Tidak hanya aku yang diminta, tapi banyak orang yang diminta menyebarkan bom waktu ini di setiap wilayah. Jika sudah tersebar maka Jepang akan meledak bersamaan," kata Steve.

"Itu, berbahaya..." Uminoke terkejut.

"Ya begitulah... Jika tidak begini, kasus ini juga tidak akan selesai. Seorang agen adalah pahlawan juga. Bagaimana denganmu, kau ingin ke mana?"

"Uhm... Aku hanya ingin mencari teman-temanku, merekalah yang bertemu denganku duluan saat wabah ini terjadi."

"Apa mereka bisa menjaga diri?"

"Ya sepertinya begitu, karena mereka pandai dalam hal sepertimu."

"Aku yakin mereka sudah selamat sendiri-sendiri. Salah satu yang akan membuatmu aman adalah kemiliter nona."

"Apa... Tapi di sana... Bagaimana jika yang lain? Apa ada tempat lain lagi?" Uminoke menatap.

". . . Tak ada... Kecuali sebuah kapal."

"Kapal?"

"Di pelabuhan aku punya kenalan di sana, kami baru saja menghubungi lewat telepon sebelum listrik ponsel di dunia ini mati. Dia bilang akan menunggu 5 hari untuk orang-orang yang ingin selamat dan naik kapalnya dan ini sudah 3 hari, mungkin kau akan sempat ke sana."

"Benarkah, ke mana kapal itu akan pergi?"

"Salah satu negara yang belum terinfeksi virus ini. Aku tak bisa menyebutkannya, yang pasti itu hanya satu negara," kata Steve. Uminoke menelan ludah karena ketakutan.

Namun tak disangka-sangka mereka menemukan mobil yang masih bagus di depan apartemen.

"Mobil itu bisa kita gunakan," Steve mendekat. Mereka tak tahu bahwa itu milik Line. Dan Line saat ini berjalan keluar dari apartemen.

"Tunggu, kau akan ke mana?" Nikol yang sudah sadar mendekat menahan lengannya.

"Aku akan menyiapkan mobil. Siapkan barang dan kita akan pergi."

"Kemana?"

"Aku sudah mengatakan pada perempuan itu, kau bertanya saja padanya," kata Line yang langsung berjalan pergi. Saat di depan ia terdiam berhenti melangkah.

"Apa itu bisa diperbaiki?" Uminoke menatap dari depan mobil. Ia tak sengaja menoleh ke depan apartemen dan melihat Line. Steve juga menoleh padanya.

". . ." Uminoke terdiam tak percaya.

"Umin..."

"Line," Uminoke tersenyum senang dan berlari memeluknya. Steve yang melihat itu menjadi terkejut tak percaya.