webnovel

Juruwanci, Misteri Di Balik Perang Bubat

Argenta Magenta seorang siswa yang tidak dapat merasakan bahagia, sebenarnya adalah pria sakti berusia 700 tahun. Setelah mendapat saran dari sahabatnya, dia berusaha kembali ke masa lalu untuk mengubah masa depan menjadi lebih baik. Bagaimana cara Argenta kembali ke masa lalu, dan bagaimana cara dia mengubah masa depan, serta berbagai rahasia tentang kesaktian dan kutukannya, semua mengalir menuju hilir yang sama, yaitu Perang Bubat. Kisah Argenta diawali dan diakhiri dimasa sekarang, dengan segala pengaruh dari orang-orang yang pernah berhubungan dengannya, dia mengubah sejarah dunia sebelumnya dan menciptakan dunia seperti yang kita kenal sekarang ini.

meowmoew · SF
レビュー数が足りません
2 Chs

Sekarang yang Lain

"Lihatlah, bukanlah ini sore yang indah"

"Iya, kuharap kita bisa terus bersama untuk waktu yang lama"

DUAR!!!

Seakan alam tidak rela, sepasang kekasih tersambar petir sore itu.

1.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi tapi aku baru saja tiba di depan gerbang sekolah, terlihat beberapa siswa sedang di hukum mengelilingi lapangan karena telat, samar terdengar teriakan guru BK memanggil namaku.

"Genta! Kamu ini, sudah yang ke tiga kalinya minggu ini, kemarin kamu berjanji tidak akan telat lagi, tapi ini apa!"

Ya betul namaku adalah Genta, Argenta Magenta salah satu siswa di sekolah ini.

"Maaf bu saya lupa" jawabku singkat.

Aku memang terkenal di kalangan guru sebagai siswa yang rajin telat, segala cara sudah mereka coba untuk menghukumku tapi aku tetap melakukannya, bukan karena apa, aku hanya merasakan sensasi yang unik untuk berangkat telat.

"Kali ini kamu saya hukum berlari mengelilingi lapangan 15 kali"

"Baik bu" sambil mulai berlari

Tidak perlu banyak alasan karena dengan banyak tanya hanya akan menambah bayak hukuman yang kudapat.

2.

Hukuman sudah selesai, selanjutnya aku hanya perlu berjalan menuju kelas, tersenyum kepada guru, meminta maaf dan duduk.

Setelah melewati beberapa lorong, saat ini aku sudah berada di depan pintu kelas dan tinggal membukanya, tapi aku ingat sekarang hari Sabtu, dan guru pelajaran pertama adalah seorang pemarah yang suka berceramah, aku yang bimbang memutuskan untuk duduk sebentar di bangku depan kelas.

Di tengah gelisah ini aku bahkan masih sempat melamun, menatap langit mendung pagi ini, merasakan dingin basah baju tertetes gerimis, dan berpikir kenapa hari-hariku selalu begini.

Lalu tak seberapa lama, kutemukan ide yang gila.

Aku kembali mendekati pintu menunggu saat mereka sedang tidak fokus dan mulai masuk kelas.

Boom!

Sekarang aku sudah di tempat dudukku dan belum ada yang sadar, bahkan teman satu mejaku baru sadar saat aku membuat kegaduhan dengan membuka tas untuk mengambil alat tulis.

"Sial sejak kapan kau di sini! Kau benar-benar aneh, apa kau orang suci?" kata teman semejaku

"Diamlah nanti pak guru sadar, ini belum diabsen kan?" jawabku

"Memang belum absen tapi jam pelajaran ini hampir selesai dan kau baru saja masuk kelas, kau memang gila, aku bahkan tidak menyadarinya, itu membuatku ikut menjadi gila sialan"

"Baiklah anak-anak sebenarnya waktu kita masih 15 menit tapi karena hari ini ada rapat, maka kita akan selesai lebih awal, dan mungkin pelajaran selanjutnya juga akan kosong"

"Sebelum saya pamit, kita absen kehadiran lebih dahulu"

"Acep Braveheart"

"Hadir pak!"

Dialah Acep teman satu mejaku, manusia penuh canda yang membuat hidup hampaku sedikit berwarna.

Hingga tibalah saat namaku disebut

"Argenta Magenta, dia tidak hadir ya?"

"Hadir pak, saya di sini"

"Perasaan tadi tidak ada"

Sial pak guru menyadari aku masuk diam-diam

"Aku duduk di sini dari pagi kok pak" jawabku menggerutu

"Haha baiklah, mungkin pak guru yang sedang tidak fokus, selanjutnya, Gilang Artanto!"

"Hadir"

"Joko Panomo"

Pak guru pun mengabsen hinga selesai dan pergi meninggalkan kelas, sekarang jam kosong, mungkin guru-guru akan rapat hingga siang, dan kita bebas melakukan apa pun sekarang.

3.

"Haha dasar putra Yanto, anak cicit Yanto!"

"Apa kau bilang, nama ayahmu Sidik?"

"Sialan kau!"

Jam kosong pada kelas 11 memang gaduh, tapi aku masih duduk di kursiku menatap teman-temaku saling mengejek nama ayah mereka.

"Hei Kun, kau tidak ikut pertempuran itu, bukannya kau sudah tahu nama ayah mereka?" sapa Acep sambil menepuk pundakku.

Beberapa temanku memanggilku Kun, singkatan dari dukun, mereka menyebutku itu karena memang sering terjadi keanehan padaku.

"Untuk apa aku ikut mengejek, hal itu hanya membuatku ikut di ejek oleh mereka" jawabku memecah lamunan

"Wah benar juga, kau tiba-tiba bijak, tapi ngomong-ngomong aku juga belum tahu siapa nama orang tuamu, teman macam apa kau ini?"

"Tidak, aku tak akan memberi tahumu"

"Ah ayolah, aku tak akan bilang siapa-siapa"

"Apa kau yakin?"

"Cepatlah!"

"Baiklah kalau memang itu maumu"

"Kau memang anak sial!"

"Akan kuberi tahu siapa orang tuaku"

"Sialan!" Acep mulai kesal

"Aku adalah putra dari Empu Senaweling, dan cucu dari Empu Jayakala, pandai besi hebat dari Kediri. Ibuku adalah Ratnamithasika putri saudagar kaya dari Malaka, Paradhikawijaya. Namaku adalah Gentawiryagni atau Ranusona atau kalian mengenalku dengan nama Argenta Magenta"

Hening, ternyata seisi kelas memandangku dengan tatapan mengerikan, memang aku secara tidak sadar naik ke atas kursi dengan salah satu kakiku berada di atas meja

"Apa kau serius?" celetuk Acep memecah sunyi

"Ya kau boleh mempercayainya ataupun tidak, sudah biasa juga orang tidak percaya kepadaku" jawabku sembari duduk

"Sial, bagaimanapun aku akan mempercayainya, suasana yang terjadi saat kau mengatakannya membuatku merinding, kau memang seperti dukun"

Aku rasa hanya kebetulan ada angin berhembus kencang sehingga gorden kelas berkibar saat aku berdiri dengan gagah, tapi sialnya ini bisa membongkar rahasiaku.

4.

MAN 1 Banjarnegara adalah sekolahku sekarang, berada di Desa Pucang, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.

Jika dilihat dari jauh sekolahku akan terlihat berwarna hijau, dari depan terlihat bangunan dua lantai dengan beberapa pohon sebagai penyejuk, tidak akan sulit untuk menemukan sekolahku karena berada tepat di samping jalan raya, akan jelas terlihat gerbang besi yang juga di cat berwarna hijau biasanya terbuka.

Lebih jauh lagi masuk ke dalam, terdapat banyak ruang kelas dan beberapa laboratorium, ketika aku masuk melalui gerbang kiri akan terlihat tangga di samping kiriku, tangga itulah yang mengantarkan menuju kelas 10ku dulu, dan di depan terdapat deretan kelas 12. Terdapat dua gerbang, gerbang yang satunya berada di bagian kanan, melewati lorong yang di kiri kanannya adalah ruang guru dan ruang BK, jalur mengerikan bagi siswa yang bermasalah, kalau aku sendiri lebih sering lewat ruang TU karena memang aku sering telat jadi gerbang sudah ditutup.

Aku adalah siswa kelas 11 IPA 3 jika aku lewat gerbang kanan aku hanya perlu jalan lurus melewati perpustakaan hingga sampai di lorong 11 IPA kemudian berjalan beberapa langkah kek kanan melewati dua kelas lainnya, di depan kelas hanya terdapat satu bangku taman berwarna putih, ketika aku duduk di sana aku dapat melihat selokan kecil mengalir, beberapa pohon dan perpustakaan dapat kulihat dengan jelas di depanku.

Pintu kelas terlihat sudah tua dengan beberapa coretan spidol, dua daun pintu dengan gagang yang sudah tidak berfungsi itu bisanya hanya di buka sebelah. Aku duduk di meja ke dua dari depan dan berada di bawah jendela bagian kanan, di meja inilah aku duduk bersama Acep, satu meja di depanku di kosongkan, karena berada tepat berhadapan dengan meja guru, kelasku berisi 30 siswa dengan 10 laki-laki yang duduk bergerombol di ujung kanan kelas, mejaku mungkin tempat terbaik untuk menatap papan tulis atau pun melihat keluar kelas dengan menoleh ke kiri, tapi mejaku adalah tempat yang sulit untuk tertidur dan melakukan beberapa hal konyol lainnya, tapi aku dan Acep tidak terlalu peduli dengan hal itu.

5.

"Kun ke kantin yuk" ajak Acep kepadaku

"Ke kantin saja kau sendiri, aku masih kenyang"

"Kau ini jarang sekali ke kantin, apa kau ada masalah dengan ibu kantin?"

"Tidak juga, aku hanya malas sebenarnya"

"Ah kau ini memang membosankan, aku akan ke kantin sendiri kalau begitu"

"Tunggu Cep, aku ikut"

Ada beberapa kantin di sekolah ini, dan yang terdekat ada di belakang perpustakaan, kami memutuskan untuk mendatangi kantin itu. Kantin khusus untuk laki-laki berada di sebelah kanan, dan untuk perempuan ada di sebelah kiri, lebih ke kiri lagi terdapat ruang pramuka. Kantin kecil dengan satu meja panjang dan seorang ibu penjual yang ramah.

"Bu, aku pesan mi rebus dan es teh" Acep memesan makanan dari pintu kantin

"Eh ada Acep, tumben masih pagi ke kantin Cep" Ibu kantin terlihat hafal kepada Acep karena dia memang sering ke kantin.

"Jam kosong bu, guru-guru sedang rapat. Kukenalkan bu, ini Genta teman sekelasku, dia memang jarang ke kantin"

"Hai bu, salam kenal" Jawabku sambil duduk di bangku makan

"Oh ini Genta, siswa yang katanya selalu dapat nilai bagus itu?"

"Iya bu, dia siswa yang terkenal itu, padahal aslinya biasa saja" celetuk Acep, membuatku hanya bisa tersenyum

"Kau tak pesan apa-apa Ta?" sekarang dia sudah duduk di depanku

"Kan sudah kubilang, aku masih kenyang. Aku hanya menemanimu"

"Ah jangan begitu, biar kubelikan kamu susu"

"Bu satu susu hangat untuk si Genta ini"

"Siap Cep" sahut ibu kantin

Acep adalah teman yang baik, mungkin teman terbaikku di sekolah ini. Aku bertemu dengan dia sejak awal masa pengenalan siswa, kami menjadi akrab dan memutuskan untuk mengambil jurusan IPA, kami cukup beruntung bisa satu kelas.

Kalau diliat tampangnya, Acep terlihat sederhana, muka khas Jawa dengan rambut ikal pendek dan kulit sawo matang, dia bahkan terlalu lusuh untuk seorang yang tergolong berkecukupan, meski begitu ketika dia tertawa akan terlihat gigi putih yang tertata rapi, dengan pembawaan lawaknya ia selalu mencairkan suasana. Acep adalah blasteran ibunya Jawa asli sedangkan ayahnya dari Inggris, itulah yang menyebabkan nama Braveheart menempel dibelakang nama Acep.

Aku kadang diajak ke rumahnya, tak jauh dari sekolah, tapi ketika Acep ingin ke rumahku aku selalu menolaknya.

"Ini mi dan minumannya Cep" kata ibu kantin sambil meletakkan semangkok mi dan dua gelas minuman ke meja

"Terima kasih bu"

"Mumpung sepi nih ta, aku mau tanya sesuatu" Terlihat raut wajah Acep menjadi serius

"Mau tanya apa kau"

"Soal keanehanmu"

"Memangnya aku aneh?"

"Apa kau tak merasakan kalau kau itu di selimuti keanehan?"

"Tidak juga, memangnya keanehan seperti apa?"

"Seperti apa katamu? Kau pernah jatuh di tangga dari lantai dua dan kau tidak apa-apa, kau pernah kecelakaan bersamaku dan kau juga tidak apa-apa, kau selalu telat, kau selalu berjalan kaki padahal rumahmu entah di mana, aku tak boleh ke rumahmu, kau tidak pernah terlihat mengantuk bahkan dalam pelajaran matematika, kau bisa masuk kelas tanpa disadari, kau tidak pernah tertawa, dan terakhir, saat kau mengucapkan hal aneh itu"

"Wah ini pertama kalinya dalam hidupku ada yang menyadari keanehanku"

"Semua orang juga pasti tahu sialan"

"Baiklah akan kuberi tahu kau rahasiaku, lagi pula aku tahu kau orang yang tidak terlalu peduli dengan hal konyol"

Dan di saat aku akan memberi tahu Acep, datanglah Hasim dan Hisyam teman sekelasku yang lain. Ini benar-benar merusak suasana.

"Wih ada Dukun dan Acep, tumben juga kau ke kantin Kun" sapa Hasim

"Bolos yuk Sim, ini sudah pasti kosong sampai pulang" kataku mengganti topik pembicaraan

Mendengar itu Hisyam yang sedang memesan pun menengok

"Kalau mau bolos aku ikut, tapi bagaimana caranya" Kata Hisyam

"Kita lompat tembok saja Syam kau berani tidak" sambung Hasim

"Cih kaki pendek begitu mau lompat tembok, kita lewat gerbang, kita dobrak!",

Melihat mereka berdebat, aku pun berbisik pada Acep

"Kita tidak bisa bicara di sini, ayo ke rumahku"

"Apa kau serius, kau mengajakku ke rumahmu? Ayo kita bolos!"

"Aku tahu Sim Syam Kun, kita lempar tas lewati tembok belakang, lalu kita ijin ke satpam ambil buku, kita bisa bawa motor keluar untuk mengambil tas dan pulang"

6.

Kami semua sudah selesai makan, dan sekerang adalah waktunya untuk membolos. Kelasku memang terkenal sebagai kelas yang sedikit tidak mematuhi aturan, sering membolos adalah salah satunya, aku sebenarnya enggan , tapi karena terpengaruh Acep yang sering membolos aku jadi terbiasa.

"Kalian sudah selesai kan, ayo kita ambil tas" kata Acep

Acep seperti biasanya, menjadi orang yang paling semangat membolos, dia berjalan di depan bak seorang pahlawan memimpin kami menuju kelas.

Sampai di kelas kami pun mengambil tas, dan tak ada seorang pun yang peduli, karena ini memang sudah biasa.

Seperti rencana, kami pun menuju tembok belakang, melewati WC dan kolam ikan sampailah kami di depan tembok yang tinggi menjulang ini, tanpa pikir panjang kami lemparkan tas ke tanah seberang, di balik tembok ini adalah lahan perkebunan yang membatasi sekolah dengan parit, di sana juga terdapat jembatan sehingga kami tak perlu risau karena tas akan aman sampai kita mengambilnya lagi.

"Sekarang apa lagi Cep?"

"Sekarang kau dan Hasim ambil motor kalian masing-masing, kemudian ke gerbang bersamaku"

"Lalu Dukun akan meminta kunci gerbang depan ke satpam dengan izin ambil buku"

"Kenapa harus aku yang menemui satpam sialan kau Cep!"

"Karena kau tak membawa motor, sudah sana kau izin, nanti kau bonceng aku seperti biasa"

Maka pergilah aku menuju ruang TU mencari satpam, kulihat dia sedang duduk santai menonton TV, aku pun menemuinya.

"Pak izin ambil buku"

"Ya sudah sana, ini kunci gerbang depan"

Tak kukira akan semudah ini, tapi siapa peduli teman-temanku sudah menunggu di depan. Kulambaikan kunci kepada teman-teman bukti diriku berhasil, setelah kubuka gerbang ini aku pun membonceng Acep dan pergi ke belakang sekolah, kami hanya perlu masuk gang di samping sekolahan, kemudian berjalan kaki sebentar memasuki kebun.

7.

"Aku dan Hasim akan ke warung kalian mau ke mana?" tanya Hisyam kepadaku dan Acep setelah mengambil tas

Hasim dan Hisyam akan pergi ke warung tempat tongkrongan anak-anak biasanya merokok atau membolos, di sana adalah tempat yang sempurna karena pemilik warung tidak melaporkan kami kepada guru.

"Kami akan langsung pulang ya" Jawab Acep sambil mulai menarik motornya dengan kencang

"Hati-hati di jalan!" Teriakan mereka terdengar dari jauh.

Hingga sampailah kami di pertigaan depan gang.

"Memangnya di mana rumahmu Ta"

"Bagaimana ya, mungkin kita harus berjalan ke arah kota dulu"

"Baiklah nanti kalau harus belok bilang ya"

Kami pun pergi ke arah kota atau belok kiri kalau dari pertigaan tadi, jalan utama di kota ini memang mudah, dari ujung barat sampai timur hanya lurus, dan saat ini kami sedang menuju ke arah timur.

"Sebenarnya aku tidak punya rumah Cep", masih di atas motor aku sudah memulai pembicaraan.

"Yang benar saja lalu selama ini kamu hidup di mana"

"Aku bisa hidup di manapun"

"Kamu serius"

"Iya aku serius"

"Baiklah kalau begitu kita akan pergi ke rumahku"

Rumah Acep berada di belakang sekolah kami, sehingga kami harus putar balik. Dan dalam perjalanan pulang ini, Acep seperti terburu-buru.

"Cep kamu cepat banget bawa motornya sial"

Acep hanya diam sepertinya dalam pikirannya terdapat banyak pertanyaan yang membuatnya pusing.

Tak terasa kami sudah sampai di rumah Acep, rumah bergaya modern dengan dua lantai dan satu garasi, berwarna abu-abu dengan pagar terbuat dari tanaman, di depannya terdapat taman kecil dengan kolam ikan koi.

"Ayo masuk Ta"

Seperti biasanya aku duduk di sofa berwana merah di ruang tamu, memandang lukisan kuda di hadapanku.

"Nek ada genta" terdengar dari jauh sayup Acep memanggil meneknya.

Acep memang hanya hidup berdua dengan neneknya kedua orang tuanya bekerja di luar negeri, neneknya sendiri tidak terlalu peduli dengan apa yang dilakukan acep, sehingga membuat acep menjadi pribadi yang sedikit nakal.

Tak lama datanglah acep dengan dua kopi ditangannya setelah meletakkan kopi di meja dia langsung duduk dan siap mendengar penjelasanku

"Jadi bagaimana hidupmu bisa serumit ini? kamu memang jarang menceritakan hidupmu ya."

"Aduh bagaimana ya, baiklah meski sulit, akan kuceritakan semuanya, kepadamu, mungkin kisahku ini dimulai dari 729 tahun yang lalu, tepatnya ketika zaman kerajaan Singasari"