Pada saat menuju ke halte busway, Alvan dan Rusya terlihat seperti sepasang kekasih yang penuh kebahagiaan, penuh tawa dan canda. Padahal mereka sama sekali tidak sedang berpacaran. Yah ... gak masalah sih, kalau mereka pacaran beneran. Itu urusan mereka. Malahan aku merasa senang, kalau ada teman yang berpacaran dengan teman dekatnya.
"Wan, jangan sedih ... ini kan cuman cerita doang." Ucap Author menghibur diriku secara tiba-tiba.
"Apa sih, Thor, jangan aneh dah! Aku lagi bercerita nih!! Jangan ganggu lah!!"
"Wan, kamu kenapa dah?" tanya Alvan yang tiba-tiba bingung melihat kelakuanku.
"Hah? Maksudnya?" ucapku yang bingung dengan maksud perkataan Alvan.
"Yak, kamu ngapain ngomong sendirian gitu?" Tanyanya lagi.
"Gak, aku gak ngomong sendiri."
"Apaan? Kamu tadi kayak ngomong sendiri gitu?!" ucapnya lagi dengan herannya.
"Gak kok, aku gak ngomong sendiri ..."
"Ha-ah, makanya itu aku gak mau ngajak dia." Celetuk Rusya melihat diriku bertingkah laku aneh.
"...," Alvan hanya terdiam saja mendengar perkataan Rusya sekaligus bingung dengan tingkah lakuku.
Melihat keadaan yang tidak beres di sekitarku, aku pun langsung menanyakan ke Ponci dan Kunti. "Pon, Kun. Ini sebenarnya ada apa ya? Kok semua pada anggap aku ngomong sendiri?"
"Emang. Tadi kamyu ngomong sendiri, Wan," jelas Ponci dengan perasaan bingung.
"Iya, Wan. Kamu sehat, kan?" timpal Kunti yang khawatir dengan keadaanku.
"Loh?? Kok ada yang aneh sih??" pikirku, yang masih bingung dengan situasi saat ini.
"Gak ada yang aneh, Wan. Emang gue yang masuk dalam dialog lu ini," jelas Author di pikiranku.
"Bentar, bentar! Jadi kamu masuk ke dalam dialog alur ceritaku?!" Ucapku sedikit teriak dan kesal.
"Yap! Benar sekali," ucap Author dengan menggodaku.
"Kau ini!" gerutuku yang kesal dengan kelakuan Author.
"...?" Ponci dan Kunti diam saja dan melihatku dengan perasaan bertanya-tanya.
Setelah bisa memahami kejadian ini, aku pun langsung menenangkan diriku. Dan menjelaskan kepada Ponci dan Kunti, bahwa diriku baik-baik saja.
"Santai kok, aku baik-baik aja."
"Ya udah kalau kamu gapapa," ucap Ponci dengan lega.
"Kamu ini ... Wan, Wan. Bikin orang khawatir aja." Ucap Kunti seraya menggelengkan kepala.
"Yah... sorry deh. Soalnya ada yang aneh banget, Pon, Kun."
"Aneh? Maksudnya?" ucap Ponci dan Kunti yang bingung maksud perkataanku.
"Yah... anehnya-"
Di saat menjelaskan keanehan yang menimpaku kepada Ponci dan juga Kunti, tiba-tiba Authorku memotong pembicaraan tersebut sekaligus menjelaskan situasi dialog antara Author dan MC (artinya : Main character). "Percuma aja, mereka gak bakalan tahu. Soalnya, cuman gue sama lu aja yang bisa komunikasi."
"Ugh!! Kau ini!!" gerutuku lagi.
"....??" Ponci dan Kunti diam, dan semakin bingung apa maksud dari omonganku.
Di waktu aku sedang menggerutu sendirian karena kelakuan Authorku. tiba-tiba Alvan memanggilku serta menanyakan keadaanku. "Wan? Wawan!! Kamu baik-baik aja, kan?"
"Ha? Ga-gapapa kok. Ayo dah, kita ke halte busway segera! Hehehe..." ucapku dengan gugup, serta berjalan menghindari pertanyaan Alvan.
"Hem??" ucap Alvan yang masih bingung dengan tingkah lakuku.
"Gila!" ucap Rusya dengan kesal akan tingkah lakuku.
"Sabar..." ucap Alvan sembari menenangkan Rusya.
"...." Rusya hanya terdiam serta menggelengkan kepalanya kepada Alvan.
Tanpa terasa, tibalah kami di depan tangga yang menuju ke pintu loket halte busway. Setelah menaiki tangga, dan sampai di pintu loket halte, kami bertiga pun membayar tiket buswaynya berdasarkan tarif yang tertera di kaca pintu loketnya. Sesudah membayar tiket busway, kami bertiga langsung beranjak pergi menuju ke lobi halte untuk menunggu kedatangan busway kami. Sesampainya kami di lobi halte busway, kami bertiga langsung duduk di bangku tunggu. Supaya nantinya, kami bisa melihat kedatangan busway kami.
"Fiuh... capek banget sumpah, jalan menuju ke pintu loketnya..." Alvan mengeluh karena jauhnya jalan ke pintu loket.
"Itu tandanya kamu kurang olahraga, Van," ucap Rusya sembari duduk di samping Alvan.
"Ya, mungkin aja."
"Iya, Alvan," balas Rusya dengan senyuman manisnya.
Selagi Alvan dan Rusya mengobrol dengan asyiknya, aku cuman bisa termenung aja. Yak... gimana ya? Masa iya sih Authorku main masuk begitu aja? Kan keterlaluan lah. Ntar dikiranya MC gila lagi. Kan gamau lah, kalau MC-nya itu dikira gila beneran.
"Udahlah, Wan, pasrah aja hahaha." Ucap Author sembari tertawa terbahak-bahak.
"Diam kamu, Thor!!"
Dan maka dari itu, aku cuman bisa diam diri aja.
Ketika aku sedang termenung karena kejadian yang menimpaku, tiba-tiba lamunanku langsung menghilang karena panggilan dari Alvan.
"Wan? Kamu gapapa kan?" tanya Alvan yang khawatir dengan keadaanku.
"Hah? Hahaha... Gapapa kok, aku cuman melamun aja tadi."
"Emangnya kamu ada masalah apa, Wan, sampai melamun gitu?" tanya Alvan yang masih khawatir.
"Gapapa kok hehehe..."
"Iya, sebelum Author menyerang!!!" batinku yang masih kesal dengan tingkah laku Author.
"Cuman tadi aku ingat sesuatu aja kok, Van." Ucapku yang menutupi masalah yang terjadi.
"Emangnya kamu ingat apaan? Sampai kamu ngomong sendiri gitu?" tanyanya lagi.
"Em... yah... aku ngomong sendiri tuh, lagi ingat kelakuan ibuku. Jadinya aku mau ngebalas kejahilan ibuku itu. Makanya sampai aku ngomong sendiri." Jelasku yang menutupi masalahku kepada Alvan.
"Percaya dong!! Percayaa!!!" pikirku, yang takut ditanya lagi sama Alvan.
"Oh... gitu. Emangnya ibumu isengnya keterlaluan, Wan?" ucap Alvan setelah memastikan bahwa aku baik-baik aja.
"YESS!! DIA PERCAYA!!" pikirku dengan senang, mengetahui bahwa Alvan percaya pada omonganku.
"Iya bener, Van. Sampai aku memikirkan cara untuk ngebalas jahilnya ibuku itu." Ucapku meyakinkan Alvan lagi.
"Hem... begitu ya. Kupikir kamu ada apa-apanya, sampai ngomong sendiri gitu." Ucap Alvan dengan leganya, yang mengetahui bahwa diriku memikirkan strategi untuk membalas kejahilan dari ibuku.
"Hehehe, iya, Van."
"Huuuuu dasar pembohonggg..." ucap Author yang menyoraki kebohonganku kepada Alvan.
"Diam kau, Author laknat!!!" marahku dengan suara pelan kepada Author.
"Hahaha," tawa Author melihat kemarahanku, seraya pergi meninggalkanku.
Ketika aku memarahi Author karena mengejekku pembohong, tiba-tiba ada suara langkah kaki yang menghampiri ke lobi halte. Ternyata suara langkah kaki itu berasal dari Septi.
"Loh, Wawan?!" ucap Septi yang kaget melihatku satu halte dengannya.
"Yo, Septi!" sapaku kepada Septi.
"Gimana harimu di kelas baru?" ucapku sembari berdiri dari bangku tunggu menuju menghampiri Septi.
"Yah... sangat capek, Wan. Aku disuruh bikin tugas mulu. Yah... emang sih, ada materi yang dikasih dari gurunya. Kalau kamu, bagaimana?"
"Yah... penuh penyiksaan. Pertama kali masuk, gurunya langsung kasih ulangan. Yak, kalau gurunya ngasih materi dulu sih gapapa. Lah ini... gurunya itu gak ngasih materi, main langsung ulangan aja." Ucapku dengan kesal, mengingat kelakuan dari Bu Mirna.
"Udah gitu... di tiap akhir pembelajarannya, harus ulangan harian terus-menerus serta pemberian tugas mulu lagi. Jadinya, yah... sangat capek banget." Sambungku yang mengeluh, kelakuan dari Bu Mirna.
"Ya sudah. Sabar aja, Wan," ucap Septi yang menghiburku dengan memberikan senyum manisnya.
"Iya, Septi." Ucapku sembari membalas senyuman dari Septi.
"BTW, itu temanmu, Wan?" tanya Septi yang penasaran, seraya menunjuk ke arah Alvan dan juga Rusya.
"Iya Sep, mereka teman-temanku. Kenalin ini namanya Alvan, dan di sampingnya itu namanya Rusya." ucapku memperkenalkan Alvan dan Rusya kepada Septi.
"Oh gitu. Salam kenal ya Rusya, Alvan!" Salam Septi kepada Alvan dan Rusya dengan tersenyum.
"Salam kenal juga, Sep." Alvan dan Rusya menyalami Rusya.
Seusai aku memperkenalkan Alvan serta Rusya kepada Septi, aku pun menawarkan bangkuku kepada Septi. "BTW, kamu mau duduk di bangkuku? Kan capek kalau kamu berdiri terus-menerus."
"Hehehe, iya terima kasih, Wan." Ucap Septi menerima tawaranku, sembari tersenyum manis.
Melihat tingkah lakuku yang menawarkan bangku kepada Septi, Alvan pun langsung berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke arahku. Dengan sontak, aku pun bingung melihat Alvan langsung berdiri dari tempat duduknya, seakan dia menjauhi Septi. Setelah ia sudah di depanku, ia pun tersenyum kecil. Aku pun semakin menjadi bingung melihat kenapa si Alvan tersenyum kecil begitu. Kemudian ia pun berbisik kepadaku, sembari masih tersenyum kecil.
"Wan, kamu suka sama Septi ya?"
"G-gak kok, aku sama dia berteman biasa. Gak saling suka kok." Ucapku dengan kaget bercampur perasaan menahan malu setelah Alvan berbisik kepadaku bahwa aku menyukai Septi.
"Hem..." ucap Alvan dengan tersenyum kecil sembari menggodaku.
"Ap-apa sih... aku gak ngerti."
"Udah jujur aja sama aku, Wan. Kamu suka 'kan?" bisiknya lagi.
"Gaklah... aku kan biasanya gitu sama cewek, Van."
"Oh, begitu..."
"Iya, Van," ucapku meyakinkan Alvan.
Di saat Alvan sedang menggodaku, tiba-tiba Rusya pun menghampiri kami berdua. Untuk menanyakan apa yang terjadi.
"Kalian berdua lagi pada ngomongin apa nih?" tanya Rusya sembari menghampiri kami berdua.
"Hahaha... gapapa kok, Rus. Kami cuman ngobrol soal permainan, ya gak, Wan?" Alvan berbohong kepada Rusya mengenai topik pembicaraan antara dirinya dan diriku seraya mengedipkan matanya kepadaku.
"...." Aku hanya diam saja menanggapi omongan serta tingkah laku Alvan.
"Oh, begitu. Kukira ada apa."
"Iya, Rus, hehehehe." Ucap Alvan sembari tertawa kecil.
"Hadeh, kasihan tahu si Septi digituin sama kamu, Van. Soalnya kamu berdiri secara tiba-tiba gitu." Tegur Rusya kepada Alvan.
"Yah... hahaha, maaf-maaf." Ucap Alvan yang meminta maaf kepada Septi dan Rusya.
"Hadeh... kamu ini. Alvan-Alvan." Ucap Rusya yang melihat kelakuan Alvan, sembari menggelengkan kepalanya.
"Udah, gapapa kok. Aku malahan santai kok." Ucap Septi mengerti situasinya.
"Oh.. syukurlah. Maaf ya Septi, atas kelakuan si Alvan..." ucap Rusya dengan lega seraya meminta maaf lagi atas kelakuan Alvan.
"Iya, gapapa kok." Ucapnya lagi sembari tersenyum manis.
Di saat kami sedang berbincang. Tak lama kemudian busway kami pun tiba.
"Ayo guys, kita naik yuk!" ajak Septi seraya berdiri dari tempat duduknya.
"Ayo, Sep!" Kami bertiga menerima ajakan Septi.
Setelah busway kami tiba, kami pun langsung menaiki busway kami tersebut.