webnovel

You Only Live Once

Aku pernah menulis bucketlist (daftar keinginan) waktu masih kuliah. Dengan kekayaan orangtuaku hal-hal yang bisa dibeli dengan uang cepat sekali terpenuhi. Sky diving di Dubai? Sudah. Makan di restoran gantung di Belgia? Sudah. Melihat aurora, sudah beberapa kali. Safari di Afrika untuk melihat Big Five juga sudah.

Yang sulit untuk dipenuhi dan memerlukan waktu lama adalah hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Misalnya mengunjungi semua negara di dunia. You don't just need money, but also time...

Jatuh cinta, menikah, dan menjadi penulis bestsellers adalah isi bucketlist-ku yang membutuhkan waktu paling lama untuk dapat terpenuhi. Aku jatuh cinta di umur 24, menikah umur 25 dan menjadi penulis terkenal di usia 30 tahun.

You only live once, but if you do it right... once is enough.

(Kita hidup cuma satu kali. Tetapi kalau kita hidup dengan baik, satu kali sudah cukup.)

Aku selalu suka musim gugur di New York. Aku banyak menyimpan kenangan indah di kota ini sejak masih kuliah. Central Park in autumn is a magical place and now it almost feels like home. Untuk menenangkan diri setelah insiden di UWRF, aku terbang ke New York. Seminggu pertama rasanya berat sekali untuk keluar hotel, tetapi kemudian cuaca cerah dan burung-burung gereja yang bernyanyi dari luar jendela mengundangku untuk melangkahkan kaki ke Central Park.

Ketika aku mengajak Andrea ke Central Park untuk pertama kalinya, cuaca juga cerah seperti ini. Kami duduk beralaskan selimut piknik dan ditemani wine dan beberapa potong pizza 1 dollar New York yang terkenal itu. Aku membaca buku, berusaha mencari inspirasi, dan Andrea melakukan bug testing pada sistem keamanan baru yang akan ia luncurkan.

Setelah bosan membaca buku aku akan membawa sepotong pizza dan memberi makan angsa-angsa di danau dekat situ. Andrea akan menyusul dengan potongan pizza kedua, dan setelah puas melihat angsa-angsa yang kenyang, kami akan berjalan bergandengan tangan ke coffee shop favoritku di Central Park West.

Hari ini, aku tak kuasa menahan tangis saat berjalan sendirian menghampiri danau dan mengeluarkan pizza dari kantong kertas untuk diberikan pada angsa-angsa yang segera menghampiriku.

Bayangan-bayangan kenangan melintas di depan mata dan membuat air mataku menetes pelan-pelan. Aku malu karena aku sepertinya kurang bersyukur. Aku kan sudah jatuh cinta, menikah, dan menjadi penulis terkenal. Sebagian besar keinginanku, baik yang dapat dibeli dengan uang, maupun tidak, sudah terpenuhi. Aku memang belum mengunjungi semua negara di dunia, karena aku tidak punya waktu...

Aku terduduk dan menangis tersedu-sedu dengan membenamkan wajah ke dua telapak tanganku. Banyak orang yang menganggapku sebagai gadis yang memiliki segalanya, tetapi mereka tidak tahu betapa aku merasa bagai orang paling miskin di dunia....

"Ludwinaa..!! Winaa...!!" tiba-tiba terdengar suara memanggil dari kejauhan, "Ludwinaaa..!!"

Aku pasti bermimpi.

Itu suara Andrea.

Aku mengangkat wajah ke arah datangnya suara. Dari balik genangan airmataku aku melihat bayangan seorang laki-laki berlari mendekat. Ia mengenakan jaket abu-abu panjang dan berlari sekuat tenaga ke arahku.

"Winaa..."

Akhirnya pemilik suara tiba di depanku, suaranya terengah-engah dan lelah, "Wina..."

Aku mengenali laki-laki itu. Aku pasti bermimpi. Ini suara Andrea dan aroma Andrea. Ini tubuh Andrea. Tapi kan tidak mungkin ia ada di sini... Andrea tinggal di London.

Ia memelukku kuat sekali.

"I came as soon as I knew..." katanya lirih. Ia memelukku lama sekali. "Visa Amerikaku sudah habis... Aplikasi visa yang baru perlu waktu satu minggu dan aku langsung ke sini dari bandara. Maafkan aku baru bisa datang sekarang.... Maafkan aku..."

Perlu waktu beberapa lama bagiku untuk bisa memproses apa yang terjadi. Ini bukan mimpi.

Andrea memang datang ke sini...

Dan dia sudah tahu...

Aku berusaha melepaskan diri dari rangkulannya tetapi Andrea tidak menyerah. Dia berbisik pelan berulang-ulang dengan suara yang hampir tercekat karena tangis. "Please... please don't tell me to leave... Please, Wina..."

"Aku akhirnya menyerah dan mengikuti keinginanmu untuk bercerai. Sesudah konferensi di Bali aku mampir ke Singapura untuk mengemasi sisa barang-barangku. Kamu sudah lama tidak tinggal di sana dan apartemen kita berdebu sekali. Aku memutuskan untuk bersih-bersih terakhir kalinya... dan aku melihat laporan diagnosis kamu tahun lalu di tempat sampah. Kamu nggak pernah ngasih tahu aku... Aku langsung datang ke rumah sakit dan ketemu dokter kamu, and he told me everything... Aku tahu kamu sudah cari second and third opinions ke beberapa rumah sakit di Amerika. Aku tahu diagnosisnya selalu sama. Aku tahu kamu sengaja menjauhiku dan melakukan segala cara biar aku kembali pada Adel. Kamu sengaja tidak pernah membalas email dan teleponku supaya aku menyerah dan meninggalkan kamu..."

Andrea sudah tahu semuanya....

Aku lupa membuang dokumen dari rumah sakit karena aku tidak mengira Andrea akan datang ke Singapura...

Akhirnya tangisku pecah dan aku tersedu-sedu di dadanya.

"Di hari itu Dokter Chou menunjukkan hasil tesku.. Katanya itu kanker rahim, sudah stadium lanjut. Hatiku hancur..." aku berkata sesenggukan, "Aku bukan hanya nggak bisa kasih kamu anak, tapi aku juga nggak bisa hidup sama kamu sampai tua, seperti rencana kita. I know how heart-broken you would be... Tadinya aku akan kasih tahu kamu sesudah dapat second opinions... tapi kemudian aku nggak tega, Andrea. Jadi aku berusaha menyatukan kamu dan Adelina. Aku sengaja menahan diri ga pernah mau ketemu kamu dan membalas email-email kamu. Aku menunggu kamu pergi selama setahun ini.... Tapi kenapa kamu nggak move on-move on juga....? Kenapa.... ? Harusnya sekarang kamu sudah kembali bersama Adelina dan Ronan dan lupa sama aku..."

Apartemennya di Camden ditata mirip apartemen kami dan passkey-nya sama seperti passkey apartemen kami di Singapura, kapan pun aku siap untuk kembali...rumah itu terbuka untukku. Aku sungguh patah hati saat masuk ke apartemennya dan menyadari bahwa selama setahun ini Andrea menungguku dengan setia di London...

"Kamu berusaha keras mengusir aku dari kehidupanmu, kamu bikin aku berpikir kalau kamu sudah berubah jadi perempuan egois dan tidak mau memaafkan masa laluku, tidak mau menerima Ronan.... Kamu pikir aku nggak kan pernah tahu apa yang terjadi..." Andrea memegang wajahku dengan kedua tangannya dan menatapku dalam-dalam, "And I wouldn't have found out if I didn't come to get my stuff from Singapore... Sekarang aku sudah tahu, dan kamu nggak bisa lari lagi. Kemana pun kamu pergi, aku akan ikut... I promise you, you can't get rid of me this time..."

Aku jatuh cinta di usia 24, menikah di usia 25, divonis kanker stadium lanjut pada usia 29, dan menjadi penulis terkenal pada usia 30. Ada beberapa hal lagi dalam bucketlist-ku yang tidak akan pernah tercapai, seperti mengunjungi semua negara di dunia dan menikmati masa tua dengan kekasih hatiku... simply because I don't have the time... Aku tidak punya waktu.

But looking back, I think I have lived a good life. I think I have done it right.

(Menurutku, aku telah menjalani hidup sebaik mungkin. Kupikir... aku sudah melakukan yang terbaik.)

Aku ingin menghindarkan Andrea dari pedihnya patah hati bila aku meninggal, karena itulah aku merahasiakan penyakitku. Aku berharap kepindahannya ke London akan memberi awal baru baginya dan Adelina sehingga ia akan melupakanku, dan aku pelan-pelan berencana menghilang dari hidupnya.

Aku sudah menerima kenyataan bahwa hidupku tidak lama lagi dan menolak kemoterapi yang hanya akan membuatku bertahan hidup sedikit lebih lama dengan rambut rontok dan penampilan yang jelek. Not worth it.

When I was in my darkest times, I was contemplating suicide. The only reason I didn't do it was because I know how badly it would hurt him and my family...

(Di saat-saat tergelap dalam hidupku, aku sempat terpikir untuk bunuh diri. Aku masih hidup sekarang karena aku tahu, jika aku melakukannya, betapa Andrea dan keluargaku akan sangat terluka...)

"I am sorry for keeping things from you." kataku pelan. (Maaf aku merahasiakannya darimu.)

"I am sorry that you even felt the need to keep things from me... I'll do better." (Maaf aku tidak becus sebagai suami, hingga kau sampai merasa perlu merahasiakannya dariku. Aku berjanji akan menjadi suami yang lebih baik). Andrea mencoba tersenyum dan melonggarkan pelukannya. "Ayo, kasi makan angsanya.. Mereka sudah kelaparan.."

Aku mengangguk lemah, membalas senyumnya sambil menghapus air mataku. "Ah..iya, kita kasih makan berdua, ya.."

"Habis itu ke coffee shop langgananmu..."

"Iya."

"Sesudah itu aku mesti beli baju karena aku ke sini nggak bawa koper."

"Iya."

"Kamu jangan suruh aku pergi lagi."

"Iya, Ndre..."

"Kita hadapi bersama... till death do us part." Sampai maut memisahkan kita.

"Iya... till death do us part," aku mengulang kata-katanya dengan tersenyum, walau airmata kembali membanjiri pipiku.

Kami berjalan bergandengan ke Central Park West setelah puas melihat angsa-angsa yang kenyang.

"Kamu capek? Aku gendong, ya?"

"Nggak usah, ah.... malu dilihat orang."

Dia tidak mengindahkan protesku dan menggendongku di punggungnya, "Orang sakit nggak usah protes."

You only live once, but if you do it right... once is enough.

(Kita hidup cuma satu kali. Tetapi kalau kita hidup dengan baik, satu kali sudah cukup.)