webnovel

Laksana

Adhinatha Laksana Bahuwirya, bukan manusia biasa, tapi bukan juga Iron Man

GwenXylona_ · 若者
レビュー数が足りません
26 Chs

Laksana | 22

•L A K S A N A•

Malam hari, ketika Haechan sudah memikirkan matang-matang langkah yang akan dirinya ambil, ia dikejutkan oleh Jay yang malah sudah duduk di sofa ruang tengah sambil makanin berondong jagung juga tv yang menayangkan serial Ikatan Cinta. Haechan sebenarnya mau keheranan, tapi nggak jadi soalnya Bapaknya itu emang ajaib.

"Papa kok disini?" sembari berjalan mendekat, Haechan bertanya membuat Papa Jay menoleh dengan pipi menggembung penuh makanan dan mata yang bersinar membuat Haechan seketika lupa jika pria didepannya itu sudah bisa menghasilkan buntut macam Nana. Pantas saja saat Jay dan Nana disatukan untuk berdua pergi ke gym atau sekedar jalan gitu aja banyak yang ngira mereka kakak-adik, sementara banyak yang ngira Haechan ini pembantu mereka---Ya Tuhan bercanda kok.

"Loh kamu kok udah dirumah?"

"Nggak suka anaknya pulang?" sewot Haechan "Kata Om Dika tadi siang---"

"Ssstt,,, Nana tahu?"

Haechan menggeleng pelan, memang sejak tadi siang Nana tidak sekalipun keluar dari kamarnya "Anaknya dari tadi siang nggak keluar, nggak tahu ngapain kok"

Jay hanya manggut-manggut, sudah hapal dengan kebiasaan Nana yang sehabis lama di luar pasti langsung mengurung diri dari dunia, tidak peduli dengan apapun, "Disana nggak nyusahin kan? Maafin ya".

"Nggak nyusahin kok, cuma polosnya nyrempet bego. Ah iya, tadi dia sempat cerita dikit tentang kecelakaan kedua orangtuanya Bang Mark, a-aku boleh tahu semuanya, Pa?"

Papa sedikit tersenyum kemudian meletakkan toples ditangannya ke meja lalu menepuk sisi kosong disebelahnya untuk Haechan isi. Haechan hanya menurut, duduk anteng disamping ayah sambungnya tanpa banyak bicara.

"Syukur banget kalau Nana udah mulai cerita, soalnya bertahun-tahun dia diam, Bang. Kejadiannya dulu Papanya Mark minta izin ke Papa untuk membawa Nana jalan-jalan. Ya Papa kasih izin, tapi yang namamya takdir, waktu itu cuacanya panas dan Nana mimisan, dia itu tipe anak yang nggak enakan sama orang lain, jadi dia mau lari ke toilet umum buat bersihin darahnya. Pas dia mau nyebrang, ada truk dari arah kanan, kedua orangtua Mark reflek melepaskan Mark dan lari dengan niatan mau menyelamatkan Nana, iya Nana selamat, tapi mereka nggak."

Haechan diam beberapa saat, pantas saja Nana selalu menyalahkan dirinya dan pantas saja anak itu tidak terima waktu dia mengirim orang buat balas dendam ke Mark waktu Nana pulang-pulang babak belur berakhir sakit waktu itu, pantas saja Nana memukulinya di halaman sekolah waktu itu, dan pantas saja Nana tidak pernah membalas perbuatan sejahat apapun yang Mark perbuat padanya.

"K-kalau masalah mendiang Mamanya dia? Maaf aku lancang tapi Nana sempat panik pas kita sampai disana, katanya ada Amanya dirumahku waktu itu."

"Dia emang takut sama kondisi gelap, dan jendela yang tertutup rapat. Kejadian ibunya bunuh diri itu langsung dia saksikan didepan mata, Chan. Makanya setelah kejadian salah satu temanmu bunuh diri waktu itu secara mental, Nana sedikit terganggu, emosinya nggak terkontrol. Karena selain mengingatkan di ke kejadian bunuh diri ibu-nya, itu juga mengingatkan dia ke kecelakaan yang kedua orangtuanya Mark alami."

Haechan diam, rusak mental itu dia tidak pernah mengalaminya, sakitnya bisa sedikit diredakan lewat obat dan terus check up setiap seminggu dua kali yang dia rutin lakukan. Sementara jika yang terkena psikisnya, obat manapun tidak akan pernah megembalikan kondisinya, akan terus menghantuinya sepanjang hidupnya.

"Sekarang waktunya kasih makan tuh bocil, dia nggak akan keluar kalau nggak disamperin. Mau Papa atau kamu yang nyamper?"

"Papa aja, kalau aku yang nyamperin yang ada diusir." Haechan tersenyum kecut, sudah lama dia menyandang sebagai kakak dari anak itu, tetapi tidak pernah sekalipun Adhinatha menghargainya sebagai kakak.

Tak apa, Haechan justru lega, sebab suatu saat nanti jika dirinya terpaksa pergi, Nana tidak akan pernah kehilangan.

¹³

Menggunakan kunci cadangan, Jay berhasil masuk kedalam kamar anaknya. Terlihat Nana berada dibawah selimut, biasanya sih nonton Youtube acaranya Sara Wijayanto, atau kalau nggak ya nontonin stop motion cooking. Berjalan mendekat dan menyibak selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh putranya, Jay justru dibuat terkejut saat mendapati seluruh tubuh Nana bergetar.

"Na?" Jay melihat lebih dalam lagi dan ternyata mata Nana terpejam erat, namun bibirnya bergetar dan ada air mata yang keluar. Nana menangis dalam tidurnya. Papa lalu menepuk pipi Nana pelan-pelan hingga membuat anak itu terusik dan bangun dari tidurnya, terlihat ling-lung saat melihat ayahnya sendiri berada disisinya.

"Hei?? Kenapa?"

Nana mengerjap, kemudian menggeleng "P-Papa disini aja" lirihnya.

"Kamu kenapa?"

Nana menggeleng lagi membuat Papa Jay hanya bisa menghela napas pasrah, hanya menyimpulkan jika Nana mimpi buruk, itu saja. "Makan yuk, tapi mandi dulu sana" ajaknya pada tujuan utama dia kemari.

"Aku izin ke tempat Renda ya, Pa?"

"Jangan aneh-aneh, dirumah aja, pasti capek perjalanan jauh."

"Please,,, janji kok nggak nyusahin Tante sama Om, boleh ya?"

"Yaudah terserah, besok pulang tapi ya?"

Nana tersenyum lebar "Makasih, aku mandi dulu."

•••••

Bohong jika Nana mengatakan akan kerumah Renda, ia justru mendatangi apartemen, bukan unitnya melainkan kini cowok itu sedang berdiri didepan pintu unit apartemen Yuta setelah menekan bellnya menunggu Yuta membukakan pintu.

"Loh Nata ngapain? Tumben banget, sini masuk" Yuta membuka lebih lebar pintunya supaya keponakannya itu bisa masuk.

"Mau minum apa? Kamu suka teh atau sirup---"

"Nggak usah, aku mau minta tolong sama Om, boleh?"

"Jangan minta tolong gimana caranya kabur ya, nanti Om di gusur rata sama bapakmu"

"Bukan, tolong mintain obat ke Dokter Tala lagi, aku---"

"Heh!! Itu dosisnya udah pas buat satu bulan, jangan bilang udah habis?? Kamu jangan ngadi-adi, Jang. Bahaya, nggak ada ya, Om nggak akan mintain ke Tala!"

"Akhir-akhir ini aku nggak tenang, Om. Cuma itu yang---"

"Dekatkan diri ke Tuhan, sayang." Yuta berjalan mendekati sofa dan berjongkok didepan Nana "Apa yang bikin nggak tenang?" tanyanya lembut.

"Papa"

"Papanya kenapa?"

Nana menggeleng pelan "Nggak tahu. Tiba-tiba kepikiran kalau nanti Papa nggak ada, siapa yang adzanin dia? Siapa yang ngurusin Papa, siapa yang bacain surat Yasin, dan siapa yang kirim doa tiap harinya?"

Yuta tersenyum teduh, menggenggam tangan Nana yang berkeringat dingin "Besok, besok Om temani ke masjid, Om temani kamu bersyahadat disana besok."

"Nggak, aku nggak mau. Laksa gimana kalau---"

"Dengerin, Om. Jodoh nggak akan kemana, Na. Kamu itu terlalu takut buat melangkah, dan kalau kamu hanya diam kamu akan tertinggal, diam itu bukan menyelesaikan masalah, disaat kamu diam diluaran sana ribuan orang sedang berusaha bahkan berlari. Dan kalau alasan kamu bertahan di kegundahan itu hanya karena seorang gadis yang bahkan udah jadi milik orang, maka kamu akan jadi laki-laki pengecut. Jangan korbankan semua yang kamu punya untuk seseorang yang bahkan abu-abu untuk kemu pertahankan."

"..."

"Dengerin Om lagi! Bergantung itu nggak baik, kamu bergantung bahkan untuk kebaikan pun nggak baik, apalagi bergantung untuk sesuatu yang tidak benar. Kamu itu hidup sendiri, tanpa kamu sadari nggak ada satu orangpun yang tahu gimana kamu, maka dari itu kamu harus mandiri, jangan pernah bergantung pada obat, nggak sepenuhnya bisa menenangkan kamu tapi justru bikin kamu tambah ketergantungan. Dan satu lagi, jadi laki-laki yang bisa diandalkan. Siapa tadi? Larsi?"

Nana terkekeh "Laksa"

"Iya itu, orang yang selama ini ada disisimu itu keluarga, bukan si Larsi. Jadi kamu salah besar kalau kamu lebih mementingkan si Larsi dari pada keluarga. Tapi balik lagi ke kamu, hati Nata maunya gimana Om nggak maksa."

"Kesini niatnya biar tenang malah nambah-nambahin beban pikiran aja, Om." Nana beranjak "Mau balik aja, bye!!"

"Heh nggak sopan ya, besok jadi ke masjid?"

"Besok aku sekolah."

¹³

"Kemarin, pas gue anterin Laksa pulang gue tanya ke dia, kalau disuruh milih antara lo atau Bang Mark, dia justru jawab Haeder, itu kan Haechan, maksudnya apa ya?"

"Nanya kok ke gue, ya langsung ke ceweknya!" Nana melongos sebal seraya memakan es batu dari dalam gelasnya.

"Bentar-bentar. Semalam mereka berdua putus, lo nggak tahu, Na?" Renda yang tadinya mengunyah bakso itu baru ikut nyahut.

"Lo tahu dari mana mereka putus?" Nana justru bertanya lagi dengan nada curiga.

"Laksa itu temen gue. Ya selama ini pura-pura aja kayak orang nggak kenal. Udah itu kaga penting, jawab pertanyaan gue tadi, lo nggak tahu mereka berhenti ditengah jalan?"

Lelaki itu terlihat berpikir. Semalam dia di apartemen sendirian dan mematikan ponselnya, tetapi tadi pagi pas di cek hanya ada Haechan yang menghubunginya tengah malam tadi dan tidak terjawab, juga ada panggilan tidak terjawab dari Aeera Laksa sebanyak dua kali dan dari papa sebanyak empat kali, semuanya tidak terjawab. Sementara hari ini Haechan tidak masuk sekolah dan Laksa dikabarkan putus dari Mark, dan satu lagi, Laksa juga tidak masuk hari ini.

"Ada yang nggak beres, dan gue nggak tahu apa-apa" Nana bergumam "Nggak mungkin Mark lepas Laksa begitu aja, itu nggak akan pernah terjadi kecuali ada yang ulurin tambang."

"Gimana?" Jeksi dan Renda barengan bertanya.

"Lo berdua pasti mau tahu kan alasan gue diemin Laksa sama cowok lain atau Mark sama cewek lain? Gue nggak pernah fotoin mereka dan ngasih itu ke Laksa supaya Laksa putusin Mark. Karena itu emang mustahil. Yang Mark dan Laksa butuhin itu, keuntungan. Bukan hati."

"Hah?? Lu kalau ngomong jangan setengah-setengah dong, otak gue nggak kuat mencerna" protes Renda, matanya turut melebar.

"Jadi gini, lo tahu sendiri gue sama Bang Mark dulu gimana kan? Saking dekatnya gue tahu seluk beluk keluarganya, Mama dan Papanya Abang itu kasih bantuan ratusan juta buat mendiang ibunya Laksa, dan yeah ibunya Laksa sakit bikin beliau nggak bisa lagi lunasin hutangnya dan Laksa yang kena imbasnya. Mark menarik Laksa jadi miliknya untuk membuktikan ke seluruh rekannya kalau dia punya calon, sementara Laksa juga untung, karena selain bisa berlindung dibawah nama Mark, dia juga bisa perlahan lunasin hutang itu."

"Uhuk,,, keselek cicak" Jeksi meraih gelasnya untuk ia tandaskan es tehnya.

Nana melongos, namun tidak menggubris lebih lanjut candaan Jeksi yang menurutnya garing kriuk kress. Sementara Jeksi kini menatap Nana penuh selidik "Haechan kemana? Harusnya lo tahu dia kemana" tanyanya sedikit menuntut, mengingat ia tahu apa yang terjadi dengan Haechan.

"Gue semalam di apart, baru mau pulang nanti. Jadi kalau nanya soal dia gue nggak tahu."

"Lo kayak nggak pernah menerima dia dengan ikhlas gitu, suer."

"Apa gue sebelumnya pernah menerima dia?"

Menutup matanya sejenak, Jeksi menghela napas "Apa yang lo nggak terima dari orang macam Haechan, Na? Dia baik, juga berperan sebagai sudara buat lo."

"..."

"Tolong, balas semua kebaikan yang udah dia kasih ke lo, balas senyuman yang dia tunjukkan ke lo, balas elusan yang ngasih lo kehangatan. Jangan sampai lo menyesal, kali ini aja dengerin gue."

"Gue nggak pantas, Je. Gue sadar dosa besar yang gue lakukan ke dia dulu, dari awal seharusnya dia bukan jadi saudara gue."

•L A K S A N A•