Adoria duduk di bangku depan pekarangan rumah Deana. Matanya menangkap siluet temannya yang sedang sibuk bebenah di dalam. Deana tampak telaten mengurus rumah. Mulai dari menyapu, mengelap perabotan, mencuci, dan lain sebagainya. Adoria hanya duduk di sana karena dilarang oleh Deana untuk membantu. Ia berkata kalau Adoria adalah tamu di rumahnya yang mana ia berhak diperlakukan seperti raja sesaat.
"Deana, apakah masih lama? Aku lapar tapi tidak mau memakan daging. Bosan."
Cuitan Adoria membuat atensi Deana teralihkan. Ia mendekat dan berdiri di ambang pintu. Sembari mendengung ia menunjukkan gestur tubuh sedang berpikir dan Adoria mengamati wajah lugu Deana yang begitu jelas terlihat.
"Kalau begitu, kau mau ikan? Kita bisa ke hutan mencarinya. Koa juga sangat menyukai ikan."
"Koa? Itu nama kucingmu?"
Deana mengangguk. Ia baru saja memutuskan menamainya Koa. Ia merasa nama itu cocok untuknya dikarenakan kucing itu pemberani. Ia juga gesit dan sama sekali tak menyusahkan dirinya. Maka dari itu ia memberikannya nama Koa. Selain mudah diingat, saat ini ia juga merasa kucing itu bagian dari hidupnya.
Adoria tersenyum mendengar nama kucing yang kini sudah berada dipangkuannya. Ia membelai lembut bulu kucing itu. Terdengar dengkuran halus dari Koa. Tampaknya kucing itu menyukai Adoria.
"Kapan kita ke hutan, Deana? Matahari sudah tinggi."
Deana berjalan mendekati Adoria lagi. Ia meletakkan semua peralatan yang tadi ia pakai ke tempatnya berasal. Sebelum itu ia menggulung rambut panjangnya agar terlihat rapi. Berjalan di bawah terik matahari yang sudah tinggi akan membuatnya berkeringat. Jadi, lebih baik kalau rambutnya ia gulung tinggi.
"Sekarang. Kalau menunggu teduh bisa kemalaman pulangnya."
Deana sudah berada diluar dan menutup semua pintu masuk yang ada. Dirumahnya tidak ada barang berharga namun ia tetap perlu memperhatikan kondisi rumahnya saat ingin pergi keluar. Apalagi untuk sementara waktu tidak ada sang nenek di sana.
"Koa ikut?" tanya Adoria pada Deana. Sedangkan Deana hanya tersenyum dan melihat Koa yang sudah turun dari pangkuan Adoria dan berjalan mendekat Deana serta menggesekkan badannya pada kaki Deana.
"Kau lihat? Koa masuk dalam tim kita. Haha...."
"Koa pasti sudah lapar. Aku tak melihat ia mendekati daging itu."
"Iya. Koa tak begitu menyukai daging. Tapi kalau ia melihat ikan, Koa sangat bersemangat loh. Ayo kita ke sungai!"
"Tidak bawa sesuatu?"
"Sesuatu apa maksudmu?"
"Alat untuk menangkap ikan."
"Oh, iya. Ini. Biasa aku menangkapnya dengan tangan tapi agak susah. Kalau begitu kita pakai tombak saja."
Adoria menatap tombak yang dibawa Deana. Ujungnya sangat tajam dan agak berkarat. Sepertinya memang Deana jarang gunakan. Dengan ragu Adoria berkata, "Kamu akan cuci tombaknya dulu kan sebelum digunakan?"
"Tentu saja. Aku akan bersihkan dulu karat yang ada di ujungnya. Kalau tidak, kita akan keracunan."
Adoria menghela napas lega. Ia pikir Deana akan langsung menggunakannya. Entah apa yang terjadi kalau karat itu masuk ke pencernaan mereka.
Deana tahu apa yang dikhawatirkan Adoria. Seorang anak dari orangtua yang begitu paham akan kebersihan dan selalu memberikan yang terbaik untuknya tentu adalah sebuah perhatian yang diidamkan semua anak tak terkecuali Deana. Ia hidup dengan merindukan kasih sayang mereka. Ia bahkan hanya sempat mendapat kasih sayang sampai usia 4 tahun. Ia tak begitu ingat apa saja yang sudah dilaluinya bersama orangtua tercintanya. Ia hanya tahu dari cerita nenek yang mana ayah ibunya sangat melindungi dan memilah apa apa saja yang akan ia makan. Yang ia tahu, semua orangtua sama, akan selektif apabila menyangkut anaknya.
Koa memimpin di depan. Sepertinya ia tahu ke mana arah tujuan yang dituju majikannya. Jadi, ia melangkah dengan cepat dan tentu berada jauh di depan Deana dan adoria. Sesekali ia menoleh dan mengeong untuk memanggil majikannya. Ia ingin mereka agar cepat sampai. Hidungnya mengendus dan ia berjalan semakin cepat.
"Koa, tunggu.... kau jalan cepat sekali."
"Koa sangat bersemangat rupanya, Deana."
Deana tertawa. Benar sekali. Kucing itu selain pemberani dan gesit, ia juga penuh semangat. Ia menyukiainya karena keberadaan Koa membuat hidupnya berwarna.
"Oh! Bukankah itu sungainya? Koa menuntun kita ke sana. Pintar sekali."
"Adoria, kau mau mencoba menombak ikan? Atau kau mau menangkapnya dengan tangan kosong?"
"Aku belum pernah sama sekali melakukan ini. Apakah menombak lebih mudah dari tangan kosong?"
Deana berpikir sejenak selagi menggosok ujung tombak itu. Ia menjawab, "Sebenarnya tingkat kesulitannya sama saja. Semua butuh latihan. Mungkin kau pegang tombak saja. Setidaknya itu tak akan membuatmu bersentuhan langsung dengan ikannya karena ikan itu berlendir dan akan sangat licin kalau kau genggam."
"Baiklah. Aku coba pakai tombak."
Deana berjalan menuruni sungai di sana. Terlihat juga Koa mengikutinya dari belakang. Malah saat ini ia sudah berenang di depan Deana. Ia terlihat senang sekali. Sesekali ia juga mengejar ikan kecil dan mencoba menggiringnya ke tepi agar ia bisa lebih mudah menangkapnya.
"Koa pintar. Sedikit lagi kau mendapatkannya, Koa!"
Adoria berseru heboh. Ia jadi bersemangat menangkap ikan dengan tombak itu. Ia melangkahkan kakinya ikut turun ke sungai dangkal itu. Ia mengangkat lengan kanannya dan memfokuskan pandangannya ke ikan di bawah sana yang sepertinya lumayan besar. Belum sempat ia menghunuskan tombak itu, sebuah tangan menghentikan pergerakannya.
Adoria menoleh dan mendapati sosok lain di sana. Awalnya ia berpikir yang menahannya adalah Deana. Akan tetapi saat ia melihat ke depan, Deana yang memunggunginya malah asyik mencari sendirian. Kalau bukan Deana, lalu siapa orang yang menggenggam lengannya itu?
Saat ia menoleh ia terkejut. Ia tak habis pikir dengan keberadaan orang itu. Kenapa bisa ada di sini apalagi menahan tangannya seperti itu? Sosok ini baru dilihatnya. Maka dari itu ia berusaha melepaskan lengannya namun tak bisa. Cengkraman orang itu lebih kuat dari yang ia bayangkan.
"Lepaskan tanganku!"
Deana menoleh. Ia mendengar Adoria berteriak dan itu menarik perhatiannya. Pantas saja ia berteriak, rupanya orang itu menyakiti Adoria. Dengan segera Deana menghampiri dan menarik lengan orang itu dengan sekali tarikan saja.
"Mau apa kau di sini? Kami tak pernah melihatmu sebelumnya."
Orang itu menyeringai. Memang hutan ini masuk dalam daftar kepemilikan desa? Ia mundur beberapa langkah untuk memberi jarak.
"Aku kebetulan lewat dan melihat temanmu ini ingin menghunus kakinya sendiri."
"Apa? Kau pikir aku bodoh? Aku ingin menombak ikan dan bukan kakiku."
Orang itu tertawa. Ia kemudian mengambil tombak yang dipegang Adoria dan mulai mempraktekkan gaya yang dibuat Adoria.
"Aku minta pendapatmu, kalau posisinya seperti ini apakah kakinya akan selamat?"
Deana melihat. Posisinya memang salah. Kaki Adoria bisa saja terluka parah. Ia masih memperhatikan reka adegan yang mungkin saja akan terjadi pada Adoria. Adoria pun paham dan meminta maaf padanya. Tak enak hati karena sudah berburuk sangka.
"Terimakasih-" ujar Deana dengan kalimat menggantung.
"Chris. Panggil saja begitu."