webnovel

telepon dari orang tua

Bara pelan pelan membuka pintu kamarnya, kemudian ia berlanjut namun entah kemana. Aku pun tidak tau, hal hasil Bara duduk disofa dalam ke adaan nyawa belum terkumpul sepenuhnya.

Bara duduk memejamkan matanya, ia juga terlihat seperti orang yang melamun.

Tak lama setelah itu, Bara meletakkan tubuhnya kembali di sofa.

"Aku bingung, tapi aku tau."

Mata Bara kembali terpicing setelah ia selesai berbicara.

"Ckk..."

"Bagaimana kau ini Bara," cetus Zean, yang melihatnya tidur.

Sebenarnya aku tidak ingin membangunkan Bara, tetapi ini sudah mau sore, hal hasil dengan terpaksa aku membangunkannya lagi.

"Bara bangunlah, aku ingin ke pasar dulu, kau harus merapikan dirimu. Bara ini sudah mau malam, kau bisa mandi sekarang, kalau begitu aku pergi dulu," Zean mengambil kunci motornya, ia meninggalak Bara begitu saja. Entah Bara mendengarnya atau tidak, yang penting Zean pergi.

Bara membuka matanya kembali pelan pelan, ia memijit keningnya. "Ahh sial, sampaimana tadi mimpiku," setelah ia ngomong seperti itu, Bara barulah benar benar sadar. Nyaeanya kini seratus persen sudah kembali.

"Oh ia, kemana Zean?" tanya Bara yang baru sadar.

"Sedari tadi aku tidak mendengar suaranya, apa dia sudah menghilang?" Ia sengaja pura pura menangis, karena ia tidak melihat Zean.

"Huhuhu, selamat jalan Zean," ujar Bara menundukkan setengah badannya.

"Ahh sudahlah, drama macam apa itu tadi. Aku mau mandi saja, Zean hanya pergi ke pasar ia kan?"

***

Bara hanya melihati nasi, dan lauk pauk yang berada di atas meja, saat Zean sudah menaduh ke piringnya, namun Bara sama sekali tidak ia hanya melihati saja. Bara sama sekali tidak menyentuh apa pun itu yang berada di atas meja.

"Mengapa?" tanya Zean menuangkan air ke gelas.

Bara diam saja.

"Apa yang terjadi Bara?" tanya Zean sekali lagi.

Tetapi tetap saja Bara diam.

"Apa kau tidak suka dengan menu makanan kita malam ini?" tanya Zean memastikan ke inginan Bara.

"Jelas jelas bukan itu."

"Lalu apa, apanya yang salah?"

"Tidak ada yang salah, aku hanya malas memasukkan nasi itu ke dalam mulutku sendiri, aku menunggu seseorang untuk menyulangkannya," cetus Bara melirik.

"Ouuwh, manja sekali bukan. Bagaimana jika tidak ada orang yang ingin menyulangkan nasi itu kepadamu?"

"Aku akan melihati mereka, lalu aku berkata: "tidakkah di antara kalian melihat seseorang di sini, padahal ia jelas jelas berada di sini."

"Oyy, entah mengapa aku merasa tersindir dengan ucapan itu, andai saja aku memiliki tukan kebun, ke mungkinan ialah yang kusuruh untuk menghadapi hal ini," cetus Zean sambil meledek.

"Aku juga berharap ada tukang kebun disini, agar dia bisa memperhatikanku. Tapi aku tidak mau dia jatuh cinta denganku."

Percakapan rendom di antara keduanya, terus terusan sampai mereka sendiri lupa untuk makan.

"Apakah kita akan nganggurin makanan yang sudah di atas meja?" tanya Zean menarik kursinya mendekat ke Bara.

"Tidak! Hayo katakan. Aku akan memyulangimu Bara," ujar Bara dengan senafas.

"Baiklah, aku akan menyangimu Bara, dekatkan bangkumu."

Bara mendekat ke Zean, ia duduk di samping Zean, sembari meremas remas paha Zean.

"Sekarang buka mulutmu," ujar Zean yang sudah siap menyulangi pacarnya itu.

"Aaakk..." Zean menyuapin Bara makan malam saat itu.

Bara membuka mulutnya, ia menikmati setiap sulangan yang di berikan Zean untuknya.

"Bagaimana rasanya enak?"

"Enak, memangnya apa pernah masakan Zean gagal?" ucap Bara melempar pertanyaan.

"Entahlah, aku juga tidak tau. Hanya kau yang merasakan masakanku selama ini, sedangkan orang lain belum pernah. Ada dua ke mungkinan, pertama apakah benar masakanku benar benar enak, atau yang ke dua sebenarnya tidak enak. Tetapi lidahmu sudah terbiasa menikmatinya."

"Siapa bilang, masakanmu memang enak, kalau kau jadi ikut menjadi lomba memasak kemungkinan kau menang."

"Kau benar aku akan menang, jika pesertanya hanya ada aku," ujar Zean tertawa.

"Zean terimakasih ya."

"Buat apa?"

"Buat selama ini, aku benar benar beruntung memilikimu."

"Aku juga beruntung bisa menjadi milikmu, aku bahagia selalu. Jika aku bersamamu, disitulah aku merasa sempurna."

Kringg kringg... tiba tiba hp Bara berbunyi. Ia melihat ponselnya, ternyata itu dari orang tua Bara.

"Mengapa kau tidak mengangkatnya?"

"Ini dari ibu tiriku, aku malas buat mengangkatnya."

"Angkatlah, aku tidak akan ribut, apa yang ia katakan nantinya."

"Tapi aku malas, aku lebih suka jika ia tidak menghubungiku."

"Sini," Zean mengambil hp Bara, ia kemudian mengangkat telfon, dan membuat spekernya agar terdengar kuat.

"Nah," kembali memberikan ke Bara.

"Halo anakku, apa kabarmu?"

"I- ia mah, ada ap?"

"Hmm... begini, kau taukan anakku yang laki laki, ia akan ke kota dalam beberapa hari ini," jelas wanita itu.

"Lalu apa yang harus aku lakukan jiak ia ingin kemari?"

"Kau taukan sayang, kau sudah lama di kota, kau harus menyediakan dia temoat dong buat sementara, atau kau bisa buat sementara menanggung kakak laki lakimu itu, ia kan. Bagaimana pun juga itu tetap kakakmu, ingatkan bagaimana kau ku hantarkan ke kota, dengan papamu," ungkit wanita itu mengingatman semuanya.

"Ia aku tau, aku akan membiarkannya tinggal," ujar Bara terpaksa.

"Oke, baiklah kalau begitu anakku aka tinggal di sana, di temoatmu berada."

"Aku tidak menyuruh dia buat tinggal barang denganku."

"Ahh kau ini pelit sekali dengan saudaramu."

"Aku disini juga kos, bagaimana aku menerima dia? Aku hanya berkata dia boleh tinggal denganku, bukan menginap denganku."

"Apa apaan maksutnya itu, aku tidak mau tau anakku harus tinggal di tempatmu, ia harus dalam ke adaan baik baik saja disana, satu lagi kau harus membiayai dia disana!" ujar ibu Bara menaikkan suaranya, ia membentak bentak Bara seakan akan tidak ada salah.

Lalu setelah itu wanita itu mematikan ponselnya, ia tidak ingin mendengar alasan apa pun mengenai Bara.

"Ckk..."

"..."

"Berani sekali ia membentak bentak pacarku," ucap Zean kesal.

"Ahh, kau ini masih bisa sempat sempatnya menggodaku."

"Tenanglah, urusan ini serahkan kepadaku," selesai Zean mengobrol, tiba tiba ia pun mendapat telefon dari orang tuanya. Untung saja Zean tidak mengaktifkan nada notifikasinya.

"Bara aku mau ke kamar mandi dulu," Zean memegangi perutanya seperi orang yang kebelat ingin buang hajat.

"Ya sudah."

Zean pov:

"Pah, ada apa menghubungiku?"

"Akhirnya aku mendengar suaramu lagi."

"Papa apa kabar?"

"Aku baik baik saja, bagaimana denganmu?"

"Aku juga baik baik saja, aku memiliki beberapa masalah disini."

"Apa masalahmu, ceoat katakan ke pada papa."

"Ini hanya masalah prinadiku, aku bisa mengatasinya."

"Bagaimana sekarang, apakah kau sudah sekolah disana?"

"Tentu pa."

"Aku dengar dengar ada orang lain ya, yang tinggal di rumahmu itu? Kalau boleh tau siapa dia?"

"Pacarku pa, ahh papa sudah mendapatkan informasinya ternyata."

"Aku hanya mendapatkan sedikit, lagian tujuanku bukan buat itu. Kau sudah mendengarkan kabarnya, bagaimana sekarang?"

"Aku membiarkan adikku yang paling muda, mengelola semuanya."

"Baiklah, kau juga harus membantunya. Papa dengar dengar juga, pacarmu berkelamin laki laki ya?"

"Ia pa, aku mencintainya."

"Kau Gay juga?"

"Ma- maaf pa untuk itu."

"Itu tidak masalah denganku."