Deana menemani Adoria dan ibunya kembali ke pondok mereka. Ia mengamati sepanjang jalan dan berhenti sejenak. Ia mengamit sejumput helai bulu yang kemungkinan adalah dari bangsa werewolf semalam. Ia kemudian memasukkan bulu itu ke dalam kain lalu membungkusnya dengan cepat. Mungkin saja akan berguna ke depannya untuk investigasi yang sedang dilakukan oleh anak kepala desa.
Adoria tampak berbincang dengan ibunya. Setelah itu ibunya langsung masuk ke dalam rumah. Mungkin ia mencari sesuatu yang masih tersisa. Perihal daging yang mereka dagangkan, sudah pasti raib semua karena terlihat jelas kalau pondok kecil di mana daging itu disimpan sudah hancur dan tak terlihat sedikit pun sisa daging di sana. Maka itu, sang ibu langsung masuk ke dalam rumah, menyisakan Adoria bersama Deana di pekarangan luar.
"Adoria, kau tak ikut ibumu ke dalam?"
"Tidak. Aku mau di sini saja. Ibu mungkin akan beristirahat setelah mengecek keadaan rumah dan aku bisa membersihkannya nanti sore saja."
"Anak kepala desa tadi, siapa namanya? Kita selalu membahasnya dengan tanpa nama dan agaknya terasa aneh bagiku."
Adoria berpikir. Sejujurnya ia juga tak begitu mengingat nama anak kepala desa itu, makanya ia tidak pernah menyebutkan namanya dan lagi ia tak mengenalkan diri pada Deana padahal ia tahu kalau Deana tak berada dalam lingkup dalam desa itu. Seharusnya ia memperkenalkan diri.
"Aku tak begitu ingat dan tak penting juga bagiku mengingat namanya. Biar saja. Kita masih bisa menyebutnya anak kepala desa."
"Tapi, bukankah anak kepala desa ada banyak?"
"Memang, tapi yang aktif di desa hanya dirinya. Jadi kalau kita membahas anak kepala desa, asumsikan saja dirinya dan bukan anak yang lain."
Deana mengangguk dan duduk lesehan di dekat pekarangan rumah Adoria. Mereka tampak bersantai dan mengamati arah jalanan yang tentu saja masih berantakan.
"Hei, Adoria. Apa kau tak curiga kalau dibalik penyerangan ini ada provokator? Tidak mungkin kalau para Rogue menyerang tanpa alasan."
"Tidak mungkin bagaimana? Rogue memang akan menyerang asal saja karena mereka tidak beregu, mereka pasti mencari makanan susah payah."
"Yah, itu benar. Tapi, bukankah kalau mereka menyerang sampai seisi desa itu sudah keterlaluan?"
"Mereka yang kita bicarakan berjumlah lebih dari 7, Deana. Awalnya malah aku pikir ini memang ulah dari klan. Tapi aku tak menuduh klan Mensis karena mereka memang sudah menandatangani perjanjian damai. Jadi, mereka akan menjaga desa ini begitu pun sebaliknya."
Deana mengangguk membenarkan. Ia setuju dengan pemikiran Adoria karena memang sudah seharusnya begitu. Kalau sampai klan Mensis dalang dari semua ini, ia tak tahu bagaimana nasib desa mereka kelak. Pasti akan ada perang dan korban. Maka dari itu, ia juga akan mencari bukti tambahan agar hal ini tidak terjadi.
"Aku akan membantu kepala desa untuk mencari tahu masalah ini. Adoria, bisa kau bantu aku sesuatu?"
"Bantu apa, Deana?"
"Saat pangeranmu berkunjung, beritahu aku. Aku akan datang ke sini."
"Kau mau menanyakan perkara ini? Kalau begitu lebih baik aku yang membawanya ke rumahmu. Itu jauh lebih aman daripada di desa. Aku takut orang desa akan menyadari kalau ia adalah werewolf."
"Taringnya tidak terlihat, bagaimana bisa dibedakan?"
Adoria menghela napasnya berat. Ia kemudian melihat sekitar dan memastikan tak ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"Tuan Cleon memang tidak bermasalah, tapi temannya yang bisa menarik perhatian. Kau tahu kemarin ia mengajak temannya untuk membawakan daging, bukan? Lebih baik aku saja yang ke rumahmu."
Deana berpikir. Ucapan Adoria ada benarnya. Kalau bisa, memang lebih baik mereka yang datang menghampirinya ke pondok karena tak ada orang desa berlalu lalang atau beraktifitas di sana yang mana itu akan lebih memudahkannya dalam berbincang. Dan lagi tak akan ada orang yang curiga dengan pembicaraan mereka.
"Baiklah. Kau boleh mengajak mereka ke rumahku. Tapi aku menyarankan agar selama perjalanan menuju rumahku, sebaiknya kalian berjalan terpisah saja."
Adoria mengernyit. Tak biasanya Deana mewanti apa yang akan ia lakukan. Sejak dulu ia berteman dengannya, Deana cenderung cuek dan tak begitu peduli keadaan sekitar. Tapi, kini lain. Adoria merasakan kekhawatiran di raut wajah Deana saat kali pertama ia bertemu di dekat aula pasar tadi. Kini, Deana juga mengkhawatirkannya. Ia memang agak berlebih bila menyangkut masalah yang berbau bangsa werewolf. Ia menduga, Deana masih trauma pasca kabar meninggal orangtuanya kala itu. Makanya, Deana selalu terlihat menjaga jarak dan selalu memberi batasan agar tak terlalu percaya pada bangsa itu.
Deana melihat Adoria terdiam, hanyut dalam pikirannya sendiri. Lantas ia pun menepuk pundak sahabatnya itu dan bertanya, "Kau sedang melamunkan apa, Adoria?"
"Ah! Aku hanya berpikir kenapa kami harus berjalan terpisah? Padahal mereka tidak tahu lokasi rumahmu."
"Berikan saja mereka patokan. Aku rasa mereka akan tahu, terlebih mereka itu bangsa wwrewolf, aku yakin mereka mengenal baik seluk beluk desa ini."
"Sebenarnya apa yang mau kau bicarakan dengan mereka, Deana? Jangan bilang kau akan mencercanya dengan banyak pertanyaan. Kalau memang begitu, aku tak akan-"
Deana menempelkan telunjuknya di bibir Adoria yang mana itu membuatnya terdiam. Deana tidak suka disudutkan seperti itu. Alhasil ia mencegah mulut itu mengatakan sesuatu yang lebih jauh lagi.
"Aku memang akan menanyakan masalah ini pada mereka. Tapi aku tak akan menghimpit mereka dengan tuduhan, Adoria. Aku ingin mereka mencari tahu tentang temuanku di pasar tadi."
"Temuan apa?" tanya Adoria. Ia melihat Deana mengeluarkan bungkusan kain dari dalam selipan rok tiga perempatnya.
"Ini. Sejumput bulu dari mereka yang menyerang desa semalam. Aku ingin temanmu membaui ini. Kalau memang mereka dari bangsa tidak beregu, pasti mereka tak akan mengetahuinya karena bangsa tak beregu itu sulit sekali dilacak sebab mereka hidup nomaden. Tapi kalau ia mengenali baunya, kemungkinan besar itu memang dari bangsa beregu."
"Mengapa kau yakin sekali, Deana?"
"Aku hanya berkata kemungkinan, Adoria."
Deana bangun dan membersihkan roknya yang terkena debu di tanah. Ia kemudian beranjak masuk ke dalam rumah Adoria dan menyapa ibunya.
"Kacau sekali, bi. Biar Deana bantu bereskan bersama Adoria. Bibi istirahat saja. Bertahan semalaman di aula sempit itu pasti melelahkan."
"Baiklah, nak. Terimakasih sudah membantu bibi."
Ibu Adoria berjalan menuju kamar dan merebahkan dirinya di sana. Rupanya ia sangat lelah. Terlihat dari betapa cepatnya ia terlelap. Tak lama kemudian Adoria menyusul dan mengambil sapu untuk memereskan kekacauan di dalam rumahnya. Memang sebagian besar tak bisa ia perbaiki. Ia harus menunggu sampai ayahnya kembali.
"Deana, apa kau tak khawatir pada nenekmu?"
"Tidak. Nenek itu cerdik. Ia akan bertahan di luar sana dari para Rogue liar. Pasti tidak ada yang terjadi pada nenek selagi purnama semalam. Aku harap nenek kembali lebih cepat dan dalam keadaan sehat."