webnovel

Omong Kosong

"Kau gila."

Deana berjalan mendahului Chris. Setelah apa yang terjadi hari ini, ucapan Chris barusan adalah hal tergila yang pernah terjadi. Mereka tidak pernah bertemu, tidak pernah berbicara, dan pastinya mereka tak mengenal satu sama lain. Akan tetapi ia malah mendengar ajakan yang membuatnya mual. Meminang katanya? Sungguh gila.

Chris mempercepat laju jalannya dan membuatnya sejajar dengan Deana. Ia memasang senyum manisnya dan membalas perkataan gadis itu dengan teramat tenang.

"Aku tidak gila. Aku serius. Pasti banyak yang mengincarmu, 'kan?"

Deana mendengkus. Mengejar bagaimana? Sampai detik ini hanya ada satu yang ia tahu akan segera muncul. Sebelum itu tak ada yang mendekatinya sama sekali. Tak tahu apa alasannya, yang jelas orang yang akan muncul itu juga tidak diketahui tertarik padanya atau hanya menurut karena mendapat titah dari Yang Diagungkan bangsanya. Entahlah.

"Sebenarnya siapa yang mengutusmu? Apa kau adalah orang yang secara abstrak mendekatiku tanpa maksud apapun? Atau kau termasuk ke dalam orang yang diutus secara pribadi karena perintah seseorang untuk membawaku pergi dari sini?"

Deana menatap tajam Chris yang masih saja betah menyuguhkan senyuman mautnya, namun rupanya itu tak bekerja untuk Deana. Ia sama sekali tak menyambut senyuman atau sikap baik apa pun dari Chris. Ia hanya berusaha mempertahankan dirinya dari segala jenis kemungkinan akan diculik oleh lelaki itu.

Chrjs mengernyit. Ia tentu bingung kenapa Deana bisa berpikiran seperti itu. Akan tetapi, ia lagi-lagi tak menghiraukan perkataan Deana. Ia hanya mengedikkan bahu dan berjalan mendahului Deana. Ia menyusul Adoria yang kini tak lagi terlihat. Ia tak mempedulikan Deana yang berdiri penasaran di belakangnya.

Adoria menoleh ke belakang. Entah kenapa tak ada yang terlihat. Apakah ia berjalan sangat cepat sampai keduanya tertinggal? Ataukah ia yang tak sadar akan situasinya? Tak begitu lama, ia melihat sosok Chris mendekat dengan cepat. Jangan lupa ia adalah bangsa werewolf, jadi sudah sewajarnya ia memiliki kemampuan itu.

"Loh, Deana mana? Kalian tertinggal jauh sekali sepertinya."

"Deana ada di belakang, tak jauh dariku. Kami bukan tertinggal, tapi kau yang terlalu bersemangat."

Adoria terkekeh geli. Sifatnya berbanding terbalik dengan Deana. Adoria mudah bergaul dan ramah terhadap orang asing. Ia tentu akan menerima tiap orang dengan amat baik. Asalkan orang itu tidak menunjuk niat buruk, maka ia tak akan berpikiran jelek.

"Kau bisa saja, Chris. Oh ya, apa kau berlari ke sini? Karena Deana masih belum terlihat."

"Oh! Iya, aku sedikit berlari menyusulmu karena aku ingin berjalan beriringan denganmu."

Adoria terkekeh geli. Mulutnya manis sekali. Boleh juga untuk ukuran seorang lelaki bangsa werewolf.

"Kau sedang berusaha mendekatiku? Kentara sekali, Chris."

"Oh, tidak. Aku tau separuh hatimu sedang tak ada di sini. Hati itu sudah mengikatmu hingga tak ada celah bagi yang lain untuk masuk. Aku benar?"

Adoria takjub. Tebakannya betul sekali. Tak ada yang lebih meyakinkan daripada kalimat yang diucapkan oleh Chris. Hatinya memang ada di tempat lain. Bahkan untuk sekadar bertatap lama dengan Chris saja ia tak mampu.

Chris tertawa. Berbincang dengan Adoria itu menyenangkan namun mudah sekali ditebak. Jadi terasa seperti tidak ada tantangan.

Kembali, Adoria menoleh ke belakang dan melibat Deana berada jauh sekali. Sesekali ia melambai dan menunggu sejenak agar mereka bertiga bisa lekas tiba di rumahnya. Perutnya sudah bergelora sekali membayangkan aroma ikan bakar yang menusuk hidungnya. Pastilah enak dan mengenyangkan.

Deana yang mendapati Adoria melambai begitu riang akhirnya berjalan lebih cepat. Ia bersama Koa tampak berinteraksi kecil. Mereka berdua sangat bahagia dan saling mengisi satu sama lain.

"Ayo, Koa. Adoria sepertinya sudah lapar."

"Meong...."

Layaknya manusia, Koa paham dengan perkataan Deana dan berjalan mendahuluinya sambil sesekali menoleh dan mengeong. Terlihat juga bahwa Koa adalah kucing aktif yang mana selama perjalanan ia kerap kali bermain dengan sekitar. Saat melewati area di mana ibunya ditemukan tak bernyawa, ia hanya menundukkan kepalanya saja. Mungkin ia merasakan dan mengingat bahwa ia pernah bermain di sana dengan ibunya.

"Kau lambat sekali, Deana. Penat aku menunggumu."

"Jahat sekali kau, Adoria. Aku yang sudah susah payah mendapatkan ikan untukmu, asal kau tahu."

"Haha, hanya bergurau Deana. Tak perlu terbawa emosi."

"Siapa yang terbawa emosi?"

Deana memalingkan wajahnya. Rasa kesal pasti ada. Ia sedikit cemburu karena Adoria malah menemani Chris alih-alih menemani sahabatnya. Aneh memang. Apa semenyenangkan itu berbicara dengan Chris?

Adoria terkekeh dan melingkarkan tangannya di lengan Deana. Ia meminta maaf sambil terus menggoda Deana yang sedang memasang wajah sebal. Ia tak begitu mempedulikan Chris yang menatapnya datar.

Deana balik menatap Chris nyalang karena ia tak suka di tatap seperti itu. Tatapannya aneh dan seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Ia bahkan sampai memperhatikan penampilan serta barang yang sekiranya sedang Chris sembunyikan di balik bajunya.

"Kenapa Deana? Kau ingin bertanya sesuatu padaku?"

Chris sadar dan akhirnya bertanya lebih dahulu. Ia tahu dirinya sedang di tatap Deana dan pasti gadis itu sedang memikirkan hal yang bersifat negatif. Terlihat jelas dari cara pandang yang menelisik begitu tajam.

Deana mendengkus dan menoleh ke kiri dengan cepat. Ia sedang tak berminat adu mulut. Akan tetapi ucapan Chris malah menyulut emosinya yang sudah pasti cepat atau lambat akan dibalas kembali oleh Deana.

"Kau menghindariku. Apa kau jatuh cinta padaku?"

"Kau sakit, Chris. Kepalamu harus diperiksa tabib. Lekas pulanglah sebelum kau menyusahkan kami."

"Hei, Deana. Kau terlalu kejam."

"Biarkan saja, Adoria."

"Lihat, kau menghindar lagi."

Deana kembali mendengkus. Ia memang menghindari bertatap muka dengan Chris tapi bukan berarti ia menyukainya. Pemikiran lelaki ini sungguh di luar batas.

"Aku tidak menghindar."

"Lalu kenapa kau tidak menjawab saja pertanyaanku tadi?"

Deana menghela napasnya berat. Berbicara dengan Chris membuat tenaganya habis. Dari pada diabaikan, sebaiknya memang lebih bagus dijawab saja.

"Kau tidak membawa senjata apa pun di balik bajumu, kan?"

"Ya ampun, jadi kau masih mencurigaiku? Perlukah kubuka seluruh bajuku saat ini di hadapanmu?"

Wajah Adoria memanas mendengar perkataan Chris yang kepalang gamblang. Tak ada sensor atau kata kiasan untuk menggambarkannya secara halus. Sedangkan Deana tampak tak peduli dengan kosa kata yang dipakai Chris tadi. Ia hanya perlu bukti. Itu saja.

"Kalau kau berani, coba saja. Aku tak gentar, Chris."

Deana menatap mata lelaki itu dengan lekat. Tak sedikit pun ia mengalihkan pandangan arau mengalihkan pembicaraan. Ia hanya ingin tahu kenyataan dan niat sesungguhnya.

"Oh, baiklah kalau begitu. Akan aku perlihatkan padamu agar kau bisa mempercayai dan tidak akan mencurigaiku lagi, Deana."