webnovel

LATHI (LIDAH)

(Kowe ra iso mlayu saka kesalahan, ajining diri ana ing lathi) "Kamu tidak bisa berlari meninggalkan sebuah kesalahan, harga diri seseorang terletak pada lidahnya."

Januar_EL_Capirco · ホラー
レビュー数が足りません
327 Chs

Menemukanmu

Dinding-dinding penuh dengan poster seorang idola maupun foto-foto kebersamaan para sahabatnya, jendela yang terbuka lebar di ruang lima kali lima meter itu.

 

"Randu... Ayo bangun, udah siang ini. Katanya mau ada OSPEK, harusnya bangun lebih awal."

"Nanti dulu saja, ma... Lagian juga kita keluarga berada gak mungkin aku dihukum."

 

Mama Widya yang menarik selimut Randu akhirnya berhasil membuat terbangun dan barulah sekitar lima belas menit menemui keluarganya di bawah, ia sedikit masih kesal bahkan wajahnya cukup muram.

 

Papa Dandi yang sudah selesai menyantap sarapan lebih dulu selalu tidak pernah menyempatkan diri untuk mengobrol dengan anaknya, tetapi lain halnya mama Widya tak pernah absen memberikan candaan maupun menyiapkan segala kebutuhan tiap dibutuhkan.

 

Dengan mengenakan sepeda motor ninja yang baru dibelikan papanya itu sebagai hadiah kelulusan,wajah yang dioles-oleskan cream wajah sebelum berangkat itu membuat mama Widya tertawa melihat tingkah anaknya.

 

Perjalanan yang memakan waktu cukup lama masih membuat Randu bersantai-santai begitu saja, ini tidak cukup juga memasang earphone di telinganya dengan volume cukup keras.

 

Randu yang mengendarai motor dengan kecepatan sedang tiba-tiba saja ia melawan arus di persimpangan jalan raya, dan ada seorang perempuan mengendarai sepeda tua ditabraknya.

 

"Kalau naik motor itu mikir dong, lihat kamu itu ngelawan arus!" Perempuan itu terus menerus mengomel ke arah Randu, tetapi tak mendengar dan malah justru bangun dari jatuh langsung mengelap kendaraannya.

 

Tanpa sedikit banyak waktu dia pergi dengan sombongnya dan melanjutkan perjalanan ke sekolah, tetapi dalam sebuah pemikiran Randu memikirkan perempuan yang baru saja mengalami jatuh karenanya.

 

"Bego sekali aku, kenapa aku tinggalkan dia? Seharusnya aku minta maaf ya, meski kurus dia cantik juga." Randu yang masih di parkiran sepeda dan duduk di motornya melamun begitu saja.

"Hey bro, ngalamun melulu dari gue kenal sampai sekarang mana tadi lo duluan yang berangkat,"

"Kampret, ngagetin aja."

"Lagian lo juga pagi-pagi juga udah ngelamun, mikirin cewek ya? Yang mana ini? Atau jangan-jangan ada mangsa lagi? Bagi satulah."

 

Disaat semua diminta untuk segera ke aula melakukan acara ospek sekolah, Randu terus menerus memikirkan perempuan yang ditabraknya pagi tadi. Sahabatnya itu telah merasakan aneh disaat lamunan temannya itu baru dirasa pertama kali.

 

Acara yang sudah dimulai itu tetap saja membuat Randu dalam lamunannya, sahabatnya sudah menegur berulang-ulang tetapi masih mengeyel.

 

"Aku tidak bisa terus-terusan begini, tadi aku salah tahu, To."

"Kenapa sih bro? Tito gak paham."

"Aku tadi nabrak orang."

"Terus mati?"

"Ngawur, belum juga selesai."

"Ya dah lanjut, bro."

"Aku nabrak dia tapi aneh langsung main cabut gitu aja, ya cuma lihat sedikit sih dia gak papa."

"Body, body semok gak ni? Cantik banget pasti, secara mata ranjang lo itu gak pernah lewat kalau pasal begituan."

 

Mereka yang bercerita panjang tiba saja sambutan meriah dengan greget tepuk tangan, hal itu membuatnya kebingungan sendiri dan melihat kiri kanan lalu mengikuti lainnya.

 

"Ada apa sih?"

"Gak tahu bro."

 

Tak disangka-sangka kemunculan perempuan yang berada di depan telah membuat teman-teman laki-laki semua menertawakan dan membuat suasana gaduh tawa, sementara itu hanya satu laki-laki tak tertawa.

 

Seorang perempuan yang memiliki rambut panjang dengan ikatan dikepang, mengenakan kartu identitas dari kardus berisikan nama; kelas; hobi; dan cita-cita.

 

"Baiklah ini adalah anak termalas hari ini teman-teman, dan lihat wajah maupun tubuhnya penuh lumpur."

"Lihat-lihat namanya siapa?"

"Namanya Rindu."

 

Disaat ucapan nama itu membuat Randu langsung berdiri dan melihat, hal itu tidak bisa karena sebuah layar menutupi perempuan itu. Tetapi dia masih berpikiran bahwa yang di depannya itu adalah orang yang istimewa nantinya.

 

"Buset namanya Rindu, bro."

"Hem...."

"Lo itu ya, ada nama bagus dikit-dikit menoleh. Inget bro, pacarmu Monica mau lo ke manain?"

"Nambah satu lagilah."

 

Rindu yang dipermalukan oleh kakak senior di depan aula diminta untuk melakukan tindakan menari, tetapi hal itu juga tidak membuatnya memberikan tontonan untuk ajang tertawaan orang lain.

 

"Sekarang kamu menari, kan katanya kamu hobi itu."

"Gak bisa kak."

"Kamu harus." 

 

Dia yang dipaksa oleh kakak seniornya tiba-tiba saja seorang lelaki dari teman-teman lainnya berlari menuju ke depan aula dan Rindu ditarik begitu saja, mereka yang terselamatkan karena akan ada sambutan kepala sekolah.

 

"Makasih ya, namaku Rindu Widyoningrum. Kalau kamu?"

"Jono Praditya, sering dipanggil Jojon."

"Rindu bolehkan manggil Jono? Biar beda begitu."

"Boleh-boleh."

 

 Mereka yang mengikat sebuah perjanjian untuk duduk bersebelahan akhirnya banyak cerita dikeluarkan, tetapi tentunya juga memperhatikan sebuah sambutan kepala sekolah dalam penyelenggaraan penerimaan siswa baru.

 

Kegiatan yang berlangsung hingga sore hari itu telah dirasakan cukup begitu gerah, dia yang langsung meninggalkan tempat tersebut harus melakukan sebuah siasat untuk beralasan pergi ke kamar mandi.

 

Randu yang melakukan hal tersebut tentunya juga dilakukan sama dengan sahabatnya Tito, mereka berdua yang masing-masing ke kamar mandi menunggu hingga selesai acara.

 

Randu terus memikirkan perempuan yang ia tabrak itu sangat berlama-lama di kamar mandi, tiba-tiba saja Rindu mengetuk pintu karena sudah cukup lama menanti.

 

"Halo, siapa ya yang di dalam? Tolong buruan."

"Sabar, sebentar lagi."

 

Acara yang sudah usai itu akhirnya membuat Randu baru saja keluar dari kamar mandi, dan ia tak menyangka jika pertengkaran keduanya terjadi. Hal itu juga membuat Tito terpanah.

 

"Kamu?" Randu yang melongo itupun tiba-tiba saja dipukul.

"Loh ? Kamukan yang tadi? Sekarang kamu harus tanggung jawab, lihat itu sepedaku kamu rusakin."

 

Randu yang ditarik Rindu menuju ke tempat parkir dibuntuti oleh Tito maupun Jono, mereka yang masing-masing membawa tas milik temannya itu langsung melihat keduanya bertengkar.

 

Pertengkaran itulah awal perkenalan keduanya, dan dengan menyandang anak rumahan Rindu terpaksa harus pulang lebih cepat. Randu yang memberikan sikap dingin itu enggan mengucapkan minta maaf.

 

"Sekarang kamu minta maaf, lihat kelakuan kamu."

"Randu males."

"Rindu maunya sekarang, sekarang kamu minta maaf."

"Gak, gengsilah."

"Serah, Rindu mau balik aja. Dasar orang kayang kayak gitu sukanya."

 

Jono yang memberikan tasnya tiba-tiba saja nampak terburu mengambil sepeda lalu meninggalkan sekolah, bahkan Tito yang terkesima akan kesederhanaan Rindu mencoba mengikuti tanpa memandang bulu sahabatnya ditinggalkan.

 

"Dasar itu anak, main nyelong aja kalau urusan cewek."

"Lagian juga Randu nabrak si Rindu."

"Eh culun, ngapain kamu di sini? Sana pergi!"

"Dasar cowok berponi."

"Ape kamu kata?"

"Gak kok, enggak. Canda, kayak cewek PMS aja."

"Udah sono pergi."

"Iya, dasar cowok."

 

Randu yang sendirian itu akhirnya menaiki sepeda motornya dan meninggalkan sekolah, dia seperti biasanya menongkrong di cafe langganan disaat masih SMP.

 

Di dalam perjalanan tidak sengaja dia melamun lalu menabrak marka jalan, kejadian itu tentunya membuatnya terluka dan tangan kirinya tertimpa badan motor.

 

Seorang lelaki tua itu membantu Randu berdiri, tiba-tiba saja mengulurkan tangan diberikan sebuah cincin merah delima. Dalam sekejap ketika ia sedang mencoba mengenakannya badannya terasa sehat bugar.

 

"Ini apa, kek? Loh... ke mana perginya kakek tadi?"

 

Randu yang clingak-clinguk kebingungan mencari kakek yang menolong sekaligus memberikannya sebuah cincin merah delima, dia yang memiliki sikap penakut langsung pergi begitu saja.

 

Setiba di rumah tanpa basa-basi biasanya ia langsung menuju ke kamar, dengan masih mengenakan baju seragam dibukanya laptop miliknya itu untuk mencari tahu mengenai cincin.

 

Keanehan yang terpojok ketika ia hendak merasa panas pada jari manisya, seketika itu Randu mencoba melepaskan justru bernasib sial. Jarinya malah terputus.

 

"Tidak...." Teriak Randu yang terdengar oleh mama Widya, sontak kejadian tersebut membuat kepanikan tersendiri dan tanpa permisi langsung menyelonong masuk ke kamar.

"Ada apa sih, Ran?"

 

Randu yang tidak sanggup bercerita hanya memberikan sebuah senyum yang meringai, dia yang terpaksa menutupi kebohongan terhadap mamanya akhirnya berhasil melepaskan cincin itu ketika ada darah di tangan mamanya yang menyentuh pundaknya.

 

"Gak papa kok, ma. Tadi ada kecoa kecil aja kaget."

"Lain kali jangan diulangi lagi, gak baik teriak-teriak."

 

Mama Widya yang meninggalkan kamarnya itu dia langsung menutup pintu dan menguncinya, Randu yang kelabakan bingung tentunya melihat jarinya kembali utuh.

 

"Lebih baik aku cari informasi mengenai cincin delima nanti saja, aku sudah janji ke rumah Tito buat ngerjain pekarya. Tapi gimana coba cari buah semangka yang isinya benar-benar merah, ada aja si senior itu."

 

Randu yang selesai berganti baju dan mandi siang hari itu mencoba untuk tidak menggunakan sepeda motornya, ia yang menaiki taxi mencoba membuka pintu tetapi ada sosok yang mengikutinya.

 

Sopir taxi yang ketakutan langsung meminta dia untuk keluar dari kendarannya, Randu kesal akan kejadian tersebut dan memerintah untuk melakukan sesuatu.

 

"Sekarang, kamu tabrakan taxi ini ke marka jalan raya. Sekarang!"

 

Taxi itu yang melaju cukup kencang benar-benar menabrakan diri ke marka jalan, sopir yang tewas itu berbeda lainnya dengan Randu yang keluar dengan kondisi baik-baik saja.

 

Randu yang langsung meninggalkan tempat tersebut menyebrang jalan dan tidak ingat akan peristiwa terjadi itu, pikirannya hanya tertuju kepada sebuah taxi baru dan menuju ke rumah Tito.

 

Dia yang tidak mendapatkan taxi akhirnya berjalan beberapa langkah dan anehnya rumah Tito yang jauh itu membuatnya tiba lebih cepat dari kendaraan lain, Randu yang semakin tidak tahu apa yang diperbuatnya meminta sebuah minuman.

 

"Lo gak papakan, bro?"

"Capek aja habis lari, btw aku minta minum dong. Haus."

"Air putih ya, bro?"

"Sip."

 

Tito yang memberikan air mineral itu juga meninggalkan Randu sendiran di rumah karena pasalnya mengambil pesanan semangka di rumah tetangga, dia yang tidak sengaja ketika minum di dalam gelas cincin itu terlepas.

 

"Buset, kok malah jadi merah begini ini air?"

 

Tito yang teriak-teriak dari luar membuat Randu panik dan seketika mengambil cincinnya yang terlepas lalu memakainya, ia yang keluar untuk melihat beberapa semangka.

 

"Ini ada lima, bro. Tapi gue nyerah mau yang mana gak bisa melihat kalau urusan warna di dalam. Eh, sebentar ya bro."

"Mau ke mana lagi?"

"Gue lupa ngambil kardus, ya kan besok suruh bawa semangka terus bikin kerajinan. Jangan bilang lo lupa."

"Ha ha, iya Randu memang pelupa."

 

Ketika Tito masuk ke dalam Randu berusaha untuk berpikir memilih semangka yang diberikan sahabatnya itu, dengan kebiasaan buruknya dia mengemut sebuah jari manis dan mengenai cincin delimanya.

 

Randu yang bisa melihat semangka yang matang itu masih belum bisa memahami akan apa yang terjadi pada dirinya, dia yang semakin kacau itu mencoba meyakini dirinya lalu memukul semangka tersebut dengan hanya menggunakan jari manisnya kembali bisa terbelah.

 

"Buset, ini beneran sakti aku?"

"Siapa yang sakti, bro?"

"Bukan apa, oh iya aku rasa ini cuma ada dua yang mateng. Secara yang satu udah kebelah."

"Tapi gimana bisa lo yakin? Secara lo bukan dukun ataupun pesulap."

"Udah sekarang kita mikirin gimana ini kerajinannya saja."

 

Mereka yang akhirnya melanjutkan membuat sebuah pekarya diminta senior itu membuat Randu kesal dan merasa lelah, pekerjaan yang belum selesai itu terpaksa ditinggalkan oleh Tito.

 

"Bro, sorry. Gue tinggal lagi ya, soalnya bapak di kebun nanti kasihan lagi jalan lagi."

"Siap, biar Randu yang menyelesaikan ini semuanya."

"Sombongnya sekarang."

"Udah sana."

 

Seketika itu juga Randu kembali melakukan sebuah hal yang diluar kendali manusia pada umumnya, dia yang mengerjakan sebuah pekarya tanpa menyentuh sedikitpun dan berhasil menyelesaikan hanya hitungan beberapa detik saja.

 

Dia juga tanpa lama-lama di rumah Tito tidak menunggu kembali sahabatnya langsung meninggalkan begitu saja, Randu yang pulang petang hari dengan jalan kaki tiba-tiba saja bertemu dengan anak bayi yang digendong ibunya. Kejadian tersebut tak banyak waktu membuat tangisan langsung terpecahkan,

 

Bayi yang digendong ibunya itu seketika kejang-kejang disaat menatap Randu, bahkan bisiknya membuat keanehan kembali. "Berhenti bernafas, sekarang!"

 

Ibu sang bayi itu mencoba membangunkan anaknya kembali dengan bersusah payah tetapi tidak juga membuka mata, Randu yang ketakutan itu langsung meninggalkan tempat tersebut. Di jalan yang semakin gelap dengan kondisi keringat dingin membuatnya susah menerima akan yang menimpanya.

 

Mama Widya yang merasakan keanehan pada anaknya itu kembali mengecek keadaan tersebut dan benar Randu merasakan keringat dingin yang cukup serius, tetapi ketika diundang para medis tidak ada gejala maupun sakit yang dideritanya itu.

 

Papa Dandi yang pulang dengan keberadaan cukup capek memanggil mama Widya, mereka yang selalu saja ribut tentunya sudah hafal akan apa yang terjadi setelahnya.

 

"Mama itu apa sih kerjaannya? Di rumah juga, harusnya mama itu bersyukur sudah papa belikan semuanya dan setiap waktunya uang juga ada. Kenapa kita gak nyewa ART aja sih?"

"Maaf, pa. Hari ini mama juga sedikit tidak enak badan, belum juga cucian baju cukup begitu banyak. Belum juga mama belum terbiasa menggunakan mesin cuci yang papa belikan."

 

Papa Dandi yang melalukan sebuah tamparan dan membuat keributan tidak sengaja terdengar di telinga Randu, dia yang tiba saja terbangun dan membalas perilaku papanya itu.

 

Pertengkaran dengan sebuah adu mulut terus menerus terjadi tanpa sedikitpun mengalah, dan bahkan tangan Randu seketika meraih pisau yang tidak jauh dari meja lalu melambungkan ke arah papanya.

 

Secara tidak sengaja Randu justru mengenai tangan mama Widya hingga menimbulkan bekas sayatan kecil dan mengeluarkan darah, seketika itu juga pertengkaran berhenti keduanya.

 

Papa Dandi yang tidak terima akan perilaku anaknya langsung menggampar, Randu yang bingung itu hanya berlari menuju ke kamar dan menguncinya.

 

"Sebenarnya aku ini kenapa sih? Jadi begini amat. Sungguh semuanya buat aku semakin diluar kendali waras."

 

Randu yang mencoba untuk tidak ikut makan malam bersama keluarganya justru memilih keluar rumah secara diam-diam, ketika semua selesai menjamu hidangan ia pergi menggunakan sepeda mininya itu.

 

Dengan sepeda yang melaju cukup jauh dirinya menghentikan sepedanya dan mencoba membuka laptop dibawanya itu, Randu yang mencari tahu akan keberadaan kekuatan yang ada dalam cincinnya itu akhirnya menemukan.

 

"Menurut internet jika cincin merah delima memiliki kekuatan dalam segi perlindungan, kerezekian, keberuntungan, dan kewibawaan. Ini yang aku baca gak salah ini, terus apa ini? Jika ingin berinteraksi tinggal mengusap-usap dengan darah ayam jemani, huh... ada baiknya aku coba."

 

Ketika hari sudah cukup malam dia mengurungkan niat untuk melakukan sebuah ritual yang dibacanya itu, dan bahkan harus segera pulang. Randu yang mengayuh sepedanya itu tiba-tiba saja terbisikkan sesuatu. "Aku lapar, ambil jantung bayi sekarang!"

 

Perintah itu seketika membuat Randu mencoba untuk menepi dan kebetulan jika ada seorang perempuan berjalan di depannya meringis kesakitan, keberadaan yang itu tentunya tidak dilewatkan olehnya.

 

"Pukul orang itu, bedah perutnya!"

 

Randu yang mengambil pisau di dalam tasnya itu langsung menerkam perempuan itu dengan membabi buta, sebuah teriakkan kecil semakin membuatnya beringas dan menyeret ke dalam gudang tak jauh dari ia berdiri.

 

Dia yang menyumpal mulut perempuan itu dengan handuk di tasnya dan mengikat tangannya hanya menyisakkan alas tubuh dengan kresek karung goni untuk melahirkan, Randu yang langsung menjilat-jilat cincin merah delima itu melakukannya berulang-ulang.

 

Tangis bayi yang sangat pecah itu dibunuh Randu dengan pisau kecilnya itu, sayatan demi sayatan yang tampak ngeri itu tiba-tiba keluar sosok laki-laki tua berubah menjadi muda kembali dengan tinggi lebih dari dua meter.

 

Perempuan itu sangat menelan air liur dan tidak habis sampai disitu juga ia ditendang Randu lalu untuk menghilangkan jejak dengan kekuatan yang dimiliki mengangkatnnya dibuang menuju mesin penggilas, seketika itu juga tidak ada sedikit bukti jika adanya sebuah pemeriksaan.

 

"Pulang, aku ingin pulang. Sekarang kita pulang." Bisikkan itu dilakukan Randu kembali hingga di rumah barulah ia tersadar jika usai membunuh, tubuhnya yang penuh darah memaksakannya untuk mandi lalu memejamkan kedua matanya.

 

"Hitung-hitung ngeri juga ini cincin, memang keuntungan buatku. Ha... ha."