webnovel

Laksana

Adhinatha Laksana Bahuwirya, bukan manusia biasa, tapi bukan juga Iron Man

GwenXylona_ · 若者
レビュー数が足りません
26 Chs

Laksana | 04

•L A K S A N A•

Mama meletakan doa pada Haechan, Mama sepenuhnya memberikan semua doa-doanya pada putranya itu. Doa yang sampai kapanpun tidak akan pernah harapkan dari orang lain, doa tulus tersebut Mama cantumkan dalam nama Haechan. Canavaro, yang berarti pemimpin yang agung. Mama berharap kelak Haechan menjadi pemimpin besar untuk segalanya, bukan hanya memimpin rumah tangga.

Mama tidak memberi nama anaknya yang berarti pelindung, atau baik hati, atau tangguh, bijaksana, atau berkuasa, disegani, dan sebagainya. Mama justru membernya nama pemimpin, mengapa? Karena pemimpin sudah mencangkupi segalanya, mulai dari pelindung, seorang pemimpin pasti melindungi segalanya, pemimpin juga pasti berkuasa, bijaksana, dan disegani, hanya saja belum tentu pemimpin tersebut baik hati.

Tinggal bagaimana Haechan menerjemahkan bagaimana maksud Mama. Ketika Haechan diberi pilihan, dia harus segera bertindak supaya kedepannya tidak ada hasil yang fatal, dia harus bijak dalam memilih sesuatu, termasuk saat ini. Bahkan pemimpin pun lemah jika hubungannya sudah dengan saudara. Haechan tidak tahu harus bagaimana saat dokter mengatakan bahwa adiknya itu memerlukan 5 kantung darah, sementara persediaan darah telah habis.

Adiknya kekurangan darah, dan jika dalam waktu dekat belum juga mendapatkan donor, entah Haechan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan Adhinatha. Didalam masih ada dokter yang menangani Nana, ketiga remaja itu masih senantiasa duduk didepan pintu ICU tanpa sepatah kata. Puing-puing ingatan bagaimana dengan sadisnya mobil putih itu menghantam teman dan saudara mereka masih teringat jelas.

Mark, adalah kata terakhir Nana sebelum dirinya tak sadarkan diri hingga saat ini. Jeksi marah, sangat marah pada manusia yang sayangnya masih sepupunya itu.

Haechan kamudian berdiri, hendak menjauh ketika tangan kanannya ditahan oleh Jeksi "Kemana?"

"Donor darah, golongan gue sama dia sama"

Jeksi melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Haechan, cowok itu ikut berdiri dan menepuk bahu Haechan untuk dia ajak bersama. Sementara Renda, cowok itu hanya menatap nanar pintu ICU tanpa mengalihkan pandangannya pada yang lain.

Dua detik setelahnya, Renda dikejutkan dengan ponsel disaku yang berdering. Cowok itu tersekat sesaat saat nama 'Om Jay' tertera jelas dilayar ponselnya. Dengan tangan bergetar, Renda menerima panggilannya, bagaimanapun Om Jay harus tahu.

"Ren, Adhinatha sama Haechan ada sama kamu nggak? Om telponin nggak diangkat, kalau Nana malah nggak aktif"

"O-Om,,,, i-iya mereka sama aku"

"Alhamdulillah, Om mau ngomong sebentar aja sama Nana, soalnya kalau nggak terpaksa Om nggak bakal ninggalin dia pas banyak rumor begini, tolong kasih ke dia"

"M-maaf, tapi nggak bisa"

"Kenapa? Ayo dong, Ren. Perasaan Om nggak enak, pengen dengar suara mereka aja nggak apa-apa"

"K-kita di rumah sakit, Om" suara Renda melemah.

Jeda beberapa saat "Rumah--rumah sakit?? Ngapain?? Siapa yang sakit? Bukan Haechan apalagi Nana, kan?"

"N-Nana kecelakaan"

"Kamu jangan bercanda"

"Tab-tabrak lari"

"Renda??!"

"N-Nana kritis, k-kalau sampai besok belum dapat donor, k-kita nggak tahu lagi harus---"

Seketika sambungan tersebut terputus, Renda menutup matanya bersamaan dengan air mata yang kembali menetes, pikirannya hanya nyawa Nana didalam sana. Dia harus mencari donor, sebab 5 kantung tak mungkin bisa Haechan penuhi sendiri.

Dengan penuh amarah Renda mencari kontak seseorang, menelponnya dan menunggu beberapa saat hingga panggilan tersebut terjawab.

"Hallo?"

"Adhinatha butuh lo!!"

¹³

Tengah malam, ketiganya terbangun karena posisi tidur yang jauh dari kata nyaman, ketiganya duduk dilantai bersandar pada tembok didepan ICU itu, masih belum beranjak dari tadi pukul 2 siang mereka membawa Nana kemari, hanya ditinggal untuk makan malam dikantin saja.

"Masih pusing, Chan?" tanya Jeksi pada Haechan yang bersandar dibahunya.

"Udah nggak, Nana selamat kan?"

Jeksi mengangguk "Beruntung banget dapat pendonornya tadi"

Renda terseyum mendengarnya, namun tak berniat menyahut, dia masih pura-pura tidur dibahu Haechan. Posisinya Haechan ditengah dan bersandar pada Jeksi, sementara Renda disamping Haechan bersandar padanya.

Hanya hening menyapa, tidak ada lagi yang membuka suara sampai suara derap langkah kaki menggema di koridor rumah sakit itu, disusul tubuh jangkung seorang Jayekti Bahuwirya membuat ketiganya terkejut dan sontak berdiri.

"Papa??"

"Nana mana?"

"Didalam" jawab anak itu sambil menunduk.

Jay mengusap wajahnya kasar lalu memandang tiga anak laki-laki yang berdiri berjajar didepannya itu "Pulang ya, biar diantar sama sopir kalau nggak berani"

Semuanya menggeleng kompak.

"Bahkan kalian masih pakai seragam, pulang aja nggak apa-apa, ada Om yang jagain"

"Om baru aja nyampai, pasti capek, lebih baik Om yang istirahat" Jeksi menjawab mewakili semuanya.

Jay tersenyum "Nana didalam nggak suka lihat kalian tiduran dilantai, nanti sakit, lebih baik pulang, besok kesini lagi"

"Tapi---"

"Kamu juga, pulang istirahat dirumah. Papa yang jaga"

"Om tapi---"

"Kali ini aja nurut"

Semuanya terdiam lalu pamit pulang. Sementara Jay mendudukkan diri di kursi dingin itu "Kamu boleh kangen Ama, tapi jangan pernah temui dia"

¹³

"Sayang,,, bangun dong" Mama mengusap rambut lepek Nana dengan lembut.

"Haechan uring-uringan sama dokter terus, nyalahin dokternya karena kamu nggak bangun-bangun"

Tidak ada yang menyangka jika perlahan mata Nana terbuka, Mama yang melihat itu langsung menekan tombol darurat dengan bibir yang terus saja menyuarakan syukur pada Yang Kuasa. Tidak lama dokter datang dan memeriksa kondisi anak itu, Mama menunggu diluar dengan cemas.

Hingga pintu ruang ICU itu kembali dikuak dari dalam membuat Mama buru-buru berjalan mendekat "Anak saya bagaimana, Dokter?"

Dokter itu tersenyum "Anak Ibu telah melewatinya, kondisinya sudah mulai stabil, kami akan memindahkannya pada ruang perawatan"

"Alhamdulillah,,, terimakasih, Dokter"

Dokter tersenyum "Sama-sama, saya pamit, jika ada sesuatu bisa hubungi saya kembali"

Mama yang kelewat senang itu kembali masuk untuk melihat kondisi anaknya, Nana diatas brankar sana masih dalam penanganan suster melepas masker oksigen dan oxymeter-nya juga mengganti perban setelah luka dibersihkan.

"Mama" suaranya sangat kecil ketika Mama mendengar Nana memanggilnya.

Mama mendekat "Iya sayang, Mama disini"

"P-Papa??"

"Papa sebentar lagi sampai, tadi udah Mama kasih kabar"

Nana kemudian diam, lidahnya terlalu kelu untuk berbicara, Mama juga tidak memaksa, Mama hanya tersenyum dan mencium kening Nana sangat lama, juga beberapa kali mencium punggung tangan anak itu. Tiga hari tak sadarkan diri cukup membuat Mama ketakutan setiap menit.

¹³

"Keputusan kamu gimana?"

Nana menggeleng "Jangan"

Haechan yang melihat itu berdiri dan berjalan mendekati brankar "Lo sekarat tiga hari dan masih bilang jangan"

"Gue yang sekarat kenapa lo yang nggak terima"

Haechan mendengus "Lo nggak tahu seberapa gue---"

Ucapan yang tiba-tiba terhenti menimbulkan pertanyaan dalam diri Nana, dahi anak itu berkerut "Lo kenapa??"

Haechan menggeleng kemudian beranjak pergi "Aku ke kantin, Pa"

Jay mengangguk lalu kembali menatap Nana, wajah Nana masih sepucat itu, dan masih ada plaster luka didahi kanannya "Yakin jangan?" tanyanya lagi.

Nana mengangguk "Kasihan, nanti dia susah dapat kerjaan kalau ada catatan kriminalnya"

"Kamu itu kenapa masih mikirin orang lain disaat kamu nyaris ketemu malaikat maut"

"Karena kita hidup nggak sendiri, Pa. Kita manusia, kita makhluk sosial, kita nggak tahu kalau bisa aja suatu saat nanti keadaannya berbalik, kita yang bersalah, apa kita mau juga dipenjara? Sekarang dia yang salah, tapi kita bebasin, jadi nanti ketika kita berbuat salah, dia bisa maafin kita juga"

Jay terdiam, didepan pintu sana Haechan juga terdiam, pikiran Nana luas sih, tapi kok dangkal. Bahkan Renda dan Jeksi yang baru saja datang hendak masuk juga menghentikan langkah mereka hanya untuk menguping, kini ketiganya saling tatap dengan tatapan mata yang mungkin artinya sama, sama-sama keheranan dan nggak percaya.

Sementara Mama didalam tersenyum dan beranjak dari sofa mendekati Nana "Kamu yakin? Dia aja nggak kesini, nggak datang minta maaf"

Nah tepat, semuanya mengangguk.

Nana menatap wajah Mama sejenak lalu menatap langit-langit kamarnya "Namanya juga tabrak lari, Ma. Kalau dia datang minta maaf namanya tabrak sorry, bukan tabrak lari"

Semuanya mendengus, Nana jawabnya kelewat santuy. Bahkan Papa Jay dan Mama saling tatap, ini anak mereka kok susah banget kalau disuruh berurusan sama polisi.

"Kamu yakin? Papa bahkan rela tinggalin kerjaan demi nyari pelakunya sama Om Dika"

Nana tetap menggeleng "Lagian aku nggak mati dan Papa nggak bangkrut, kenapa diperpanjang sih masalahnya. Katanya menyambung silaturahmi itu pahalanya gede, kalau kita lapor polisi berarti ikatan silaturahmi kita sama dia putus, dosa"

"Dia yang dosa karena udah nabrak kamu nggak tanggung jawab, kenapa jadi kita yang mikirin dosa cuma karena lapor polisi" Papa masih ngotot, didepan tiga bujang juga manggut-manggut sama perkataan Jay.

"Papa nggak tahu gimana aku mikirin orang lain, terakhir aku sekolah banyak yang bully, apa kata orang kalau aku bolos waktu itu terus berakhir kecelakaan, tolong jangan bikin banyak orang makin nggak suka sama aku"

Semuanya terdiam seribu bahasa, pikiran Nana luas dan tidak dangkal, justru pikiran mereka yang sangat dangkal.

"K-kemarin aku ketemu sama Ama, Ama bilang kalau aku anaknya yang kuat, makanya aku kembali, karena Ama bilang aku kuat, kalau nggak aku masih betah disana, banyak bunga-bunga sama kelinci juga kupu-kupu, kata Ama, aku anaknya yang pantang menyerah, makanya aku kembali, tolong jangan laporin apapun ke polisi, nyatanya aku nggak sekuat kata Ama, Pa"

Papa berdiri, memeluk anaknya sangat lama sembari berbisik "Terimakasih"

•••••

Satu bulan kemudian.

Dulu Ama pernah mengatakan sesuatu pada Nana tentang kehidupan, Nana tentu saja tak mengerti apa maksudnya, yang jelas, dulu Ama pernah bertanya.

"Kalau kamu mau jadi bintang, mau jadi bintang besar atau kecil, sayang?"

Dulu Nana menjawab "Bintang besar dong, Ama"

"Kenapa?"

"Karena besar, cahanya terang, banyak yang suka"

Ama tersenyum "Bintang besar, cahanya terang, dan banyak yang suka belum tentu itu bentang seutuhnya, bisa jadi hanya planet yang terkena sinar matahari menyorotkan sinar terang."

"Ha??"

Ama terkekeh "Bintang itu benda langit yang bisa mengeluarkan cahayanya sendiri, entah itu kecil, tetapi bintang tetap bisa mengeluarkan cahaya sendiri. Lalu bintang besar yang sebenarnya bukan bintang melainkan planet yang terkena sorotan cahaya itu hanyalah ilusi, bagaimana manusia terobsesi menjadi besar, menjadi seperti itu tanpa berpikir gimana dalamnya."

Anak kecil mana yang paham dengan semua kalimat Ama, Nana waktu itu hanya diam tak menanggapi, mulutnya yang sedang memakan keripik itu ternganga membuat Ama tersenyum lalu mencubit pipinya.

Lalu suatu saat ketika kelas 6 SD, Nana tiba-tiba datang ke kebun belakang, membantu Ama menyitami tomat bersama tukang kebun. Nana kala itu tiba-tiba berceletuk "Kata Pak Guru, bulan itu jelek ya, Ma?"

Ama terkekeh "Kenapa begitu?"

"Bolong-bolong, banyak jurang sama gunung, terus nggak bisa ngeluarin cahaya sendiri kayak bintang"

"Tapi justru bulan dikagumi banyak orang kan?"

Nana mengangguk ragu.

"Maka kalau boleh Ama minta, kamu jadi kayak bulan ya, bersinar dengan caramu sendiri, meskipun banyak kekurangan, tetapi dia kuat dan bisa dikagumi banyak orang. Bersinar bukan perihal gimana bisa menyinarkan cahayanya sendiri, tapi gimana perjuangan bulan untuk mendapat sinar itu dari matahari"

Nana kembali tersentak, dia terbangun dari tidurnya dengan peluh membanjiri tubuhnya, Nana tidak sadar jika Papa tengah duduk menatapnya disisi ranjang "Kenapa? Kamu dari tadi nggak tenang"

Nana tersadar, dia menghela napas lalu menyenderkan tubuhnya "Katanya Papa berangkat hari ini, kenapa masih disini?"

"Papa mau pamit sama kamu, kamunya udah siang masih tidur, telat tahu rasa"

Nana mencibir lalu beranjak dari tempat tidur "Aku bawa mobil ya"

"Trauma sama motor?"

"Nggak, belum beli motor yang kayak gitu lagi, kan itu motor ringsek"

"Nyesel Papa nanya gitu. Papa berangkat ya. Hati-hati, lebih baik sama sopir aja"

Nana menggeleng "Aku diantar sopir, yang ada makin dibuli anak manja"

"Lo kapan sih nggak mikirin omongan orang" Haechan tiba-tiba datang.

"Apa urusan lo"

Papa menghela napas "Kalian kapan akur sih, udah lebih dari sebulan kamu belum bisa nerima Haechan?"

Nana menatap nyalang Haechan kemudian berganti pada Papanya "Papa pikir mudah nerima orang baru, Papa tahu sendiri gimana aku"

"Dan lo pikir juga mudah nerima orang baru buat gue disaat awalnya hanya gue doang yang manggil Mama gue dengan sebutan yang sama"

"Itu juga berlaku buat lo"

"Nggak, gue mencoba terbuka sama lo, gue mencoba ngertiin lo sebagai anak Mama juga, lah lo??"

"Gue nggak butuh pengertian dari lo"

"Lo nggak tahu gimana gue---" Haechan tersekat, dia berhenti berbicara dan malah berjalan keluar kamar.

Nana hanya menatap punggung Haechan nanar tanpa memperdulikannya, dia kemudian masuk kedalam kamar mandi "Papa pergi aja, nggak apa-apa" ujarnya sebelum menutup pintu kaca itu.

Papa berjalan mendekati kamar mandi "Kamu kapan sih bisa terbuka, dia baik sama kamu"

"Papa pergi aja nanti telat"

"Na..."

"Nanti ketinggalan, Pa!!"

•L A K S A N A•