webnovel

2

Tidak terlalu ramai, namun tidak sepi juga. Mungkin seperti itulah keadaan yang cocok untuk mendeskripsikan taman bermain yang Verga dan Laras kunjungi. Lebih tepatnya Verga yang mengajak.

Laras menarik napas dalam setelah menginjakkan kakinya ditempat itu, Verga hanya tersenyum melirik gadis setinggi dagunya yang berdiri tepat disebelahnya. Verga menautkan jarinya disela sela jari milik Laras. Ia kemudian membawa Laras berjalan menelusuri taman itu. Semoga saja sahabatnya itu bisa benar benar melupakan kejadian tadi, tidak benar benar melupakan sih, toh itu juga ini adalah hal yang akan terus berputar diotak normal manusia. Yah, tapi meskipun begitu, Verga berharap Laras bisa melepas penat dan lelah yang ada dipikirannya saat ini, walaupun hanya beberapa jam.

Verga menghentikan langkahnya ketika gadis yang ada disampingnya malah menarik pelan tangan Verga mengisyaratkan dia untuk berhenti sebentar dulu. Verga menolehkan pandangannya pada Laras, gadis itu nampak tersenyum tipis melihat objek yang ada dihadapannya. Verga ikut menatap kearah pandangan yang menarik perhatian sahabatnya itu, ia kemudian ikut tersenyum setelah melihat sepasang suami istri yang sedang membantu anaknya mengayuh sepeda.

Laras jadi teringat orang tuanya yang berada di luar negeri. Jujur ia benar benar merindukan mereka, terlebih mengingat momen ketika ia masih kecil sama seperti anak perempuan yang tengah belajar mengayuh sepeda itu. Orang tuanya benar benar selalu hadir didekatnya kala itu, pekerjaannya memang masih belum sepadat sekarang, makanya ayah dan ibunya tidak pernah absen berada didekatnya ketika masih kecil. Ah, rasanya ia ingin kembali menjadi bocah saja.

"Kenapa, hmm? ingin kuajari naik sepeda juga?" Bisik Verga yang mendapat cubitan kecil diperutnya. Untung saja Laras mencubitnya tidak memakai tenaga dalam, kalau tidak, mungkin perut nya sudah memerah saat ini.

"Kau fikir aku tidak bisa mengendarai sepeda? kau lupa yah, ketika kecil aku mengalahkanmu waktu itu dalam perlombaan kemudian kau pulang dan menangis lalu mengadu pada ibumu," sindir Laras membuat Verga terkekeh disampingnya.

"Astaga Laras, kenapa jadi membahas masa lalu? jika kau ingin bertanding lagi denganku, aku akan melakukannya. Aku yakin akulah yang akan menang," tantang Verga yang hadiahi tatapan tajam dari Laras.

"Jangan konyol! kita bukan bocah kecil lagi," papar Laras.

"Come on, i'm just kidding," cicit Verga. Laras hanya memutar bola matanya jengah, rasanya ia tidak punya tenaga untuk berdebat dengan Verga saat ini.

"Laras"

"Hm?" Laras menoleh kearah Verga.

"Ehm, begini. Kau tunggulah aku dibawah pohon itu sebentar, aku akan membeli sesuatu dulu," tutur Verga menunjuk pohon yang berada sedikit jauh dihadapan mereka.

"Yang ada orang piknik itu yah?" Verga hanya mengangguk.

"Baiklah, awas saja kalau lama, aku akan memberi satu tanda biru keunguan dibagian wajahmu," ancam Laras kemudian melangkahkan kakinya menuju tempat yang Verga beritahukan.

"Dasar bodoh! harusnya kau memberikan tanda itu kepada Varo, kenapa jadi mengancam ku, sih?!" umpat Verga kemudian meninggalkan tempat itu.

-

"Astaga, bagaimana kabarmu, Varo? masuklah kemari," suara seorang laki laki tua baya menyapa indra pendengaran Varo ketika membuka pintu ruangan yang bertuliskan 'Syam's Room'

"Menurut ayah sendiri bagaimana? apa aku terlihat bahagia?" sahut Varo. Ia mendaratkan bokongnya disofa yang ada diruangan itu.

"Kau itu baru sampai, bicara santai saja dulu dengan ayahmu sendiri." tutur Tn.syam, ayah Varo.

Varo tersenyum sinis, "Santai yah? kau sadar apa saja yang telah kau lakukan? aku tau kau merencanakan ini sejak awal," geram Varo.

"Yah, dan semuanya berjalan dengan lancar."

Varo terkekeh seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dilontarkan oleh ayahnya sendiri. Bisa bisanya ia melakukan hal itu kepada putranya sendiri, apa dia tidak punya hati nurani.

"Aku mengikuti keputusan yang kau buat sejak awal, tapi kenapa kau menyebarkan rumor yang tidak tidak tentangku, kau kira itu tidak cukup menyakitinya?!" bentak Varo yang sudah tersulut emosi.

"Aku tidak habis fikir denganmu, Varo. Aku sudah menyuruhmu untuk tidak mempedulikan gadis itu lagi, sekarang apa yang membuatmu terlihat semakin terobsesi dengan dia?!"

"Ini bukan obsesi! Kaulah yang terobsesi dengan rencana gilamu yang ingin memisahkan ku dengan dia. Dan kau tau?aku sudah sadar sekarang selicik apa kau ini! aku tidak akan mengikuti perkataanmu lagi mulai sekarang, terserah apa yang ingin kau lakukan kepada ku, aku tidak peduli lagi, permisi."

Varo meninggalkan ruangan itu dengan tubuh panas dingin, dadanya tampak naik turun menahan emosi yang semakin menjadi jadi karena ayahnya sendiri. Ia fikir, ayahnya benar benar sudah gila.

-

"Bagaimana?suka tidak?" tanyanya pada gadis yang berdiri disebelahnya.

Gadis itu mengangguk dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. "Aku suka, terima kasih," sahutnya pelan menatap lelaki disampingnya dengan tersenyum.

Rupanya Verga membeli sepaket alat untuk mereka piknik, tidak lupa dengan beberapa cemilan dan minuman yang akan menemani piknik mereka. Laras mendaratkan bokongnya dikarpet tersebut, tak disangka Verga melah mendaratkan kepalanya diatas paha Laras.

"Verga, kau bisa duduk saja, semua orang menatap kita," bisik Laras pelan. Ia menepuk pelan bahu Verga yang sedang memejamkan matanya dengan tangan bersedekap didada.

"Ayolah Laras, aku lelah membawa cemilan yang tidak sedikit itu sendirian. Biarkan aku istirahat sebentar saja, tidak usah hiraukan tatapan mereka."

"Salah sendiri tidak mengajakku, aku mungkin bisa membantumu membawanya," sahut Laras mengidikkan bahunya seakan tidak peduli.

"Bagaimana bisa, mencubitku saja kau tidak bertenaga, apalagi untuk membawa barang," ledek Verga.

Laras nampak kesal kemudian menggelitik pinggang Verga. Verga yang terkejut pun lantas bangun dari tidurnya dan menahan tangan Laras yang menggelitik pinggangnya. Kegiatan Laras terhenti disaat menyadari wajah keduanya begitu dekat, tangannya kini digenggam oleh Verga yang berniat menahannya agar berhenti menggelitiknya.

Keduanya sama sama terdiam saling memandang, menurut Verga gadis ini masih sama, bulu matanya terlihat lentik ketika dilihat dari dekat, hidung yang mancung dan bibir tipis berwarna kemerah mudahan meski tanpa bantuan lipstik. Gadis itu bertambah cantik saja dimata Verga.

Laras tersadar ketika benda kenyal menempel di keningnya, Verga baru saja mengecupnya. Sial, ada rasa aneh yang menjelajar ditubuhnya, padahal itu bukan lah kecupan pertama yang ia dapatkan dari Verga.

"Ingin berjanji sesuatu kepadaku tidak?" tanya Verga yang tangannya masih betah mengusap usap rambut Laras.

"Be-berjanji apa?" nada bicara Laras terdengar sedikit gugup, mungkin ia masih mencoba mencerna hal yang baru saja Verga lakukan kepadanya.

"Kau tau 'kan aku menyayangimu sejak kecil, aku hanya ingin meminta satu darimu. Bisa tolong berhenti memikirkan pria itu? aku ikut sedih ketika melihatmu menumpahkan air mata hanya karena makhluk sepertinya, berjanjilah padaku mulai sekarang kau harus selalu tersenyum," jelas Verga, tatapannya sudah terlihat sendu menatap mata Laras.

Laras tampak berfikir sejenak, "Ya akan ku usahakan," cicit Laras pelan.