Andrea belum pernah makan malam dengan keluarga yang lengkap seperti ini. Sejak kecil hanya ada ia dan ibunya. Sewaktu masih muda dan bekerja di sebuah hotel di Bali, ibunya jatuh cinta kepada manajernya dari Italia yang segera minta dimutasi kembali ke Italia begitu mengetahui perempuan itu hamil, dan Andrea lahir tanpa pernah mengenal ayahnya.
Ibunya belajar dari pengalaman, tidak pernah lagi mempercayai laki-laki dan ia mendidik Andrea agar tidak mengikuti jejak ayahnya yang brengsek. Andrea sangat menyayangi ibunya dan kehidupan mereka berdua saja sudah membuatnya bahagia.
Ia tidak pernah merasa ada yang kurang....
Hingga ketika ia duduk makan malam bersama Ludwina dan seisi keluarganya.
Pak Kurniawan dan Bu Inggrid tampak saling mencintai, terlihat dari cara mereka saling memandang dan berbicara dengan satu sama lain, dan pura-pura menggerutu betapa anak-anaknya nakal dan keras kepala.
Mereka pecinta musik klasik dan menamai ketiga anaknya berdasarkan nama komponis terbesar dunia. Johann si sulung dari Johann Sebastian Bach, dan Ludwina dari Ludwig van Beethoven.
Beberapa bulan kemudian Andrea baru mengetahui bahwa ada anak kedua di antara Johann dan Ludwina, yaitu Wolfgang yang meninggal dunia akibat meningitis di usia 14 tahun. Wolfgang dari Wolfgang Amadeus Mozart.
Johann adalah seorang dokter yang sedang mengambil spesialis dan Ludwina lulusan Sastra Inggris dari Columbia University yang sangat ingin menjadi penulis. Mendengar bahwa Ludwina kuliah empat tahun di Amerika sendirian, pandangan Andrea menjadi sedikit berubah.
Ternyata gadis itu tidak manja. Seorang anak manja tidak akan mampu bertahan sendirian kuliah di negeri asing selama bertahun-tahun.
Andrea tidak mengetahui apa pekerjaan ayah Ludwina, karena mereka sama sekali tidak membahas bisnisnya di meja makan. Fokus mereka hanya kegiatan dan pencapaian anak-anak mereka. Tetapi melihat dari sekelilingnya, Andrea bisa menduga keluarga ini sangatlah kaya.
Ia merenung membayangkan sikap keluarga Adelina yang berubah dingin saat mengetahui ia mencintai anak mereka. Andrea melirik Ludwina yang sedang bercerita dengan antusias tentang bagaimana Andrea menaruhnya di atas koper dan mendorongnya di troli di sepanjang terminal tadi siang, dan keluarganya tertawa terbahak-bahak.
Gadis itu imut sekali. Tanpa sadar Andrea memandangnya dengan senyum geli.
Ayah Ludwina menoleh ke arahnya dan pandangan mereka bertemu. Andrea segera tertunduk. Tiba-tiba ia tahu diri. Ia tidak mau mengulang kesalahan seperti dulu.
"Andrea tadinya di bandara baru tiba atau mau berangkat?" tanya Pak Kurniawan tiba-tiba. "Kok bisa tubrukan sama Wina?"
"Saya tadinya mau berangkat ke Singapura, Pak. Tapi tidak jadi," jawab Andrea sambil tersenyum.
"Lho... kalau begitu kapan kamu mau ke sana bilang saja ya, biar kita ganti tiketnya."
"Nggak usah, Pak. Harusnya saya wawancara kerja besok pagi di Middle Road. Nggak akan keburu."
Semua orang di meja makan saling pandang. Ludwina menekap mulutnya dengan kaget.
"Wahh.. maaf, kamu jadi nggak bisa datang wawancara kerja..."
"Nggak apa-apa, serius. It's just a job interview. Nanti juga ada lagi." Memang Andrea tidak terlalu kuatir. Ada beberapa perusahaan yang sedang mendekatinya untuk bekerja bagi mereka.
Keinginannya bekerja di Singapura tidak terlalu besar karena ia tidak ingin meninggalkan ibunya. Apalagi Singapura mengingatkannya akan rencana pernikahannya yang gagal 3 tahun lalu.
"Kamu kirim resume ke sini, deh. Nanti saya carikan posisi yang sesuai untuk kamu." kata Pak Kurniawan kemudian. Andrea menggeleng-geleng sambil tertawa ringan.
"Serius, nggak apa-apa, Pak. Buat saya yang lebih penting adalah memastikan kalau Ludwina nggak kenapa-kenapa. Saya sangat takut kalau melukai anak Bapak."
Ludwina tampak mengangkat wajah dan mengangguk-angguk. "Betul sekali. Laki-laki memang harus bertanggung jawab. Minta nomor telepon kamu ya. Besok aku kirim jadwal fisioterapi."
Johann tampak memandang Ludwina dengan pandangan jahil tetapi gadis itu tidak perduli. "Dokter Indra bilang aku perlu fisioterapi sebulan! Kamu nggak percaya sama teman kuliahmu sendiri?"
"OK, tapi kalau ada apa-apa, kamu jangan sungkan minta bantuan saya, ya." kata Pak Kurniawan kemudian.
Seisi ruangan bisa melihat dengan jelas Ludwina yang memandang Andrea dengan penuh kekaguman, dan betapa Andrea tak pernah berhenti tersenyum sepanjang mereka makan malam. Pak Kurniawan, Bu Inggrid, dan Johann tampak saling pandang dengan penuh makna.
Selama makan malam yang berlangsung dua jam itu, Andrea tiba-tiba saja sudah terasa seperti keluarga sendiri. Entah bagaimana hal itu terjadi, ia juga tidak mengerti.
Mereka bicara banyak hal remeh-temeh dan tidak terasa waktu pun menunjukkan pukul 10 malam dan ia harus pulang. Dengan agak berat hati ia pamit.
Dalam hati tiba-tiba ia merasakan suatu kehilangan. Mungkin ini rasanya memiliki keluarga yang utuh. Melihat betapa keluarga Ludwina sangat hangat dan bahagia, sesisip rasa iri muncul di lubuk hatinya.
Seandainya nanti ia punya keluarga sendiri, ia akan memastikan bahwa keluarganya akan hangat dan bahagia seperti itu. Anak-anaknya akan memiliki orangtua yang sabar dan penuh kasih sayang.
Ia akan menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya, dan suami yang penuh cinta bagi istrinya. Ia sangat mengagumi Pak Kurniawan.
***