webnovel

Sharp and Flat (Minda Saraswati Betari)

Tokoh di dalam scene "Sharp and Flat" : Joseph dan Dean

Pagi yang cerah dan aku bisa merasakan kicauan burung pagi yang sangat merdu. Jika tidak ada bunyi rebut di lantai bawah, mungkin bunyi nyanyian burung pagi itu terdegar jelas. Pasti hari ini, Dean tengah melakukan sesuatu lagi di kamarnya. Musik digital yang dia buat di kamar sebelah membuat kupingku mau pecah. Keras kepala memang anak itu, setidaknya kamarnya bisa dipasang peredam suara. Tapi, begitulah dia, selalu menunda-nunda. Anak itu selain jenius, ia juga cueknya bukan kepalang.

Dean itu adikku yang paling kecil, lebih tepatnya namanya adalah Dean Bramasta Betari. Parasnya lumayan. Entah kenapa, dia harus masuk sekolah yang sama denganku. Begitu masuk jadi anak baru, tidak ada yang berhenti mendekatinya. Umur kami juga tidak terlampau jauh, aku menduduki bangku SMA dan Dean menduduki bangku SMP.

Gawat! Gara-gara dia aku tidak bisa tidur lagi. Padahal, hari libur adalah waktu yang tepat untuk bersantai. Tidur dalam jangka waktu yang lama, setelah Ayah, Ibu dan Kakak-kakak berangkat kerja. Yang paling gawat, tidak ada satu pun mobil di rumah dan Dean juga ada di rumah.

"Aduh, si Dean ini juga. Dari semalam, music yang dia buat belum jadi rupanya?" Kataku dalam hati.

Kali ini aku mulai menggerutu sambil berjalan menuju kamar sebelah. Begitu sampai di depan pintu kamar Dean, aku langsung menegurnya, "Dean, bisa tidak suara musik buatanmu itu dikecilkan? Aku mau lanjut tidur!"

Semprul memang anak ini, tidak ada sautan sama sekali dari dalam. Memangnya musik bisa nyala sendiri? berkali-kali kutegur pun tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar. Pintunya pun dikunci. Memang pengen kutendang kepala anak ini. Mau tidak mau, akhirnya aku kembali lagi ke dalam kamar. Siapa tahu, dia sadar diri dan mengecilkan suara musiknya.

Kutunggu setengah jam, tidak ada pergerakan. Aku masih mendengar suara musiknya. Baiklah, kali ini aku bersabar, kutunggu satu jam lagi. Tetap saja tidak ada pergerakan. Baiklah, kali ini aku masih bersabar, kutunggu satu setengah jam. Tetap tidak ada pergerakan juga.

Karena sudah naik darah, akhirnya aku mencoba ke kamar sebelah lagi, berdiri di depan pintu dan mengetuk pintu. Kali ini aku mencoba untuk tidak mengatakan apapun sampai si semprul Dean membuka pintu. Kuketok beberapa kali juga tetap tidak ada pergerakan dari dalam kamar.

"Ampun dech, kemana anak itu sich? Jangan-jangan dia pergi, tapi lupa mematikan musiknya? Ah, masa sich. Ya sudah, ku….."

Cekrek

"Ada apa?"

"Oi, pake kata "kak" kalau lagi ngomong sama yang lebih tua. Lagian kamu ngapain memangnya di dalam, lama banget buka pintu?"

"Berendam."

"Kayak cewe aja pake berendam segala."

"Ada apa tadi manggil?"

"Bukan cumin manggil, tapi mau teriak."

"Oh."

"Oh doang?"

"Tadi, kan, aku nanya, kenapa manggil?"

"Suara musikmu bisa dikecilin gak sich, aku mau lanjut tidur. Emangnya kamu aja yang bikin proyek trus tidur sampe malam."

"Proyekku selesai jam 9 malam, aku malah udah bangun jam 5 pagi!"

"Whatever! Aku tahu, ya, music buatanmu itu lebih bagus daripada punyaku….."

"Makasich. Tapi, aku gak punya receh."

"Kamu kecilin suara musikmu atau….."

"Atau?"

"Kubilangin Mama biar kamu gak dikasih uang jajan."

"Idih, sejak kapan aku gak dikasih uang jajan." Setelah bibirnya mencibir, dia menutup pintu begitu saja.

"Ehm, Gusti, kalau bukan adikku, ku unyel-unyel jadi lapet kali dia, beneran dech!"