webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · ファンタジー
レビュー数が足りません
156 Chs

Kalah [Pemuda Asing]

Membaca mata memang sesulit itu, dari pagi hingga kembali bertemu pagi Asak tetap tidak bisa mengerti maksud tulisan-tulisan dari data yang diberi Pembimbing. Malam sebelum kelas pelajaran kosong, pemuda itu kembali membaca ulang semua. Dia kira akan ada sebuah ilham yang menghampiri, namun hanya sia-sia.

"Benar kata Thom, seharusnya aku tidak membaca. Bukan makin paham, malah makin tersesat, " gerutu Asak sembari melompat ke cangkir, dia berangkat sendirian. Laten si teman sekamar sudah hilang dari ranjang saat Asak membuka mata, tidak membangunkan Asak. Entah kali ini alasannya apa.

Kelas sepi, pintu terbuka tanpa pelapis. "Apa aku terlalu cepat?" Asak duduk di tabungan dengan tutup, matanya berkeliaran menatap kelas berukuran satu per empat lapangan sepak bola. Lima menit, tidak ada yang datang. Menyadari kejanggalan Asak langsung mengotak-atik tali penunjuk.

"Sial!" pekiknya sembari bangkit dari duduknya, berlari menuruni tangga dan keluar dari ruang kelas. Pelajaran kosong digelar di arena kuning, belajar terlalu keras membuat Asak lupa diri dan sama sekali tidak mengecek informasi terbaru.

Lorong-lorong panjang dia lewati, Asak panik hingga lupa fungsi dari cangkir yang dapar menghantarkan dirinya lebih cepat. Terlihat di depan sana kerumunan siswa dengan jubah berbagai warna, lapisan kubah di arena belum di aktifkan dan berarti kelas belum dimulai. Asak memasuki arena, berdiri paling belakang sembari meraup udara rakus.

"Telat lagi, hah?"

Tubuh pemuda itu tersentak, rambut pirang berantakan ikut bergerak karena Asak melompat kaget. "Demi Azmata!" pekiknya kecil sembari mengusap dada, Thom selalu saja muncul tiba-tiba. Mereka tidak terlalu dekat, Asak mengakui itu karena mereka hanya tau nama dan bertemu di kelas pelajarang kosong. Selebihnya Thom memiliki kelas yang berbeda, dia mengambil pelajaran minat yang berbeda dari Asak.

Thom terkekeh ringan, matanya sedikit menyipit karena ulasan yang mengembang. "Maaf, Asak. Sungguh tak berniat mengagetkan, hanya menyapa." Thom memasukkan kedua tangannya pada saku samping jubah, mencari kehangatan karena Jerahak sedang memasuki musim hujan.

Negara Dikara hanya memiliki dua musim, musim hujan dan kemarau. Sebenarnya hanya daerah di luar kubah yang merasakan itu, Jerahak tidak pernah diguyur hujan atau terkena panasnya terik matahari. Teknologi yang terlampau canggihlah yang membuat Jerahak dapat merasakan musim yang sama dengan daerah luar kubah.

Walau tidak turun hujan dan terpapar sinar matahari, Jerahak mempunyai teknologi yang dapat merubah suhu seluruh bagian dalam kubah sesuai dengan apa yang mereka mau. Jika sudah memasuki musim hujan, suhu akan direndahkan, angin dingin terlampau sejuk akan menghujam kulit kalian. Begitu pulan jika musim kemarau sudah tiba, suhu akan naik dan membuat bajumu basah karena keringat.

"Kau tidak kedinginan dengan pakaian itu?" tanya Thom kepada Asak. Pemuda dengan mata biru itu mengernyitkan dahi, pakaian mana yang Thom maksud. Memang dingin ini membuat Asak mengigil tapi dia sudah berpakaian hangat, seingatnya.

Thom menunjuk baju tidur yang dipakai Asak, walau tertutup jubah piyama bergambar beruang itu sedikit terlihat. "Kau yakin dengan piyama di musim hujan seperti ini, Asak? Kemana seragammu?" Thom terkekeh saat Asak menepuk dahi, mengumpat kepada diri sendiri.

"Bodoh, Asak. Data dari Pembimbing membuat diriku lupa semua, sampai-sampai lupa berganti pakaian dan mandi." Asak memejamkan matanya, mengusap wajah kasar. Sejak kapan dia menjadi ceroboh seperti ini, sepertinya dulu dia adalah pemuda yang cekatan membantu ibu membuat kue lemon tanpa lupa menungangkan banyak gula karena adik kecil menyukai manis.

Tepukan tangan mengambil semua atensi murid, tak terkecuali Asak dan Thom yang sedang membahas piyama beruang. "Kita sedang berada di arena kuning, saya yakin kalian telah mengetahui tempat ini. Namun ijinkan saya kembali perkenalkan arena ini. Berbeda dengan arena lain, arena kuning memiliki perturan yang mengikat semua komponen di dalammnya." Pembimbing menepuk tangan tiga kali, lapisan tebal tiba-tiba muncul dan membungkus arena dengan bentuk kubah.

"Tidak boleh menyerang alat vital, itu saja peraturannya. Pelajaran kosong masih dalam bab membaca mata, sekarang pilih lawan kalian dan maju ke depan bagi yang sudah siap mempertaruhkan harga diri."

"Ingin bertarung denganku, Thom?" Asak menolehkan kepalanya, menaikan alisnya sebagai pertanda menunggu jawaban Thom. Bukan jawaban yang Asak dapat, melainkan Thom mengangkat tangannya dan menunjuk ke depan.

"Sepertinya kita terlambat, Asak."

Pemuda dengan jubah abu gelap sudah berdiri dengan gagahnya, dagunya tinggi congkak, dan jangan lupakan senyum memuakan. Jejap tak ambil pusing dengan tatapan yang dilayangkan murid lain kepadanya, semua orang bertanya-tanya kenapa pemuda itu datang tanpa teman, siapa yang akan menjadi lawannya.

"Siapa lawanmu, Jejap?" Pembimbing mengerutkan dahi saat Jejap tertawa renyah. "Hei, anak muda! Kau kira ini sedang acara hiburan, tertawa nanti saja! Dimana lawanmu?" tegur pembimbing yang dibalas kekehan kecil oleh Jejap.

"Rair! Penduduk rendahan dimana kamu?" teriak Jejap keras, suaranya menggema di segala penjuru kubah. Pemuda yang dipanggil namanya mendengkus, wajahnya sudah sedatar tembok saat murid di belakangnya mendorong keras, memaksa Rair maju ke depan sana.

"Sialan!" Rair menyambar tangan seseorang yang meremat jubahnya dari belakang, menariknya keras dan membanting murid dengan jubah abu-abu gelap seperti milik Jejap. Penonton lantas berteriak, bertepuk tangan dan menghentakkan kaki. "Aku bisa berjalan tanpa kau suruh, pecundang!"

Rair berjalan santai, kedua tangannya dimasukkan ke saku samping jubah, rambut coklat mudanya yang sedikit ikal ikut bergerak naik-turun saat kakinya melangkah. Jejap mendecih, membuang ludah sembarang saat Rair memberi wajah meledek.

Kini keduanya saling berhadapan, tetapi Rair terus saja menatap ke arah kerumunan, entah mencari siapa. Raur wajahnya seketika berubah, tangannya mulai gemetar, bibirnya digigir kuat. Ada apa dengan pemuda manis itu, apa Rair tiba-tiba sakit perut.

Bum, satu pukulan kosong menghantam perut Rair. Rair tidak sempat menghindar, kuda-kuda yang tidak sempurna membuat dirinya terpelanting ke belakang, punggungnya menyapa lapisan kubah yang keras. Penonton kembali berseru, meneriaki nama Jejap sembari bersiul kencang.

"Jejap! Jejap! Habisi manusia rendahan itu!" Ini adalah kalimat yang paling terdengar, masih ada raturan teriak lainnya. Asak menutup telinganya dengan jari telunjuk, dia merengsek maju ke depan untuk melihat pertarungan bersama Thom. Sebenarnya Asak tidak terlalu tertarik, namun terlanjut penasaran karena ada nama Rair disana.

Rair bangkit, mulutnya mengeluarkan darah segar. Dia meludah, mengusap bibir dengan jubah hijau lumut yang melambangkan kasta paling rendah dari Daerah Gunung Kembar. Baru satu menit berdiri, Jejap sudah merengsek maju, memberi pukulan kosong bertubi-tubi hingga suara pukulan iti mengalahkan teriakan penonton.

"Kemana kekuatanmu kemarin, Rair!" teriak Jejap sembari menarik jubah Rair, kepalanya mendekati wajah babak belur itu. Jejap menyeringai saat Rair tidak lagi mampu menjawab, dia mendorong tubuh itu dan merentangkan tangannya. Penonton menyambut kemenangan Jejap dengan seruan-seruan, Pembimbing yang melihat itu menggeleng kepala.

"Saya menyuruh bertarung dengan melibatkan teknik membaca mata, kenapa kalian malah begini." Pembimbing menghembuskan napas, dia lupa jika pertarungan itu sah-sah saja karena di dalam pelajaran kosong tidak ada keadilan. "Kelas selesai!" Pembimbing menepuk tangan tiga kali, lapisan kubah menghilang.

Murid berlomba-lomba meninggalkan arena, aku menatap tubuh Rair yang tergolek lemah tak sadarkan diri. "Apa kita harus bawa dia, Thom?" tanyanya sembari melirik pemuda di sampingnya. Thom mengangkat bahunya acuh, wajahnya mengatakan bahwa dia tidak peduli.

"Nanti akan ada pihak medis yang membawa tubuhnya, Asak. Arena punya sistem tersendiri untuk memanggil pihak medis, walau butuh waktu tapi aku yakin dia tidak akan mati, " ucap Thom sembari berjalan keluar, meninggalkan Asak yang masih menatap tubuh Rair.

Asak berdiri lebih dari lima menit, tidak ada pihak media yang datang. Tubuh itu sedikit membiru karena cuaca semakin mendingin, Asak berniat pergi namun langkahnya terhenti saat mendengar langkah cepat mendekati arena. Pemuda tanpa jubah itu menyambar tubuh Rair, mengangkatnya dan membawa tubuh itu entah kemana.

Asak tidak sempat melihat wajah pemuda yang membawa Rair, karena sungguh Asak berdiri sangat jauh dari tempat Rair, dia hanya mampu mengetahui bahwa pemuda itu memiliki bahu lebar. Itu saja, selebihnya buram. "Siapa itu?" Asak berjalan keluar, kembali ke asrama.

Laten berada diranjang, tubuhnya membelakangi Asak yang baru saja memasuki kamar. Jubah merah bata itu makin kusut, robek sana-sini. "Apa yang terjadi? Apa dia baru saja menghadapi angin topan?" Asak duduk di kursi depan meja belajar, hanya di asrama mereka menggunakan benda-benda kuno seperti ini.

Meja belajar hanya tersedia satu, ditempatkan diantara dua ranjang dan menghadap jendela. Pemandangan gedung-gedung tinggi menyapa Asak saat dia duduk berdiam, dia mengotak-atik tali penunjuk, tanpa sadar sikut Asak menyenggol suatu benda hingga terjatuh.

Asak menunduk, dia mengernyit saat meilhat kaca mata Laten retak. Tangannya terulur, mengambil kaca mata yang sudah tak layak pakai. "Sepertinya bukan karena jatuh, apa Laten benar-benar menghadapi angin topan?"