Asak terduduk merenung di atas ranjang asrama, matanya memandang kosong ke arah ranjang milik Laten yang berada di seberangnya. Asak melirik tali penunjuk, jam delapan malam tinggal lima belas menit lagi.
Pemuda itu tidak berniat bangkit, perkataan si tanpa wujud seakan-akan hanya angina lalu baginya. Tapi dilain sisi Asak sedikit penasaran, sejumput rasa itu mencabik-cabik daging di balik tulang rusuk dan membuat darahnya menggolak.
"Menatap ranjang Laten, Asak?"
Dia lantas menolehkan kepala, suara Thom yang berdiri di depan pintu mampu membawa sukma Asak kembali ke dalam raga. Mungkin jika Thom tak ada, Asak akan terus melamun seperti orang kerasukan hingga pagi.
"Ketuk pintu lain kali, Thom. Sopan santun paling utama."
Thom menaikkan bahunya acuh, dia berjalan mendekati ranjang Laten dan menduduki tepiannya. "Ternyata tidak ada Laten sepi juga, para murid kehilangan bahan canda mereka, " keluhnya sembari menyentuh seprai putih yang melapisi ranjang.
"Manusia bukan hiburan, Thom."
Perkataan Asak membuat pemuda di hadapannya memutar bola mata malas. Ayolah, orang-orang seperti Asak terlalu lugu dalam perihal kehidupan yang kerasnya melebihi lapisan kubah Kota Jerahak. Manusia di jaman seperti ini hanyalah boneka hidup, dijadikan hiburan oleh paran dalang yang berkuasa.
"Kamu kira sebagai idola tidak menjadikanku seperti boneka hiburan? Menari dan bernyanyi memang kesenanganku, Asak. Tapi terkadang mereka terlalu memaksaku menjadi seapik dan seindah imajinasi mereka."
Asak menghembuskan napas pelan, mengeluarkan karbondioksida yang dia harap bercampur dengan rasa bersalah. Hatinya tak enak karena tanpa sadar telah menyinggung Thom, dia hanya tidak senang saat Thom mengatakan Laten adalah bahan canda.
Thom mengibas-ibas tangan di depan wajah. "Lupakan. Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu, Asak?"
Tubuh pemuda dengan jubah merah darah itu menegang, dia mencoba tenang tetapi matanya tidak berhenti bergulir gelisah. Thom bangkit, melangkah mendekat dan meraih dagu Asak, memaksa pemuda di hadapannya untuk menengadah.
"Kita satu tim dalam penyelesaian masalah Laten bukan? Lantas mengapa informasi sepenting itu tak kamu beri tahu, " ucapnya sembari menyeringai. Kemampuan membaca mata milik Thom jauh meningkat dibandingkan beberapa bulan lalu, dia dapat melihat putaran video di bola mata milik Asak.
Asak menepis lengan Thom, menyingkirkan jemari pemuda yang mencubit dagunya dengan ibu jari dan telunjuk. Dia berdecak sebal, sedangkan Thom tertawa lepas karena keberhasilannya. Thom tahu persis dengan kemampuan Asak dalam menganulir teknik baca mata, bahkan pembimbing tidak bisa membaca matanya.
"Sepuluh menit lagi, Asak. Lebih baik kamu bergegas, " ledek pemuda bersurai hitam pekat, dia meninggalkan kamar.
Hutan kematian sangat riuh malam ini, pohon-pohon kerucut yang berada sejauh dua ratus meter dari gerbang timur terdengar merangung keras lantaran beberapa hewan menganggu ketenangan mereka. Pohon kerucut memang sedikit pemarah, yang bersuara akan dimangsa olehnya.
Asak tidak bisa membayangkan bagaimana pohon kerucut membuka kuncupnya, katanya bisa sampai selebar dua meter. Dan gigi seperti mata pisau yang memenuhi bagian dalam pohon kerucut sangat membuat pemuda itu merinding, manusia akan langsung mati dalam sekali hap.
Gerbang timur hutan kematian memiliki tinggi lebih dari lima meter, besi-besi berarat disekitarnya melik-liuk membuat pola aneh. Tangan Asak terjulur, dia menyapu pola itu, merasakan dingin yang menusuk pori-pori jemari.
"Apa kamu yakin, Reka?"
"Aku lebih yakin daripada saat aku menolak sebuah tawaran kematian."
Mata Asak membola, dia menarik tanganya cepat. "Apa tadi?" Dia melangkah mundur, menjauhi gerbang. Saat jemari Asak menyentuh besi-besi berkarat, potongan rekaman muncul di kepalanya. Sosok Reka dan pemuda lain yang dia tidak kenal berada di rekaman buram itu, berbincang di samping robot berbentuk tabung.
"Thom! Kamu bisa melompari gerbang ini?" pekik Asak panik, rekaman yang muncul tadi meyakinkannya dengan perkataan si tanpa wujud. Thom mengangguk pelan, dia memundurkan langkah sebayang mungkin. Berlari kencang dan melompat.
Asak menyusul, dia melompat melewati gerbang timur dengan mudah. "Jangan berjalan kedalam, Thom. Kita cukup berjalan mengitari dinding lapisan saja, " perintahnya sembari memegang dinding lapisan dan berjalan.
Thom menatap bingung Asak, terkadang membuka mulutnya lebar kala temannya itu bergumam sendiri sembari memegang dinding pelapis Hutan Kematian. Apa Asak sedang memperhatikan tekstur dinding, atau apa?
"Kamu ini sedang apa, Asak? Menutup mata sembari meraba dinding dan berjalan, kamu tidak sedang simulasi menjadi orang buta kan?"
Asak mengangkat tangannya, berhenti melangkah dan membuat Thom menabrak tubuhnya. Thom mengumpat dalam hati, dadanya sakit karena beradu dengan punggung tegap Asak. Dia berniat protes, namun lagi-lagi Asak mengangkat tangan.
"Diamlah, Thom. Ada seseorang di depan sana, " ucap Asak, tangan kirinya tak melepas dinding lapisan Hutan Kematian, matanya juga belum terbuka.
Kepala Thom menoleh ke segala arah, menyipitkan netra untuk mencari apa yag ada di depan mereka. "Tidak ada siapa-siapa, Asak. Kamu ini buta atau bagaimana?" decak Thom. Dia benar-benar jengah melihat Asak yang berlagak seperti peramal, hanya memegang dinding tapi seakan bisa melihat seluruh tempat.
"Kamu bawa benda persegi itu? Dia bisa merekam bukan?"
Dengan cepat Thom merogoh saku jubahnya, mengambil benda persegi dan mengaktifkan mode perekam. "Sudah, Asak. Ayo jalan lagi, aku tidak mau bertemu dengan para hewan-hewan mengerikan jika berlama-lama disini."
Mereka berdua melanjutkan perjalan sembari merekam, sesekali Asak memerahi Thom karena pemuda itu sangat tidak becus hanya untuk memegang benda persegi. "Jangan gemetar, Thom. Kalau rekamannya tak jelas akan kumasukkan kamu ke arena putih hingga menjemput ajal!"
Ztss
Langkah dua pasang kaki itu lantas berhenti, suara apa itu. Asak dengan cepat menyentuh dinding lapisan lagi, meraba-raba. Sedangkah Thom, dia malah menutup mata dan membaca banyak doa dan mantra agar dijauhi dari segala mara bahaya.
"Untuk segala yang berkuasa, tolong hindari aku dari hewan-hewan buas. Sungguh aku akan menjadi anak baik, dan berhenti melakukan hal keji jika aku bisa keluar tanpa kurang satu anggota tubuh. Aku janji, " racaunya tak jelas.
Asak memukul bahu orang di belakangnya keras, mencoba menyadarkan Thom yang sudah seperti pating saking kakunya. "Buka matamu, Thom. Suara itu bukan berasal dari hewan, itu dari robot serupa."
Mata Thom membola saat mendengar perkataan Asak, namun matanya semakin ingin keluar kala temannya itu berlari meninggalkannya. "Asak! Jangan tinggalkan aku!" pekiknya kecil sembari menyusul langkah besar Asak.
Senyum pemuda dengan jubah merah darah mengembang sempurna, dia menepuk-nepuk bahu Thom yang sedang terengah-engah di sampingnya. "Ini dia yang kita cari, Thom. Reka akan benar-benar binasa malam ini."
"Pegang yang benar! Rekam setiap sudut robot ini, aku akan mencoba meretasnya."
Asak mendekati robot berbentuk tabung, tampak sangat sederhana karena memang hanya seonggok tabung mengkilap. Jemari-jemarinya mengotak-atik robot itu, dia juga sudah menempelkan tutup botol kesayangannya dan mulai meretas informasi riwayat pengguna.
"Sudah kuduga, Thom. Dia benar-benar menggunakannya, " ucap Asak riang saat dia menemukan data riwayat pengguna dengan atas nama Reka, ada foto Laten juga disana. Dan itu sudah cukup membuat Asak yakin jika Reka adalah dalang semua ini.
"Melihat-lihat robot terbaruku, Azmata?"