webnovel

Sosok Deana

Deana beranjak keluar rumah dan mengarah ke hutan. Ia menoleh ke kanan ke kiri dan tak menemukan apa pun. Saat ia hendak ingin melangkah keluar halaman, sang nenek ikut keluar dan memanggilnya.

"Ya, nek?"

"Kemari sebentar, Deana."

Deana mengikuti sang nenek dan mendekatinya lagi. Ia berjalan agak cepat agar bisa mendengar apa yang ingin dikatakan neneknya.

"Ada apa, nek?"

"Hati-hati ya. Kepergian Watcher itu adalah awal masalah. Kalau ada yang tidak kau kenal di hutan, berlarilah pulang. Tinggalkan saja semua bawaanmu. Janji pada nenek?"

Deana terdiam sejenak lalu mengernyit. Ia tak tahu penyebab neneknya sangat protektif padanya. Nenek hanya bercerita bangsa werewolf itu berbahaya terlebih saat red moon. Itu adalah masa puncak bangsa itu haus darah dan tak pandang bulu. Mendengar cerita neneknya saja ia sudah merinding. Tapi dirinya saja sudah diberi tanda oleh Watcher waktu itu. Jadi, untuk apa dirinya takut? Bukankah itu tandanya ia memang ditakdirkan untuk berdekatan dengan bangsa mereka?

Tanpa banyak bicara Deana hanya menuruti ucapan sang nenek dan beranjak ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan mungkin beberapa makanan yang bisa mereka konsumsi hari ini. Di dalam hutan itu juga ada aliran sungai kecil, biasanya ia pun akan memancing ikan di sana.

Deana memunguti batang kayu yang kecil dan kering. Ia megumpulkan dan mengikatnya jadi satu. Setiap harinya ia akan ke hutan untuk melakukan rutinitasnya itu. Lumayan dsri pada tak ada kegiatan di rumah, lebih baik membantu nenek mencari seduatu untuk di makan.

Deana kembali menyusiri hutan yang ia hampir kuasai keseluruhan tempatnya. Tak perlu waktu lama baginya untuk mencari di mana tempat tempat yang terdapat makanan. Ia berpikir untuk mencari ikan dahulu di sungai. Mumpung masih pagi begini, biasanya ikan akan bergumul di atas dan ia akan mudah mengambilnya.

Sesampainya Deana di sana, ia bergegas ke bibir sungai. Ia mengambil alat tradisionalnya untuk menyerok ikan. Di sana ikannya ada banyak sekali. Jadi, bukan hal sulit untuk mendapatkan beberapa. Bila berlebih ia akan mengembalikan ikannya lagi ke sungai.

"Empat ekor aku rasa sudah cukup sampai malam. Tinggal cari sayur, nenek juga kan harus makan itu."

Deana beranjak dari sungai menuju ke dalam hutan lagi. Ia masuk semakin dalam hingga cahaya yang masuk pun jadi jauh lebih sedikit. Bulu romanya bergidik. Ia merasa seperti sedang diintai. Tapi siapa? Apakah bangsa werewolf atau hanya seorang manusia lain?

Deana mencoba bersikap tenang. Ia segera mengambil beberapa lembar dedaunan yang ia butuhkan dan memasukkannya ke dalam keranjang anyaman miliknya. Ia segera mengambil semuanya dan menggendongnya di punggung. Selepas ia berbalik ia terkejut.

"Ya ampun. Hampir saja jantungku copot."

Deana mengusap dadanya. Rasa syok itu membuat dirinya terengah. Di sana ia berjongkok dan mengusap bulu kucing itu. Ternyata hanya seekor kucing hutan. Jarang sekali ada kucing hutan yang mau di sentuh manusia. Biasanya mereka hanya akan lari.

"Kau lapar ya? Sebentar. Aku ada ikan kecil, ini untukmu."

Deana mengamati kucing itu dengan seksama. Tubuhnya kecil dan kurus sekali. Ia menduga bahwa kucing itu memang masih sangat muda dan masih membutuhkan sapihan induknya. Akan tetapi saat ia mencari ke sana kemari, ia menemukan induknya sudah mati tak begitu jauh dari anak kucing itu muncul. Deana mengamati betapa lahapnya kucing itu. Ia jadi tak tega kalau membiarkannya sendiri di sana.

"Indukmu mati, kau mau ikut aku pulang?"

Ah, bodoh. Binatang mana yang akan membalas ucapannya? Ia kembali berdiri dan beranjak dari sana. Namun, kucing itu mengikuti dan mengeong memanggilnya. Lantas ia pun menoleh dan terkejut saat menemukan ikan itu sudah habis.

"Hei, kau makan cepat sekali. Kau mau ikut denganku? Kau boleh ikut kalau kau mau."

Kucing itu berjalan memutari Deana. Ia seperti memiliki teman bicara. Ia membiarkan kucing itu mengikutinya dalam diam. Terkadang ia menggendongnya dan sisanya kucing itu yang berkeinginan untuk berjalan sendiri di sisinya.

"Jangan nakal ya nanti di rumah. Nenek tidak suka kegaduhan."

Deana berjalan menyusuri hutan itu. Arahnya semakin mendekati rumah. Tak butuh waktu lama ia sudah melihat rumahnya di ujung sana dan berjalan lebih cepat. Ia butuh ke kamar mandi ternyata.

Sesampainya di rumah ia segera membasuh diri. Lengket sekali badannya. Terlebih ia juga harus memasak dan membuat kerajinan tangan lainnya untuk ia jual ke desa. Bagaimana pun juga ia membutuhkan sesuatu untuk dijadikan karbohidrat utama. Kalau hanya ikan dan sayur, perutnya akan terus merasa lapar.

Deana segera menyelesaikan masak dan juga pekerjaannya. Setelah itu ia bergegas menuju desa. Tak lupa, kucing tadi juga masih mengikutinya dari belakang.

Deana terus berjalan ke arah desa. Kakinya terasa sakit. "Duh, kenapa rasanya lebih jauh jalan ke desa dari pada ke hutan ya?"

Deana memijit sedikit betisnya yang terasa senut-senut. Ia menoleh ke kanan ke kiri namun tak ada siapa pun. Ia memutuskan untuk lebih cepat sampai ke desa dari pada berlama-lama di sana. Ia juga ingin cepat pulang dan istirahat.

Deana bertemu seorang penjual di dekat pasar. Ia mencoba menawarkan barang yang ia bawa pada orang itu. "Bu, boleh tukar dengan ini? Saya butuh gandum, sedikit pun tak apa bu."

Ibu itu agaknya tertarik dan mau menukar beberapa plastiknya dengan gandum yang dibawa Deana. Ia pun senang karena bisa langsung pulang tanpa harus bersusah payah mencari orang yang mau barter dengannya. Namun, di tengah perjalanan ia bertemu temannya.

"Deana, kamu habis tukar gandum? Mau daging tidak? Ayah sedang memotong agak banyak."

"Sepertinya tidak usah. Aku sudah kehabisan barang untuk ditukar. Lagi pula daging kan mahal."

"Ya ampun, ini memang berlebih kok. Ayo ikut. Aku akan kasih kamu sedikit."

Deana dipaksa ikut ke tokonya dan memang benar saja, dagingnya sedang melimpah ruah di sana. Keluarga itu begitu baik. Mereka memberikan satu plastik daging untuknya.

"Oh, kucing ini aku baru lihat."

"Iya. Induknya mati saat aku ke hutan tadi pagi dan dia mengikutiku terus."

"Dia menyukaimu ya, Deana."

"Sepertinya begitu, Adoria. Aku harus pulang. Sekali lagi terimakasih, paman bibi. Kalian semua begitu baik hati."

Deana kembali bersiap pulang. Namun, di tengah perjalanan ia berpapasan dengan seseorang yang belum pernah ia lihat di desa itu. Asing sekali wajahnya namun saat ia menoleh, Adoria tampak akrab berbincang dengannya. Mungkin ia akan bertanya di lain waktu. Kakinya sudah seperti mati rasa.

Di lain sisi, Nikk dan Galen masih mengamati. Rupanya memang merekalah yang sedari tadi memantau Deana, bukan kucing itu. Galen menatap Nikk yang tampaknya tersihir dengan paras cantik yang dimiliki Deana. Lantas Galen pun menyikut perut Nikk dengan pelan.

"Cantik ya? Sampai kau tak sadar begitu."

"Sangat cantik, Galen. Sifat dan sikapnya pun sama cantiknya dengan wajahnya."

"Ya, Cleon saja sampai terpukau di sana."

"Ya, Luna ku cantik sekali. Moon Goddess memang tak pernah mengecewakanku."