webnovel

Wisuda Romantis

Tiga tahun kemudian..

Hari ini adalah hari kemenangan setelah berjuang selama empat tahun. Hari menyunggingkan senyum manis setelah bersusah payah bertarung melawan kemalasan. Hari kenikmatan setelah keletihan. Hari dibolehkannya untuk memetik bunga mawar pembatas itu.

Firman tampak gagah dengan jas hitam, celana hitam dan peci hitam di kepalanya. Universitas Awamaalia tidak memberikan toga pada calon wisudawan dan wisudawati. Marwa dari subuh tadi sudah bersolek tapi hingga kini sudah pukul tujuh pagi ia belum juga selesai. Ia benar-benar tampil anggun hari ini. Niatnya bukan untuk dilihat banyak orang, tapi hanya untuk satu orang. Orang yang menuliskan kalimat, "Man Shabara Zhafira" Tiga tahun lalu dan entah kapan elang itu memakaikan cincin permata padanya?, yang jelas hari ini bukanlah pesta pernikahan melainkan acara wisuda untuk mahasiswa dan mahasiswi akhir Universitas Awamaalia.

Hari ini Firman tidak menunggu Marwa. Ia sudah tiba di ruang Yudisium lantai tiga di gedung Al-Jannatu Tahta Aqdaami Ummahaat, ruang serba guna. Firman duduk di samping kiri Ayahnya atau di samping kanan ibunya, di tengah-tengah orang yang ia cintai.

Mobil itu berisi empat orang. Ayah Marwa duduk di depan, Marwa dan ibunya di belakang.

"Dia tinggal di masjid itu, Ma." kata Marwa memberitahu pada Mamanya saat melewati masjid dengan mengarahkan telunjuknya ke masjid Shaseedishal.

"Kapan mau Kamu kenalkan ke mama, Mar?"

"Dianya belum mau dikenalkan, Ma. Pernah dulu Aku bilang ke Om untuk ngomong ke Papa agar mengundangnya, Aku bilang-terangan di depannya. Tapi Mama tau enggak dia bilang apa ketika sampai di di depan masjid tadi?"

"Apa katanya, Mar?" Papa Marwa penasaran.

"Ya apa katanya, Mar?" paksa Mamanya tak sabar.

"Om, tolong jangan diundang elang itu. Hahaha." Kata Pak supir dan Marwa serentak dan terbahak-bahak.

"Kok jadi elang, Nak? Maksudnya?" Mamanya mengerutkan kening tak mengerti.

"Aduh sayang. Masa ia itu aja enggak ngerti?. Itu istilah anak muda zaman sekarang sayangku. Kan kita dulu juga pakai istilah, lupa?" Papanya menyahut dari depan.

"Humm, iya, iya deh Aku mengerti sayangku." Sahut Mamanya mengalah. Marwa terkekeh-kekeh mendengar sahutan orang yang ia sayangi itu. Tak lama, mobil berkap hitam mengkilat itu memperlambat lajunya dan berhenti di depan gerbang. Semuanya turun kecuali Pak Supir.

Ruang yudisium setengahnya sudah terisi. Masing-masing mahasiswa duduk di samping orangtuanya.

"Hadirin diharap tenang, karena acara akan segera kita mulai." Suara dalam tapi berwibawa dari sang pembawa acara.

MC membacakan rentetan acara satu-persatu. Setelah acara pembukaan, MC membacakan acara selanjutnya.

"Pembacaan ayat suci Al-Quran yang akan dibacakan oleh saudara kita: Firman. Kepadanya waktu dan tempat kami persilakan." Firman segera maju ke depan, di atas panggung sana, di atas meja sana adalah kitab suci al-Quran telah menunggunya. Suasana hening, tak ada satu orangpun yang mengangkat suara. Setelah mengucap salam, mulailah suara Firman membahana di seantero ruangan yang megah dan istimewa itu. Di belahan tempat duduk lainnya, Marwa tersenyum-senyum bahagia mendengar suara Firman. Marwa hafal betul ayat itu. Sudah tak asing lagi di telinganya.

Marwa belum memberitahu kepada Mama dan Papanya bahwa yang sedang membaca Al-Quran di atas panggung itu adalah orang yang tadi mereka perbincangkan di dalam mobil.

Raut muka Mamanya terlihat senang mendengar suara indah anak muda yang sisiran rambutnya ke kanan itu. "Semoga orang itu belum punya pilihan, siapa tahu cocok dengan anakku, Marwa." kata hati kecil mama Marwa dengan sangat harap.

"Shadaqallahul 'azhiimmm." Firman menutup Al-Quran dan mengucapkan salam lalu kembali ke tempat duduknya.

Acara selanjutnya adalah sambutan dari rektor kampus Awamaalia.

"Mengabdilah untuk ummat. Perjalanan kalian masih panjang dan jangan bosan menjadi orang baik." Nasihat terakhir dari kata sambutan rektor.

Setelah kata-kata sambutan, dan yudisium mahasiswa, maka tibalah ke acara yang ditunggu-tunggu yaitu: penampilan-penampilan. Penampilan terakhir pun dipanggil sang MC untuk maju ke atas panggung.

"Penampilan terkahir adalah: pembacaan puisi yang akan dibacakan oleh saudari kita: Marwa. Kepadanya, waktu dan tempat kami persilakan dengan segala hormat." Marwa segera naik ke atas panggung. Di belahan kursi lainnya, seorang ibu tak mengedipkan mata memandang gadis yang beralis lebat dan berparas gabungan manis dan cantik itu, Marwa.

Setelah mengucapkan salam, Marwa pun mulai melantunkan puisi indahnya.

"Man Shabara Zhafira"

Oleh: Marwa

Begitu sulit dilalui

Begitu payah dilakukan

Begitu susah dituruti

Namun hari ini kita benar-benar telah melewatinya

Senang setelah lelah

Senyum setelah cemberut

Tawa setelah menangis

Bahagia setelah duka

Hari ini kita benar-benar tersenyum bahagia

Riuk gelombang

Badai menerjang

Tetaplah bersabar dan terus bersabar

Karena sabar akan membuatmu beruntung

Sabar akan membuatmu bahagia

Sabar dapat menghilangkan duka

Hari ini adalah hasil dari sebuah kesabaran

Kesabaran yang membawa ke ujung tujuan

Kesabaran yang meneguhkan hati yang bimbang

Kesabaran yang berbuah kesuksesan

Man Shabara ZhaFira."

Tepuk tangan bergemuruh, standing applous untuk Marwa tak terkecuali rektok kampus juga memberi standing applous.

"MasyaAllah, cantik nian anak itu! Semoga saja ia belum punya pilihan, siapa tahu Firman-ku cocok dengannya." Kata harapan seorang ibu yang tersenyum sipu memandangi gadis yang tingginya seratus enam puluh lima senti meter itu, langsing dan cantik.

Acara wisudawan dan wisudwati Mahasiswa dan Mahasiswi Universitas Awamaalia berjalan dengan lancar. Selesai doa dan penutup, semuanya sibuk mengambil tempat untuk berfoto.

"Hadirin diharap tenang dan jangan pulang terlebih dahulu karena ada acara tambahan. Acara tambahan kita kali ini adalah atas persetujuan rektor Awamaalia. Kepada saudara kami Firman, waktu dan tempat kami persilakan." Firman telah menyampaikan maksudnya kepada rektor seminggu sebelum hari wisuda. Rektor kampus kenal betul dengannya. Bukan hanya rektor, semua dosen, mahasiswa dan mahasiswa yang jumlahnya hampir jutaan mengenal dirinya. Rektor menyetujui maksud baiknya walaupun maksud seperti Firman ini belum pernah dilakukan oleh mahasiswa manapun dan kampus manapun.

Semuanya diam, duduk di tempat mereka semula.

"Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh..."

"Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh" Suara itu serentak dan berdengung di dalam ruagan.

"Alhamdulillah, wasshalatu wassalamu ala rasulillah, amma ba'd. Adapun tujuan berdirinya saya di sini adalah ingin menyampaikan maksud saya yang telah saya sampaikan ke rektor seminggu yang lalu. Dan alhamdulillah rektor menyetujuinya.

Sebelumnya saya mohon maaf akan mengambil sedikit dari waktu hadirin semuanya. Berdirinya saya di sini adalah ingin menyambung hidup dengan orang yang membuat tidurku tak nyenyak selama ini. Melihatnya membuatku betah atas semua rintangan, dia adalah salah satu orang yang mampu membuatku tersenyum bahagia ketika aku sedang gundah-gulana. Ia adalah cita-citaku setelah ilmu untuk menuju ridha-Nya. Insya Allah akan menjadi bidadariku di surga. Sering aku bertanya: kapan ia akan kulamar? Maka hari ini, disaksikan kedua orang tua kami, pihak kampus dan semua hadirin, saya akan melamar orang tersebut pada hari ini dan di atas panggung ini," Marwa bercucuran keringat dingin, air mata bahagianya meleleh. Mamanya heran melihat anaknya. Tapi Papanya sudah tahu bahwa hari ini akan ada seorang pemuda yang akan melamar putrinya di panggung itu. Marwa telah mengatakannya kepada Papanya ketika Firman di atas panggung tadi. Begitupun ibunya Firman, masih bingung atas apa yang dimaksud putranya yang sedang berkhutbah di atas panggung sana.

Firman telah memberitahu ayahnya ketika Marwa membacakan puisinya. Tadi sebelum acara penutup, Firman mengirim inbox kepada Marwa bahwa Ayahnya setuju, Marwa segera membalas: "Papaku paling setuju!!" Itulah sebabnya Firman berani menyampaikan maksudnya kepada rektor seminggu yang lalu dan berani bicara di atas panggung itu, karena ia yakin sekali ayahnya pasti setuju. Kalau papanya Marwa, cukup kode-kode Marwa itu adalah jawabannya. Kalau putrinya sematang wayang, kasih saying ayah pada anaknya lebih dari apa pun.

"Kepada kedua orang tuaku, kumohon untuk naik ke atas panggung dan juga kepada kedua orang tua Marwa untuk naik ke atas panggung," semuanya berdiri. Standing applous bergemuruh seakan meruntuhkan gedung Al-Jannatu Tahta Aqdaami Ummahaat. Mama Marwa dan Ibu Firman tak kuasa menahan senyum bahagia. Ternyata doa keduanya dikabulkan Allah Subhaanahu Wata'ala.

Kedua orang tua duduk saling berhadapan di atas panggung. Firman turun dari podium dan duduk di tengah kedua orangtuanya, seperti yang dilakukan Marwa, ia berhadapan dengan Marwa. Para hadirin memperhatikan dengan saksama.

Rektor kampus dan para hadiran menyaksikan kejadian pertama kali di acara wisuda kali ini, sekaligus mereka semua adalah saksi mata bahwa Firman akan melamar Marwa.

Firman memberikan cincin kepada ibunya kemudian ibunya maju sedikit kedepan, begitupun Marwa. Ibu Firman mengeluarkan cincin yang bermata berlian itu dari kotak kecil berwarna hitam. Sang calon ibu mertuanya meraih tangannya, lalu sang ibu pun memakaikan cincin untuk calon menantunya. Cincin itu masuk dengan lancar ke dalam jari manisnya, sebab keringat dinginnya yang telah membasahi jari-jarinya. Tepuk tangan kembali bergemuruh, gedung itu terasa goyang, seakan hampir saja rubuh.

Rektor kampus naik ke podium. Ingin menyampaikan sepatah dan dua patah kata.

"Great and the first in the world like this one. Beginilah laki-laki yang berani dan tanggung jawab. Nggak Cuma banyak gombal, tapi perbanyaklah amal dan modal lalu jadilah pasangan yang halal." petikan pendek dari pak rector kece.

Seminggu kemudian, acara akad nikah digelar dengan meriah di rumahnya Marwa, nama kampungnya: Anta Turid Wa Nahnu Nurid, kamu mau dan kami pun mau. Orang luar kampung bahkan orang kampung itu sendiri pada awalnya sulit menyebut nama kampung mereka. Sehingga mereka berinisiatif untuk menerjemahkannya saja, jadilah: kampung : Kamu suka dan aku pun suka, dengan nama pendek, S3 atau sama-sama suka. Para imam masjid diundang, para ulama, rektor dan dosen-dosen kampus Awamalia. Kerabat terdekat, teman kampus Awamaalia, ratusan anak yatim dari Panti Asuhan.

Kedua mempelai saling memakaikan cincin. Mereka sudah resmi menjadi pasangan yang halal, pasangan sehidup sesurga.

Satu jam sebelum magrib, para tamu undangan pulang. Hanya sebahagian saja yang masih menetap. Orang tua Firman sudah satu minggu ini tidak balik kampung, tidur di hotel dan mulai malam ini orang tuanya dan dirinya sudah boleh tidur di rumah Marwa. Rumahnya tiga lantai. Lantai pertama untuk tamu, luas, bersih, rapi dan menawan. Lantai kedua memiliki empat kamar dan tiga kamar mandi demikian juga lantai tiga. Lantai tiga ditempati Pak Supir, istri dan dua orang anaknya yang masih Sekolah Dasar. Ayah dan Ibu Firman tidur di kamar tengah lantai dua.

Kamar Marwa terpisah sendiri di pojokan, luas, rapi, bersih dan menggoda. Dua insan yang halalnya baru tadi sore itu sedang berbagi cerita di dalam kamar. Cat dinding kamar itu pink, pintunya ungu, spring bad-nya warna coklat. Lemarinya pink, pakaian yang terlipat rapi di dalamnya juga kebanyakan pink, bibir Marwa dan pipi kanan kirinya Firman juga pink.

"Malam ini atau besok pagi sayangku?" tanya Firman sambil memeluk istrinya dari belakang yang sedang berdiri di depan kaca.

"Kalau aku boleh usul, seminggu lagi saja sayangku"

"Loh, kenapa sayang? Gak mau ah, kelamaan!"

"Aku punya rencana, kita berbulan madu ke Kampung Firdaus. Di sana ada hotel yang menghadap ke laut. Di samping hotel itu sungai mengalir. Pemandangannya indah sekali. Orang bilang itu adalah kampung tetesan dari Surga. Mau ya? Mau ya sayangku? Aku sudah booking loh sejak dua minggu yang lalu." papar istrinya.

"Sayangku, enggak perlu repot-repot dan jauh-jauh ke kampung Firdaus. Di kamar ini saja dan malam ini."

"Ayolah sayang, arjuuk ya habibii." pinta istrinya sambil memeluk dan mencium pipi kanannya.

Karena ia sangat sayang sekali pada istrinya, Firman memenuhi ajakan istrinya. Menyetujui rencana tulang rusuknya.

"Baiklah sayangku, ini adalah ke sembilan puluh sembilan kalinya elangmu Kau taklukkan," Firman mencium kening istrinya.

"Hore! Hehehe. Makasih elangku yang baik."

Menunggu satu minggu seperti menunggu satu tahun lamanya bagi Firman. Akhirnya satu minggu itu pun berlalu. Tiga hari lalu mereka telah pulang kampung bersama ayah dan ibunya Firman dan Marwa juga ikut ke kampung Laataqlaq, jangan cemas. Rencana ke kampung Firdaus akan segera ditempuh dari kampung Laataqlaq ini. Dengan waktu tempuh selama dua hari dua malam. Sore ini cuaca sedikit mendung, tapi sedang tidak menurunkan hujan. Pakaian untuk selama seminggu di kampung Firdaus nanti sudah masuk ke dalam koper.

Setelah pamit kepada ayah dan ibu, mereka pun pergi meninggalkan kampung Laataqlaq. Perasaan sang ibu sedikit berbeda dari sebelumnya. Ingin ibu menelepon Firman untuk kembali saja ke rumah, tapi itu sangat sulit untuk ia lakukan. Sang ibu pun mengurungkan niatnya.

Sudah tiga jam perjalanan dengan kecepatan delapan puluh kilo meter perjam, mobil berkulit hitam mengkilat itu berlari dengan baik. Dua insan di dalam mobil itu sedang menikmati perjalanan bulan madunya. Sudah tak sabar lagi ingin segera sampai di kampung Firdaus.

Gerimis mulai membasahi jalan. Kecepatan tak menurun, tetap dengan delapan puluh kilo meter perjam. Uap aspal mengaburkan jalan. Terpaksa Firman menyalakan lampu tembak. Di tanjakan yang tinggi, mobil bulan madu itu berlari dengan kecepatan dua puluh. Di balik tikungan patah itu, mobil Fuso berwarna kuning yang tak menyalakan lampu tiba-tiba muncul tanpa aba-aba. Firman kaget bukan kepalang, ia tidak ingin diinjak mobil Fuso pembawa sawit itu.

Firman membanting stir ke kiri dan mobil itu terjun ke jurang, seperti parasut melompat dari dalam pesawat. Terpontang-panting dan terbentur ke batu yang lebih besar dari mobil berkap warna hitam itu. Tiba-tiba, tidak ada bulan, tidak ada bintang dan dunia gelap semua.

***