Dalam perjalanan menuju ke tempat kerja aku singgah sebentar di sebuah counter untuk membeli pulsa. Penjaga counternya sangat ramah. Sambil menunggu angkot aku duduk di depan counter tersebut. Di atas etalase aku melihat sebuah surat undangan pernikahan. Aku meminta izin untuk membacanya.
" Calon pengantin wanita yang tertulis di surat undangan itu dulunya pacar saya, Bang". Penjaga counter itu tersenyum lirih. Tapi karena dia tertawa setelah mengatakan itu aku pun jadi ikutan tertawa.
" Begitulah hidup, Bang". Setelah membayar pulsa aku pergi menuju tempat kerjaku yang tidak terlalu jauh dari tempat kostku. Jalan kaki doang cuma lima belas menit sampai.
" Ya. Makasih, Bang". Jawab penjaga counter ramah.
Di tempat kerjaku aku melihat surat undangan pernikahan yang sama di meja kerja majikanku. Aku jadi teringat pada penjaga counter tadi.
" Kamu tahu berapa usia mempelai prianya?" Tanya ibu Haji mengagetkanku.
" Dia lebih tua tujuh tahun dari pak Haji". Lanjut ibu Haji. Aku menyimak ceritanya sambil bersih-bersih. Sebetulnya aku sudah tahu ceritanya dari penjaga counter tadi. Cerita yang sama dari dua pihak yang berbeda memberikan kesan dan pemahaman yang berbeda pula. Ibu Haji mengatakan bahwa teman dari suaminya ini orang yang sangat beruntung bisa menikah dengan seorang gadis perawan yang baru berusia delapan belas tahun. Sangat bertentangan dengan apa yang dirasakan oleh penjaga counter itu.
Kurang lebih satu tahun yang lalu penjaga counter ini berkenalan dengan gadis ini secara kebetulan ketika ia hendak pulang setelah tutup counter sekitar jam sembilan malam. Waktu itu gadis ini sedang menunggu angkot di depan counter.
" Maaf, Neng…. Kursinya mau saya masukin. Sudah jam sembilan. Saya mau pulang".
" Oh...… Maaf Ka. Silahkan". Suaranya lembut manja.
" Memangnya dari mana Neng? Mau ke mana?"
" Dari rumah teman. Mau pulang. Masih ada angkot enggak ya…. Ka?"
" Kalo jam segini angkot sudah jarang. Tapi kalo ojek banyak". Setelah beres ia lalu menutup rolling doornya.
" Kalo saya anterin mau?"
Singkat cerita setelah malam itu mereka semakin dekat dan akhirnya jadian. Setelah setahun lamanya menjalin cinta akhirnya kandas juga. Kabarnya sang gadis telah dilamar oleh seseorang yang jauh lebih baik darinya terutama secara materi. Namun yang paling mengejutkan ternyata seseorang itu usianya pun jauh lebih tua tiga kali lipat dari usianya.
" Mau bagaimana lagi….. mungkin bukan jodoh. Da saya mah apa atuh. Ga punya apa-apa. Modal buat nikah saja ga ada".
Aku cuma bisa diam dan jadi pendengar setia karena takut salah bicara nanti malah menyinggung perasaannya.
" Laki-laki tua itu punya apa yang diinginkannya dan juga orang tuanya... Harta". Dia masih melanjutkan ceritanya. Aku jadi merasa tidak enak jika harus pergi sementara dia masih bercerita. Akhirnya aku dengarkan semua curhatannya sampai selesai.
Sepulang kerja, ketika lewat di depan sebuah rumah makan tiba-tiba aku jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu tepat di teras rumah makan itu. Waktu itu ada dua orang ibu dan seorang anak perempuan ditengah di antara keduanya yang ternyata baru lulus sekolah. Ibu yang satu terus bercerita tentang seorang laki-laki yang katanya punya lima toko pakaian dan toko sembako juga. Lalu ibu yang satunya cuma manggut-manggut mengiyakan. Sementara anak perempuan itu cuma tersenyum-senyum seperti menghayalkan sesuatu yang indah. Rupanya ibu yang satu adalah mak comblang dan yang satunya lagi adalah ibu kandung dari anak perempuan itu. Sang ibu terlihat gelisah ketika mengetahui jika laki-laki yang dijodohkan pada anaknya itu seumuran dengan ayahnya yaitu kakek dari anaknya. Tapi ekspresi sang anak terlihat jelas jika dia sangat setuju dan mau menikah dengan laki-laki yang seumuran dengan kakeknya itu.
Langit malam terlihat bercahaya. Kurebahkan tubuh lelahku dalam pangkuannya. Merenungkan kembali nasib yang menantiku di depan sana. Masih adakah cinta tersisa bagi kami yang kurang beruntung dengan kehidupan duniawi. Atau mungkin cinta hadir karena harta. Pemahaman dan keyakinanku tentang jodoh perlahan mulai terkikis oleh kenyataan. Tapi inilah memang kenyataan yang kutemui. Tak sedikit dari mereka yang hidup sendiri hingga akhir hayatnya. Tak sedikit dari mereka yang tidak bisa melaksanakan "sunnah Nabi" yang satu ini karena terhalang materi. Tak sedikit dari mereka yang berharap pada pertolongan-Nya, namun harapan itu hanya membuat keyakinan semakin terkikis. Tak sedikit dari mereka yang mencoba bertahan pada keyakinannya, namun hanya keraguan yang semakin bertambah. Pada akhirnya aku pun hanya bisa berharap dalam mimpiku.