•L A K S A N A•
Banyak yang berpikiran jika semakin kaya semakin menakutkan untuk didatangi rumahnya, awalnya Laksa berpikir seperti itu, namun ternyata saat di nekat memencet bell rumah keluarga Bahuwirya itu angan-angannya lenyap seketika, dia disambut dengan baik, dikasih makanan dan minuman dengan layak, diajak ngobrol dengan bertutur kata lembut, Laksa tidak tahu harus bagaimana nanti jika Nana sudah datang.
"Asalamualaikum"
"Waalaikumsalam" Mama dan Laksa menjawab bersamaan salam Haechan.
"Sayang, ini temannya udah nungguin, Mama kebelakang ya" ujar Mama seraya beranjak, Haechan juga yang awalnya tersekat oleh kedatangan gadis kena jambret itu mengintil sang Mama masuk membiarkan Nana masih berdiri didekat sofa.
"Adhinatha"
Nana duduk di sofa dengan mata tajam menatap Laksa "Ngapain??"
"Lo yang udah bikin Mark sekarat?"
"Nggak, gue baru aja dari mall, nggak lihat tadi banyak belanjaan"
Laksa terdiam sejenak "Lo kirim orang buat Mark, ngaku aja!!"
"Sorry to say ya, Aeera. Tapi gue sesibuk itu untuk urusin pacar lo apalagi sampai bikin dia sekarat"
"Lo---"
"Gue tahu, lo ngomong gini, berani kesini karena Mark, kan? Dia nyuruh lo ngomong ke gue biar gue ngalah sama lo, mana yang katanya laki!!"
Laksa terdiam, gadis itu semakin menatap Nana tak suka, sementara Nana terlihat tak acuh dengan mengeluarkan ponselnya. Jika dilihat dari bagaimana santainya Nana dan memang tadi dari mall, sepertinya cowok itu tidak berbohong, namun kata Mark, Nana lah yang menyebabkan dirinya masuk rumah sakit.
"Cinta boleh, tapi goblok jangan, coba buka mata" tukas Nana kemudian beranjak pergi meninggalkan Laksa terdiam diruang tamunya.
"Sayangnya gue yang goblok suka sama lo"
•••••
"Ayo sekolah"
Nana menyirit "Sekolah lo dimana?"
"Samaan sama lo lah"
"Hah??"
Papa Jay yang melihat itu dari depan pintu kamar Nana terkekeh "Mulai hari ini kalian sekolahnya bareng" ujarnya membuat dua anaknya menoleh.
Nana hanya mendengus, sementara Haechan tersenyum lebar "Semoga nanti kita satu kelas ya"
"Nggak!!"
"Nggak boleh gitu, sopan sama yang lebih tua"
Nana kembali mendengus "Papa mau kemana?" tanyanya membelokkan arah pembicaraan, Nana hanya terheran melihat Ayahnya rapi dengan setelan jas biru donker dan sepatu pantofel berbahan kulit dikenakannya.
"Papa flight ke Singapura. Oh iya, jadwal pemotretan kamu minggu ini kosong, kata Pak Beni kamu butuh istirahat"
"Bukan gitu, banyak rumor hate yang tersebar, Pak Ben nggak mau rugi"
Jay tersekat, nada bicara Nana begitu rendah untuk ukuran nada Nana pada biasanya. Memang benar, akhir-akhir ini banyak yang mem-bully Nana jika anaknya itu melakukan tindakan bullying sesaat sebelum menjadi model, banyak yang mengatakan jika Nana adalah anak sombong yang selalu pamer disekolah dan memanfaatkan harta orangtuanya. Banyak pula yang mengatakan jika perilaku Nana tak baik di real life hingga sekarang. Jay tahu Nana tertekan, terkadang dia juga menyita ponsel anak itu, melarang Nana membuka media sosial apapun.
"Nggak gitu, kamu emang kecapekan, makanya Pak Ben kasih libur" Papa mendekat masuk kedalam, Nana yang pagi ini masih mengenakan piyama itu juga masih duduk ditepi ranjangnya, sementara Haechan duduk dikursi belajar adiknya.
Nana berdiri, wajahnya memerah menahan tangis, anak itu menatap Ayahnya sejenak "Hati-hati" gumamnya lirih lalu detik selanjutnya ia mendapatkan pelukan dari Jay, sangat hangat.
"Tolong jangan dipikirin, nanti sakit. Mereka cuma iri sama kesuksesan kamu"
Haechan manggut-manggut "Benar, jangan nangis lagi. Gue tahu semalam lo nangis di pojokan"
Papa Jay terkekeh lalu melepas pelukannya, memandang wajah Nana yang masih memerah itu lalu mengecup dahinya "Jangan buka hp, jangan nonton tv, nanti kalau disekolah ada yang ngatain kamu, bilang ke Papa"
Nana hanya diam, lalu Jay beralih pada putranya yang lain "Haechan, tolong jagain adeknya ya, suruh makan, jangan suruh trakririn kamu"
"Hehe,,, iya aku pastiin dia makan banyak, Papa hati-hati"
Ayah dua anak itu mengangguk "Papa berangkat, kalian baik-baik. Nana jangan nangis, nanti disekolah bengkak matanya, nanti Papa coba berantas habis tuduhannya"
Setelah Ayah mereka pergi, keduanya saling tatap "Nangis aja, dek. Nggak apa-apa, daripada ditahan nanti yang keluar kentut"
Nana menatap sinis Haechan "Pergi!!"
"Yailah, siap-siap ya, kita berangkat bareng sekolahnya" tukasnya lalu keluar dari kamar Nana.
"Seru juga punya adek kayak dia, suka sembunyi-sembunyi kayak hijrah Nabi, lucu deh" gumam Haechan lalu disertai tawa diakhirannya.
¹³
"Na jangan diam aja, dimakan dong" Renda tidak tahu harus bagaimana lagi agar Nana berhenti memikirkan orang lain dan mau memakan makan siangnya.
Jeksi dan Haechan disamping kanan dan kirinya seolah tak peduli dengan Nana, keduanya makan dengan lahap melupakan temannya. Renda mendengus kesal "Kemarin ada kiriman sepatu, dari lo?" tanyanya.
Nana mengangguk "Hadiah ulang tahun, dulu belum gue kasih"
"Lo mau gue nerima itu?"
Nana mengangguk.
"Kalau gitu makan dong, nanti masalah anak-anak yang berani ngomongin lo, biar jadi urusan kita. Lo biasanya cuek-cuek aja, kenapa jadi baperian gini sih"
"Kalau lo nggak mau terima yaudah itu hak lo. Gue capek, Ren." tukas anak biologis Jay itu lalu beranjak pergi meninggalkan meja menimbulkan kerutan didahi ketiga cowok yang lain.
"Lo apain adek gua!?"
"Lo yang apa-apaan, adek lagi bad mood kayak gitu malah enak-enakan makan" balas Renda ngotot.
"Jangan salahin gue dong, salahin aja---"
"Salahin siapa??!"
"Salahin makanannya, enak banget"
Renda menghembuskan napasnya kasar "Goblok!! Kalau gue jadi Nana, nggak bakal mau punya saudara kayak lo!!"
Jeksi menutup matanya sejenak lalu beranjak "Aduh mulutnya ngajak gelud" gumamnya lalu berlari pergi meninggalkan meja juga.
Ketika berjalan cepat menyusuri koridor, banyak siswi bahkan siswa yang membicarakan Nana, dari mulai kasus bullying sampai kelakuan jelek Nana hingga saat ini, banyak juga yang mengungkit kematian Ibunya dan pernikahan Ayahnya juga Ibu barunya yang sekarang yang katanya hanya menikah demi harta. Jeksi saja kesal apalagi Nana.
Tiba di rooftop, Jeksi mencari dengan ekor mata menelisik seluruh sudutnya, terlihat Nana bersandar pada pilar, menatap bawah tanpa menoleh pada apapun. Angin merusak tatanan rambutnya hingga berantakan, Jeksi mendekati sahabat yang sedari kecil sudah bersamanya itu, meski tak sesering itu ke Jakarta, mungkin dua minggu sekali atau satu bulan sekali, tetapi Jeksi sungguh tahu betul bagaimana sifat Nana.
"Gue nggak mau lo ketakutan sampai berakhir di UGD kayak dulu, jangan dipikirin"
Nana menoleh lalu tersenyum "Apa salah gue sih sebenarnya?"
"Nggak ada, gue tahu lo, gimana lo nggak pernah bawa-bawa nama Bahuwirya sejak kecil"
"Lo tahu gue, tapi mereka nggak"
"Dan mereka harus tahu itu, kita sama-sama pinter dibidang IT, kita bisa berantas habis semuanya"
"Yang ada gue makin dihujat, karena kalau begitu, mereka semakin yakin gue emang melakukannya"
Jeksi mengngguk "Satu-satunya cara ya lo tutup mata dan tutup telinga"
Nana menggeleng "Udah nggak bisa, disepanjang koridor aja banyak yang hujat gue"
Jeksi terdiam, Nana adalah tipe cowok cuek diluar, tapi sebenarnya dudalam hatinya dia memikirkannya. Jeksi tahu itu sejak kecil, sejak bagaimana dulu Nana kecil biasa diejek anak autis, anak manja, anak nggak berguna pun masuk setiap hari menjadi santapan Nana. Nana hanya diam, tak membalas, wajahnya masih dingin, namun Jeksi tahu Nana menahan segalanya.
Ketika beranjak remaja, Jeksi semakin tahu diri Nana yang memang tak pernah memikirkan diri sendiri, omongan orang lain yang ia dengar akan selalu diingat oleh Nana, meskipun terlihat biasa saja, sebenarnya Nana tertekan.
"Boling yuk, atau panahan deh" ajak Jeksi.
Nana tersenyum "Ayo, bayarin tapi"
"Gila banyak maunya, kemarin duit gue habis gara-gara Mark"
"Gimana keadaannya?"
"Wajah songongnya masih tetap ganteng sih, orang Laksa masih sayang"
Nana terkekeh "Kemarin Laksa datangin gue, dia nuduh gue"
Jeksi melongo "Dia berani datang kerumah lo??"
Nana mengangguk seraya berbalik dan berjalan mendahului Jeksi "Disuruh Mark ngomong baik-baik sama gue biar lahan itu bisa jadi kekuasaannya lagi"
Jeksi mencibir "Padahal yang nyerang Mark itu bukan kita"
"Terus siapa?"
"Anak-anak"
Nana terkejut sampai berhenti berjalan "Anak-anak??"
"Hehe,,, gue ajarin mereka taekwondo, pencak silat, judo, dan lain-lain"
"Gila lo, tapi nggak apa-apa, tumben lo berguna"
Jeksi tertawa "Inget gimana Mark lari pontang-panting menghindar dari anak-anak. Harusnya gue vidioin kemarin"
"Itu tanah punya siapa biar gue suruh Papa beli aja"
"Punya pemerintah, nyeet!!"
•••••
"Lo ngintil mulu, maunya apa sih??" Renda geram sendiri dengan manusia satu itu.
"Yang gue kenal cuma Nana, Jeksi, sama lo doang, Ren"
Renda mendengus "Makanya kenalan sama yang laen, apes bener gue kenal sama lo"
Haechan mencibir "Yang ada nasib bener ketemu teman baru bukannya yang kayak di tipi baik hati, dapatnya malah pemeran utama sinetron azab macam lo"
Renda mendesis geram sembari meraih helm diatas motor "Babi lo, ikut kaga??"
Haechan nyengir "Ikut, kemana? Tapi traktir ya"
"Billiard"
"Billiard? Gue nggak bisa, bisanya main karambol, udah pro gue"
Renda tidak menyahut, ia fokus memakai jaket lalu menaiki motornya "Ikut kaga? Jeksi sama Nana disana"
"Masa hari pertama sekolah langsung bolos"
"Ya terserah" Renda mulai memundurkan motornya.
"Ikut gue ikut" Haechan langsung naik keatas motor Renda, sebenarnya kebalik sih, harusnya Renda yang dibonceng, tapi Renda kan juga masih laki, jadi tenaganya juga tenaga laki tulen.
"Kalian sering bolos ya?" ditengah jalan, Haechan bertanya.
"APA?? KAOS BOLONG?"
"KALIAN SERING BOLOS? BEGO!"
"OH KALAU IKAN TERI GUE NGGAK SUKA, SUKANYA IKAN LELE"
Haechan rasa kuping Renda perlu linggis buat korok-korok kuping.
¹³
"Kalau lo mainnya begitu yang ada roboh mejanya, gobs" Jeksi memberi komentar saat Haechan hendak menyodok bola, tapi badannya dia naik keatas meja, hanya menyisakan satu kakinya saja yang menapak dilantai.
"Lo pikir lo kecil" sahut Renda.
"Lah lo kecil masa bangga" Haechan masih menyahut.
"Nggak sadar berat badan" Renda masih menanggapi.
Haechan tidak peduli, dia tetap fokus pada bola nomor 9 yang harus ia masukkan, sebab dari awal main tadi Haechan belum pernah masukin bola barang satu bola pun.
Sementara Nana, anak itu tertidur disofa dengan kepala diatas meja dan kedua tangan sebagai bantalan, persis seperti kalau lagi tidur di kelas. Tidak ada yang mengganggu, sebab Jeksi dan Renda tahu, Nana kalau pas tidur terus diganggu, jangan harap besok bisa ngobrol santuy sama Nana.
"KOK NGGAK MASUK SIIIH"
Nana tersentak, bahkan anak itu langsung berdiri saking kagetnya, dadanya naik turun tak karuan, dia mengerjap beberapa kali sebelum kembali duduk dan meletakkan kembali kepalanya diatas meja "Bangsat, jantungan gue"
Jeksi dan Renda sama-sama menatap Haechan dengan tatapan yang jika diterjemahkan tak jauh-jauh dari; Apa-apaan lo bangunin dia, anjing.
Haechan cuma nyengir "Damai, bro"
"Alamat besok kita didiemin kayak makhluk ghaib yang nggak kelihatan" Jeksi cemberut seraya mengambil posisi untuk memasukan bola.
Tidak lama, Nana kembali berdiri, kepalanya pening. Bayangin aja baru bisa tidur, baru aja dijalan mau bobo nyenyak, tiba-tiba terkejut luar biasa, udah pasti pusing, jujur tangan Nana sampai gemeteran, kasihan. Dia meraih jaket, tanpa menoleh langsung pergi begitu saja.
"Susulin, jalannya sempoyongan, ntar pingsan nggak tanggung jawab gue" Jeksi yang pertama meletakkan bola-bola ditangannya keatas meja lalu berlari keluar mengikuti Nana.
Tidak ada yang terjadi, Nana aman selamat hingga diparkiran, Nana juga dengan selamat melewati ketiganya berdiri menuju area luar tempat bermain. Hingga ketika Nana hendak menyebrang jalan, suara klakson nyaring terdengar. Satu mobil putih dari arah kanan menghantamnya secepat kilat.
Suara dua benda saling bertemu dan pecahan kaca menggema ditelinga Jeksi, Renda, dan Haechan. Mata ketiganya dapat melihat bagaimana tubuh Nana melayang diudara terpental jauh hingga melewati badan mobil dan terjatuh tepat dibelakang mobil tersebut, motor Nana terseret oleh mobil yang saking kencangnya melaju itu hingga menabrak trotoar.
Detik demi detik terlewati, ketiga remaja itu masih tersekat ditempat, tidak ada yang bereaksi selain satu dua air mata mengalir melewati pipi mereka. Hingga Jeksi yang tersadar langsung menyeka air matanya keras lalu berlari melewati halaman menuju tengah jalan.
Darah keluar dari hidung, telinga, dahi dan juga dari goresan-goresan luka dibeberapa bagian tubuhnya. Mata Nana masih terbuka, tandanya Nana masih sadar meskipun hanya mata sayu yang Jeksi lihat.
"M-ma-rk"
•L A K S A N A•