webnovel

##Bab 153 Identitas

"Hei, dia ingin 2 miliar. Kamu juga membayarnya!" kataku pada Tuan Muda Kelima dengan tidak percaya.

Tuan Muda Kelima memapahku sambil berkata, "Selama lehermu bisa sembuh, apa artinya uang 2 miliar?"

Aku tidak bisa berkata-kata. Kenapa orang ini bisa begitu murah hati? William jelas mengambil kesempatan dalam kesempitan!

Tuan Muda Kelima memapahku masuk ke apartemen William, yang merupakan kediaman khas bujangan. Tidak ada barang yang feminin di aula. Tuan Muda Kelima memapahku duduk di sofa. William datang dan meletakkan tangannya di belakang leherku, menggosok, menekan, mencubit dengan lebih serius dari hari-hari sebelumnya dan sedikit lebih lama.

"Kelak, datang sekali sehari dalam seminggu." William melepaskan tangannya, leherku tiba-tiba merasa jauh lebih baik. Aku menggelengkan kepalaku dan berdiri. Tuan Muda Kelima bertanya padaku, "Bagaimana kemampuan bocah ini?"

"Bagus." Aku mengerutkan kening. Arang ini memang memiliki kemampuan, tapi uang yang diinginkan terlalu mengerikan.

"Ayo pergi." Tuan Muda Kelima berjalan keluar terlebih dahulu. Saat aku hendak pergi, William bertanya, "Kenapa ada tahi lalat di belakang telingamu?"

"Tumbuh sendiri." Aku tertawa mendengar pertanyaan William. Apakah tahi lalat masih bisa dibeli?

"Maksudku, apakah ini adalah bawaan lahir?" William mengerutkan kening.

Aku memiringkan kepalaku, "Kamu ini sangat aneh. Kenapa kamu tertarik dengan tahi lalatku? Kamu kurang kerjaan, ya?" Orang ini suka mencibirku tanpa alasan dan suka memanfaatkanku. Jadi, aku juga mengambil kesempatan untuk mengejeknya.

William menatapku dengan tak daya, "Kamu yang kurang kerjaan. Terserah mau bilang atau tidak!" Setelah berbicara, dia mengabaikanku dan pergi ke kamar.

Ketika aku keluar dari apartemen William, Tuan Muda Kelima sudah menungguku di dalam mobil.

"Kenapa kamu keluar begitu larut? Apa yang kamu lakukan?" Pria itu tampak tidak sabar.

"Tidak ada." Tuan muda ini tidak segan-segan menghabiskan banyak uang untuk mengobatiku. Aku sangat berterima kasih padanya.

Namun, aku berdiri di depan mobil dan tidak masuk. Aku kembali memastikan dengan khawatir, "Apakah kamu benar-benar akan memberinya 2 miliar? Aku tidak mampu membayarmu."

Tuan Muda Kelima menoleh dan berkata, "Berharap kamu untuk membayar, mungkin aku harus menunggu sampai kehidupan berikutnya. Cepat masuk ke mobil, temanku masih menungguku."

Aku tidak mengatakan apa-apa, aku masuk ke mobil. Bagaimanapun, dia sudah berkata seperti ini. Dia yang ingin menghabiskan uang, bukan aku yang memohon padanya. Untuk apa aku masih memedulikannya?

Di sepanjang jalan, Tuan Muda Kelima mengabaikanku. Setelah dia mengantarku kembali ke apartemen dan aku turun dari mobil, dia baru berkata, "Aku akan mengingat hutangmu, kelak kamu harus membayarnya."

"Apa yang kamu katakan?" Aku berdiri karena terkejut.

Tuan Muda Kelima mengangkat alisnya, "Kalau tidak, kamu tandatangani kontrak denganku dan menjual dirimu seumur hidup. Kamu tidak perlu membayarnya lagi."

"Kamu ...." Aku kaget dan kesal. Aku merasa seperti ditipu oleh orang ini.

Tuan Muda Kelima tersenyum, menginjak pedal gas dan mengemudikan mobilnya.

Bagaimanapun, aku tidak memiliki uang. Ketika aku naik ke atas, aku bersumpah mati sekalipun aku tidak akan membayarnya. Aku juga tidak mampu membayarnya.

Aku menelepon Jasmine dan memberitahunya aku akan kembali beberapa hari kemudian. Aku mengobati tulang leherku di sini. Jasmine sangat prihatin, "Bagaimana kondisimu sekarang? Kalau tidak bisa, tinggal lebih lama. Biarkan dokter mengobatimu sampai sembuh."

Aku, "Dia menjamin akan sembuh dalam tujuh hari. Aku pikir orang itu memiliki kemampuan, seharusnya dia tidak berbohong."

Jasmine, "Yah, kalau kamu butuh uang, katakan saja."

"Um."

Aku menutup telepon, melihat ke belakang telingaku dari cermin, ada tahi lalat di sana. Aku mendengar ini dari Cindy dan Candra, tapi aku tidak bisa melihatnya sendiri.

Tidak disangka William juga menyadari hal itu. Omong-omong, aku bahkan tidak tahu kapan tahi lalat ini tumbuh atau apakah itu adalah bawaan lahir.

Jika itu adalah bawaan lahir, dapatkah tahi lalat ini bisa membantuku menemukan keluargaku? Aku menggelengkan kepala lagi. Keluargaku telah lama meninggalkanku, untuk apa aku mencari mereka?

Di pagi hari, Tuan Muda Kelima menelepon dan berkata, "William ada di klinik hari ini. Malam ini, kita akan pergi ke rumahnya." Setelah selesai berbicara, Tuan Muda Kelima menutup telepon.

Pukul delapan malam, Tuan Muda Kelima datang menjemputku. Aku berpikir sepanjang jalan, apakah dia akan tiba-tiba meminta uang kepadaku? Namun untungnya, dia sangat sibuk. Dia terus menelepon sepanjang waktu dan tidak berbicara denganku sama sekali.

Ketika dia tiba di apartemen William, dia masih menelepon. Mereka mendesaknya untuk pergi ke sana. Dia menutup telepon tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku berkata dengan curiga, "Kalau kamu sibuk, pergi saja. Aku akan masuk sendiri."

Tuan Muda Kelima melotot, "Apa yang ingin kamu lakukan dengan anak itu?"

Aku tercengang dan memutar bola mataku ke arahnya.

"Dasar gila!" umpatku dan langsung pergi untuk mengetuk pintu.

William membersihkan tangannya, lalu berdiri di belakangku sambil memijat tulang belakang leherku dan bertanya, "Apakah kamu yatim piatu?"

Aku, "Kenapa?"

William, "Tidak, hanya ingin tahu."

Aku, "Hati-hati rasa ingin tahu bisa mencelakaimu."

William, " Aku tidak tahu apakah akan mencelakaiku atau tidak, tapi kurasa tahi lalatmu adalah bawaan lahir."

"Kenapa?"

Aku menoleh ke belakang dengan heran, kenapa dia berpikir seperti ini?

William hendak berbicara ketika Tuan Muda Kelima berkata dengan wajah cemberut, "Apa-apaan kalian!"

Dia tiba-tiba meraih tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Saat berikutnya, aku langsung terjatuh ke pelukan Tuan Muda Kelima, "Kalau kamu menggodanya lagi, kamu sendiri yang membayar 2 miliar!"

Suara suram Tuan Muda Kelima terdengar di telingaku, seperti guntur yang seketika membuatku takut.

Karena aku tidak berani bertanya apa pun. Bahkan membunuhku sekalipun, aku tidak dapat mengeluarkan uang 2 miliar.

Sementara William masih mempertahankan postur memijat tulang belakang leherku dengan kedua tangannya. Saat ini, wajahnya juga menjadi dingin, "Masih mau diobati tidak? Dia akan mati kalau mengobati setengah-setengah."

Aku tidak tahu apakah William hanya menakut-nakuti, dia terlihat serius dan marah.

Akhirnya Tuan Muda Kelima mengalah. Dia memandang William, kemudian memandang ke arahku dan mengancam dengan suara rendah, "Jangan menggodanya lagi. Apa kamu mendengarku?"

Kata-katanya membuatku terpana, sementara Tuan Muda Kelima sudah keluar. William terus memijatku, tapi wajahnya tetap masam dan tidak berbicara.

Setelah selesai, aku keluar dari apartemen William dan melihat Tuan Muda Kelima bersandar di mobil sambil merokok. Lampu jalan menerangi sosoknya yang tinggi, dia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

Mendengar langkah kakiku, dia membuang rokoknya, melangkah ke dalam mobil dan menghidupkannya. Memikirkan kata-kata dia yang memintaku untuk membayar 2 miliar, aku merasa sesak napas dan tidak ingin masuk ke dalam mobil.

Tuan Muda Kelima mengangkat matanya, "Apa yang kamu lakukan? Kamu ingin tinggal untuk menemani William?"

Tuan Muda Kelima membuat kulit kepalaku mati rasa untuk beberapa saat. Apa yang ada di kepala orang ini? Aku masuk ke mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tuan Muda Kelima menyalakan mobil dan dengan cepat meninggalkan kompleks.

Setelah kembali ke apartemen, sudah jam sepuluh malam. Aku melakukan panggilan video dengan Denis dan tertidur dengan cepat. Dalam mimpi, Tuan Muda Kelima mengulurkan tangannya yang besar dan meminta 2 miliar padaku. Aku terbangun dengan kaget.

Karena William harus pergi ke klinik akhir-akhir ini, pengobatan dilakukan pada malam hari.

Pagi hari, aku pergi ke tempat Cindy. Cindy berbaring di sofa sambil membaca buku perkembangan bayi dan pendidikan prenatal diputar di TV. Tubuh Cindy menjadi montok dan wajahnya bermandikan kecemerlangan seorang ibu.

Dia banyak bertanya tentang persalinanku dan aku menceritakan pengalamanku. Saat menjelang tengah hari, Hendra kembali. Saat itu, aku sedang di dapur menyiapkan makan siang yang dipesan oleh Cindy. Saat ini, Cindy lebih suka makan nasi. Saat aku sedang sibuk, Hendra masuk ke dapur. Dia menyingsingkan lengan bajunya dan berkata, "Aku saja, kamu istirahatlah."

Saat aku hendal meletakkan pekerjaan di tangan dan membiarkan Hendra mengambil alih, jari-jariku malah terkena panci panas, aku mendengus. Hendra terkejut, "Ada apa?"

Aku, "Tidak apa-apa, hanya terkena panci panas."

Hendra meraih tanganku. Dia melihat tanda merah di jariku dan mengerutkan keningnya, "Aku akan mengambil krim luka bakar."

Saat Hendra hendak mengambil krim luka bakar, aku mendengar suara cemberut dari pintu, "Apa yang kalian lakukan?"

Hendra dan aku sama-sama mendongak. Kami melihat Cindy berdiri di pintu dapur dengan marah, matanya menatap lurus ke arah kami dan tubuhnya gemetar hebat.

"Cindy?" Hendra sangat terkejut. Jangankan Hendra, aku saja belum pernah melihat Cindy seperti itu.

Hendra berjalan ke arah Cindy dan mencoba memapahnya, "Cindy, apa kamu tidak enak badan?"

"Minggir!" Cindy melepaskan diri dari tangan Hendra, menunjuk Hendra dan aku dengan jarinya yang gemetar, "Kalian berdua sudah lama berselingkuh, 'kan? Aku membenci kalian!"

Cindy berbalik dan pergi. Hendra bergegas mengejar. Dia mengambil beberapa langkah, memeluk Cindy dari belakang dan berkata dengan cemas, "Cindy, ada apa denganmu? Aku dan Clara tidak memiliki hubungan apa pun. Kamu harus percaya pada kami!"

"Tidak, aku baru saja melihatnya, kalian memiliki hubungan!" Cindy meronta-ronta dalam pelukan Hendra dengan bersemangat.

Aku terkejut dengan pemandangan di depanku. Kenapa Cindy bisa tiba-tiba menjadi seperti ini?

Hendra memapah Cindy untuk duduk di sofa. Dia duduk di sebelah Cindy, memegang tangannya sambil berkata dengan cemas dan gelisah, "Cindy, dengarkan aku. Aku benar-benar tidak ada hubungannya dengan Clara. Barusan tangannya terkena panci panas. Aku ingin mengambil krim luka bakar untuknya."

Cindy menoleh untuk menatapku yang khawatir, lalu menatap Hendra dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya, "Kalau kalian tidak memiliki hubungan apa pun, kenapa gelang ini ada di lemarimu?"

Melihat gelang itu, Hendra tercengang.

Cindy tiba-tiba menangis dengan sedih, "Kamu masih mengatakan kalian tidak memiliki hubungan apa pun. Dia telah memberimu gelang itu sebagai tanda cinta dan kamu masih menyimpannya dengan sangat baik. Kalian berdua telah lama merahasiakan dan memperlakukanku sebagai orang bodoh."

Aku benar-benar bingung. Aku tidak menyangka Cindy akan salah paham denganku seperti ini. Lalu, apa yang terjadi pada gelang Hendra yang persis sama dengan milikku.

Aku melangkah maju dan menyerahkan pergelangan tanganku, "Lihat Cindy, gelangku ada di sini!"

Baru saat itulah Cindy kembali sadar. Dia melihat gelang di pergelangan tanganku dengan ekspresi tidak percaya, "Bagaimana mungkin?"

Dia melihat gelang perakku masih kukenakan dengan baik di pergelangan tanganku, lalu melihat gelang yang dia pegang dan berkata dengan tidak percaya, "Ini sama persis, apa yang terjadi?"

Aku juga menatap curiga pada Hendra.

Hendra menghela napas, "Ada satu hal yang belum aku katakan, gelang ini ditinggalkan oleh ibuku. Satu diberikan kepadaku dan yang lainnya diberikan kepada adikku, tapi adik perempuanku telah berpisah dari kami sejak dia masih kecil. Orang tuaku meninggal di waktu muda dan adikku tidak pernah ditemukan."

"Saat aku memungut gelang Clara, aku menyadari gelangnya persis sama dengan yang diberikan ibuku. Aku pikir dia adalah adikku. Aku juga selalu menganggapnya sebagai adikku. Tapi, ketika dia terluka dan koma, aku mengambil rambutnya untuk melakukan tes DNA. Hal yang mengejutkanku adalah kami tidak memiliki hubungan darah."

"Tapi, tidak peduli apakah dia adalah adikku atau bukan, karena dia memakai gelang ini, aku memperlakukannya sebagai adikku. Jadi Cindy, aku mungkin lebih peduli padanya dan membuatmu salah paham."

Cindy tercengang, "Bagaimana hal seperti itu bisa terjadi? Aku sudah salah paham dengan kalian. Kak Hendra, Clara, maafkan aku." Mata Cindy sangat tulus.

Aku merasa lega, "Tidak masalah, kalau kamu tidak mengambil gelang Kak Hendra, aku bahkan tidak akan tahu ada gelang yang persis seperti milikku di dunia ini. Aku juga tidak akan tahu ternyata Kak Hendra hampir menganggapku sebagai adik perempuan yang hilang."

Cindy berkata dengan malu, "Ini semua salahku. Setelah hamil, aku menjadi sensitif dan berpikir liar." Dia membenamkan kepalanya dalam pelukan Hendra, "Kakak Hendra, jangan salahkan aku!"

"Bagaimana mungkin?" Hendra memeluk Cindy dengan penuh kasih sayang dan merasa lucu.

Setelah pergi dari apartemen Cindy, aku duduk di taksi sambil menatap gelang perak di pergelangan tanganku dan mulai menebak asal gelang ini. Siapa yang meninggalkannya untukku? Aku selalu berpikir gelang ini mewakili identitasku dan akan menjadi tanda untuk bertemu kembali dengan orang tua kandungku, tapi ternyata gelang ini bukan milikku.

Di mana adiknya Hendra? Lalu, siapa aku?

Aku mendongak dan menyentuh tahi lalat di belakangku, mungkin aku bisa bertanya pada kepala panti asuhan.

Jadi, aku meminta sopir taksi untuk mengantarku ke panti asuhan yang aku tinggali selama lebih dari belasan tahun.

Dengan cepat, aku bertemu dengan kepala panti asuhan. Saat aku bertanya tentang gelang perak, kepala panti asuhan mendorong kacamata dengan jari-jarinya sambil tersenyum, "Gelang ini diletakkan di dalam lampin yang membungkusmu, di dalam lampin masih ada catatan yang menuliskan ulang tahunmu. Kami pikir gelang ini seharusnya menjadi tanda yang ditinggalkan orang tuamu, tapi kami tidak menyangka ternyata bukan."

Aku agak enggan, "Kepala, apakah ada hal lain di dalam lampin yang dapat membuktikan identitasku? Atau apakah ada hal lain yang tertulis di catatan itu?"

Kepala panti asuhan menggelengkan kepalanya.

Aku meninggalkan panti asuhan dengan kecewa. Aku benar-benar tertekan. Orang tua kandungku, apa yang kamu lakukan? Karena gelang ini bukan milikku, mengapa ada di dalam lampinku? Aku kembali ke apartemen dengan sedih. Saat aku berbaring di ranjang, aku masih memikirkan hal ini. Panggilan Tuan Muda Kelima yang membuatku tersadar dari lamunanku.

"Cepat turun, kamu tidak ingin berobat lagi?" Suara tidak sabar Tuan Muda Kelima datang.

Tiba-tiba aku teringat Tuan Muda Kelima meminta uang dalam mimpiku dan berkata dengan cepat, "Eh, aku akan mencari tempat yang murah untuk berobat. Aku tidak mau pergi ke tempat William lagi."

Tuan Muda Kelima, "Kamu gila, ya? Aku telah menghabiskan 2 miliar dan kamu masih tidak mau pergi. Cepat, jangan biarkan aku menunggu terlalu lama!" Suara Tuan Muda Kelima yang datang dari ponsel, yang terdengar memekakkan telinga.

Setelah menutup telepon, aku bergegas turun.

Tuan Muda Kelima mengantarku ke apartemen William dan pergi karena seseorang meneleponnya. Sebelum pergi, dia tidak lupa mengancamku, "Kalau kamu berani berhubungan dengan anak itu, aku akan menusuk kalian berdua sampai mati!"

Telingaku berdenyut ketika mendengarnya, orang ini adalah bandit.

Tuan Muda Kelima pergi. Aku memasuki apartemen William, William mengenakan pakaian kasual putih bersih, dia terlihat tampan dan tinggi. Dia melirikku, lalu berjalan kemari dan mulai memijatku.

Sejujurnya, tekniknya sangat nyaman. Mungkin dia benar-benar bisa menyembuhkan penyakitku yang membandel. Aku memejamkan mata dan menikmati pijatannya sambil memikirkan identitasku.