"Aku nggak bisa..."
Semangat gue langsung ancur saat itu juga. Tubuh gue terasa mati rasa, seperti ada beban berat yang menekan di setiap otot. Jantung gue melemah, detakannya terasa lemah dan lambat, seperti tak mampu lagi mengendalikan emosi yang membingungkan ini. Rasanya, gue ingin melompat dari tower PLN seperti yang sering gue bayangkan dalam cerita-cerita sendu. Tapi, di detik-detik itu, gue berusaha untuk tetap bertahan. Tersenyum, walau kenyataannya hati gue hancur berkeping-keping. Gue nggak bisa jadi pacar kamu, Feb.
"Ga apa-apa kok, Feb. Terima kasih buat malam indahnya," ucap gue dengan suara serak, mencoba menenangkan diri sendiri.
Namun, dia menatap gue dengan lembut, tapi tajam. "Aku belum selesai ngomong," katanya perlahan, nada suaranya penuh dengan rasa yang sulit dijelaskan. Gue bisa melihat kedalaman emosi di matanya yang memancarkan perasaan yang begitu kuat.
"Iya?" gue menjawab, mencoba meredakan ketegangan yang meremas hati.
"Dengerin dulu omongan aku sampai tamat," lanjutnya, mata itu terus menatap gue, seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Meskipun rasanya seperti ada ribuan jarum menusuk-nusuk hati gue, gue tetap mendengarkan. Karena di dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya, gue tahu ada sesuatu yang tak boleh gue lewatkan begitu saja.
"..."
Gue hanya diam, mengikuti kemauannya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti mantra yang mendalam, seolah-olah menembus setiap lapisan emosi dalam diri gue. Aku ingin mengabadikan setiap kata itu, mengukirnya di dalam pikiranku, agar tak ada satupun yang terlupakan.
"Denger ya!" katanya lagi, dan gue hanya mengangguk, mencoba menyimpan semuanya dengan hati-hati.
"Aku nggak bisa bilang apa-apa lagi selain bilang... Aku juga sayang kamu, dan aku mau banget jadi pacar kamu."
Perasaan itu menggelegak dalam dadaku, membingungkan sekaligus membahagiakan. Gue memejamkan mata sejenak, mencoba mengendalikan emosi yang tak tertahankan. Setelah beberapa detik, gue pukul-pukul kepala gue, mencubit pipi gue sendiri. Sakit! Berarti ini bukan mimpi!
"Beneran, Feb? Gue nggak salah denger?" tanyaku, suaraku bergetar penuh harap.
"AKU CINTA KAMU REKA!" teriak Feby tepat di telinga gue, membuat jantung gue berdebar lebih cepat.
"Gak perlu teriak juga, Feb, sakit nih telingaku." Tapi senyum gue merekah lebar, tak peduli pada rasa sakit di telinga. "Jadi kita sekarang pacaran?"
Febi hanya mengangguk dan tersenyum sangat manis. Dengan spontan, gue memeluk erat tubuhnya yang semampai dan indah itu.
"Cieeee... Cieeee..." seru semua pengunjung cafe. Baru sekarang gue sadar bahwa kita udah dengan beraninya melakukan PDA kelas kakap. Semua mata tertuju pada kita, dan Febi melepaskan dirinya dari pelukan gue. Muka kita berubah menjadi tomat, merah merona.
Gue lihat di kerumunan ada Om Adi yang mengangguk pelan. Gue balas dengan membungkukkan badan gue. Gue gerakan mulut gue kearahnya,' Makasih banget, Om.' . Nanti gue datang lagi kesini buat bilang terima kasih dengan serius.
Di barisan depan kerumunan, ada sahabat-sahabat gue, Angga, Adit, Hafidz, dan yang lainnya. Gue memang udah sadar kedatangan mereka saat gue nyanyi tadi. Gue sebenarnya udah bilang untuk jangan datang, tapi mereka kekeh bilang, "Moral support, bray!"
Setelah kerumunan bubar menuju meja masing-masing, gue ajak Febi untuk sedikit menyapa Om Adi. Dia tersenyum ramah saat melihat kami berdua. Setelah itu, kita menuju meja anak-anak, di mana Angga, Adit, Hafidz, dan yang lainnya sudah menunggu dengan wajah ceria. Suasana semakin hangat dengan kehadiran mereka.
"Cieee...Cieee ada yang baru jadian nih," goda Angga saat gue dan Febi duduk di kursi kosong.
"Ngapain sih pada kemari. Merusak momen indah aja lu pada," bales gue dengan sedikit kesal, meskipun dalam hati gue juga merasa terhibur.
"Moral Support bray," balas Hafidz sambil cengengesan lebar, terlihat benar-benar menikmati momen ini.
"Pajak Jadian dong nih?" Ujar Adit
"Ya udah sono pesen," balas gue dengan muka capek yang berusaha tampak santai meski terdengar sedikit lelah merespon ocehan mereka yang gak ada habisnya.
Gue lihat ke arah Febi yang terdiam malu, tangannya bergerak memegang ujung gaunnya dengan lembut. Matanya menatap ke bawah, seakan mencoba menyembunyikan rasa canggung yang dirasakannya.
Dengan cepat, gue kenalkan Febi kepada mereka, "Kenalin nih cewek tercantik di malam ini, cewek gue Febi. Feb, kenalin nih idiot 1, idiot 2, idiot 3, dan pemeran figuran lainnya."
Febi tersenyum tipis, tapi matanya tetap terlihat malu. Dia mengangguk ringan saat dikenalkan, seolah mencoba menyesuaikan diri dengan kehadiran teman-teman gue yang super nyeleneh.
Sisa malam gue jalani dengan indah, ditemani pacar baru gue yang super cantik dan teman-teman dekat gue yang juga super ceria. Setiap momen bersama mereka terasa berharga. Sejenak gue merenung dan mencoba memahami semua yang telah terjadi malam ini. Gue ajak Feby jalan ke kafe karena gue ingin menembaknya. Terus gue naik ke stage kafe buat nyanyiin sebuah lagu untuk Feby. Lalu gue berani mengungkapkan perasaan. Dan kini, gue duduk di samping Feby sebagai pacarnya. Malam ini benar-benar malam yang indah. I love you, Feb.
Setelah pamitan sama Romy, gue pulang bersama pacar baru gue yang tersayang. Gue bonceng dia di atas motor setia gue, si Item. Kali ini Febi meluk gue lebih erat dari sebelumnya. Selama perjalanan, Febi terus bersenandung dengan suara lembutnya. Gue bisa merasakan aura ceria yang mengalir darinya. Ternyata bukan hanya gue yang merasa gembira malam itu.
"Ehmmm, Sayang,"
Gue terkejut mendengar panggilan itu. Jantung gue hampir copot dengerinnya. Apalagi dengan suara Febi yang agak manja, terdengar begitu lembut dan memikat. Mulai saat ini, gue harus mulai terbiasa. Kalau nggak, jantung gue bisa copot beneran. Tapi, entah kenapa, gue nggak merasa keberatan. Bahkan rasanya nyaman sekali mendengarnya dari mulut Febi.
"Eh...iya...apa?" jawab gue gugup, suara gue terdengar sedikit tercekat.
"Lagu yang tadi enak loh. Itu beneran buatan kamu?"
Gue mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri. "Sebenernya sih itu ciptaan aku sama Angga," jawab gue dengan suara yang sedikit lebih tenang, meski hati masih terasa melayang-layang.
"Angga temen yang konyol tadi kan?"
"Heem," jawab gue sambil tersenyum sedikit, mencoba menggambarkan perasaan yang bercampur aduk—antara malu, senang, dan gugup yang tak bisa disembunyikan.
"Nyanyiin lagi dong," pinta Febi dengan suara lembut yang penuh harap. Sorot matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata, seolah ingin mendengarkan lagu itu sekali lagi untuk mengingat momen yang membuatnya tersenyum.
Gue menghembuskan napas pelan sebelum mulai menyanyikan lagi lagu itu. "Untuk kamu, Feb," bisik gue, melantunkan lagu yang menjadi lebih dari sekadar nada, melainkan sebuah perasaan yang ingin terus didengarkan. Suara gue terdengar sedikit bergetar karena perasaan gugup yang masih menggelayuti. Jangankan nyanyiin lagu Feb, gue bakal lakuin apa aja buat kamu Feb, karena gue sayang kamu Feb.