webnovel

KEI

deLluvia · 若者
レビュー数が足りません
19 Chs

In the rain.

Aku terbangun di tempat tidur ku, ku lirik lagi jam entah untuk yang keberapa kalinya, gaun ku sudah sedikit kusut, sepatu heels ku sudah entah ada dimana. Aku kembali mencoba menghubunginya, tapi tidak juga di angkat sejak sekitar 6 jam yang lalu.

Kepala ku rasanya sangat sakit, mungkin karena sudah terlalu lama menangis, aku tidak tahu. Entah sudah berapa banyak kegiatan yang ku tulis yang mungkin saja jadi alasannya tidak kunjung datang atau sekedar memberi kabar. Ku pakai sendal tidur ku lalu berjalan menuju teras, udara malam begitu menusuk kulit ku. Beberapa titik hujan mulai turun, sungguh lengkap sudah.

Harapan ku akan munculnya motor merah besar di depan gerbang hampir hilang, apa aku tidak usah menunggunya lagi? Ini sudah hampir 11 malam, tidak mungkin dia akan datang. Hujan semakin deras turun, aku tidak tahan dengan dinginnya jadi ku putuskan untuk masuk.

Aku keluar kamar ku lalu duduk di area foto favorit ku, melihat diri ku di cermin besar, berantakan sekali. Rambut ku acak-acakan karena tadi tertidur, gaun ku kusut, hanya riasan wajah ku saja yang masih utuh, walaupun mata ini sedikit sembab.

Aku mendengar langkah kaki seseorang menaiki tangga, aku segera mendekat ke tangga untuk melihat siapa itu, ternyata bibi.

"Kak, itu di depan ada temennya." ucap bibi.

"Siapa bi?" mungkinkah?

"Gatau bibi, kata mang Jajang laki-laki, bawa mobil." bibi menjelaskan. Ternyata bukan.

"Temennya Theo kali bi,"

"Tapi nyari kakak," ucap bibi.

Siapa? Aku akhirnya turun untuk melihat tamu tengah malam itu, hujan sangat lebat di luar, payung tidak bisa melindungi seluruh tubuh ku, bodohnya aku tidak mengganti sendal dulu tadi.

Aku berjalan menuju gerbang, menembus hujan, ku lihat seseorang kehujanan dengan kaos putih berdiri di sana. Mesin mobilnya masih menyala, dia melipat tangannya di dada menahan dinginnya hujan.

Oh Tuhan! Aku segera berlari ke arahnya setelah mengetahui siapa dia, demi apapun dia sudah basah kuyub.

"Lo gila ya?" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut ku saat sampai di hadapannya. Ku arahkan payung di tangan ku padanya. Matanya tidak menatap ku, pandangannya lurus kedepan tidak menatap ku.

Dia tidak merespon, hanya mendorong kembali payung ku. Aku kembali mengarahkan payung ini padanya di tambah dengan tatapan membunuh ku.

"Dasar brengsek." aku memakinya, ku tahan sekuat mungkin tangan ku saat dia mencoba mendorong payung ku lagi.

Dia menyerah mendorong payung ini, lalu menarik ku lebih dekat dengannya. Kepalanya terjatuh di bahu ku, namun segera ku dorong menjauh. Dia sedikit terkejut, bodohnya aku malah menangis. Saat itu juga aku merasakan pelukan di tubuh ku, tanpa ku sadari genggaman tangan ku melemah dan menjatuhkan payung yang ku pegang.

"Maaf," ucapnya, tubuh ku bergetar hebat karena kedinginan. Tangis ku makin pecah dalam pelukannya, seluruh tubuh ku tenggelam makin dalam.

Ku dorong lagi dia dengan sisa tenaga ku, segera aku masuk ke dalam mobilnya. Dia tetap berdiri di luar, menatap kebawah, membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Aku menekan dengan kuat klakson mobilnya, suaranya begitu kencang, tapi dia tidak bergeming.

Aku tidak menyerah begitu saja, ku tekan terus klakson mobilnya hingga dia akhirnya masuk ke dalam mobil.

Tidak ada yang bicara di antara kami, hanya suara mesin mobil yang terus saja terdengar. "Jalan," ucap ku akhirnya.

"Kemana, ini udah malem." tanyanya.

"Gue bilang jalan." kali ini aku sedikit berteriak.

Dia akhirnya menuruti mau ku, mobilnya melaju menembus hujan. Sepanjang jalan dia terus saja menanyakan tujuan ku, tapi tidak aku hiraukan. Ku lirik jam tangan ku, sudah hampir tengah malam.

"Kita balik aja, ya?" tanyanya, aku tetap tak menjawab. "Kei," panggilnya lagi.

"Terserah," jawab ku sekenanya, setelahnya mobil melaju cukup kencang.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah ku, Tyo mematikan mesin mobilnya. "Gue mau jelasin kenapa gue gak dateng dan gak ngasih kabar ke lo." ucapnya.

Aku melihat dari ekor mata ku dia duduk menghadap ku, ku lihat baju dan celananya benar-benar basah, walaupun rambutnya sudah sedikit mengering, tangan kirinya di perban cukup tebal namun bisa dengan jelas kulihat bercak darah karena basah terkena hujan, "Please," ucapnya lagi karena aku tak juga menjawabnya.

Ku beranikan diri ku menatapnya, bibirnya pucat kebiruan, matanya benar-benar sendu. Ku raih tangannya dari kemudi, menyentuh pelan perban itu. "Ini kenapa?" tanya ku.

Tangannya menggenggam tangan ku sangat erat, seperti tak ingin lepas. "Gapapa, tadi jatuh." jawabnya.

"Kenapa?" tanya ku lagi, masih terus saja menatap tangannya.

"Apa?" dia bertanya kembali.

"Kenapa bisa jatuh?"

"Panjang ceritanya," hanya itu jawaban darinya.

"Yaudah, cerita." tuntut ku padanya.

"Nanti ya," ucapnya, "Nanti gue cerita," dia meyakinkan, "Sekarang masuk ya."

Aku menuruti maunya, segera aku turun lalu masuk ke rumah.