webnovel

1

"Nina...!"

panggil suamiku dari dalam rumah.

Aku hanya menoleh sebentar lalu melanjutkan kembali pekerjaanku, sementara Dika terus mendekat ke arahku.

Yah, aku bernama Nina, umurku baru menginjak 19 tahun, tetapi sudah menjadi Istri dan seorang Ibu.

Sementara Dika adalah suamiku, dia menikahi ku saat umurnya dua puluh tiga tahun, kami memang menikah muda.

"Sayang!

kok dipanggil panggil tidak menyahut!"

ucap suamiku dengan wajah sedikit kesal.

Ku bersihkan sampah dari daun pepohonan di depan rumah kami, perlahan aku menghentikan pekerjaanku yang memang sudah selesai.

"Iya Kak ini sudah selesai!"

ucapku sambil tertawa kecil melihat tingkahnya.

"Ini uang belanja untuk kebutuhan sehari hari kita!"

Ucapnya lagi sambil mengecup puncak kepalaku, sebelum dia pergi ke toko kecil milik kami yang ada di depan pasar.

Aku meraba amplop yang sangat tipis itu, entah berapa isinya, perlahan aku melangkah masuk ke dalam rumah kami yang sederhana, rumah dengan ukuran 5x7 meter itu, cukup untuk kami bernaun dari panas dan hujan.

Perlahan kubuka amplop berwarna coklat itu, dan mengeluarkan isinya, aku benar benar tidak percaya, jatah bulananku kembali dipangkas, menjadi satu juta dua ratus ribu.

Berarti Kak Dika memberiku uang tunjangan, tiga ratus ribu per Minggu, mataku sudah berkaca kaca.

Dia, suamiku tega memangkas uang tunjangan untukku, bahkan ini untuk kebutuhan dia dan anaknya.

Sementara sisanya dia berikan kepada keluarganya.

Aku menikah satu tahun yang lalu, saat umurku belum genap delapan belas tahun, saat itu aku baru tamat SMA.

Aku pikir menikah muda adalah hal yang terindah, memang awalnya sangat indah, dia Kak Dika memberikan semua penghasilannya padaku, tanpa menunggu di awal bulan, bahkan tiap hari saat pulang dari toko.

Sampai saat bayiku lahir beberapa bulan yang lalu, semua berubah ketika mertuaku datang, dan meminta jatah tiap bulan, awalnya yang hanya sepertiga, lalu seperduanya, kini suamiku yang memberiku seperempatnya, dan sisanya untuk orang tua dan saudaranya yang lain.

Aku tersentak karena suara bayiku menangis dengan kencangnya dari arah kamar, aku berlari kecil sambil menghapus air mata yang menetes di pipiku.

Untung saja bayiku kuberi ASI eksklusif, jadi aku tidak perlu pusing dan bertengkar dengan Kak Dika, demi membeli susu buat bayiku Dina.

"Kok uang segini tidak cukup, lagian aku makan cuma pagi dan malam doang, kamu makan apa sih di rumah, jangan jangan kamu makan di warung ya tiap hari?

dasar perempuan rakus!"

Aku menangis sambil menyusui bayiku, kata kata Kak Dika tempo hari terngiang kembali di telingaku, membuat hatiku sakit, sesekali aku pukuli dada ini, agar sakitnya sedikit berkurang.

"Jadi perempuan itu hemat dikit dong, kalau perlu kamu puasa Senin Kamis, atau puasa tiap hari juga boleh, daripada makan saja yang kamu bisa, tanpa memikirkan susahnya nyari duit, sekali kali kamu kerja sana, jadi buruh cuci, atau tukang masak, biar berguna, bukannya nyusahin suami aja bisanya!"

Kata kata kasar suamiku terus terngiang, membuat aku menggigit bibirku kuat kuat agar suara tangis ini tidak pecah, kasihan Dina putri kecilku, yang baru berusia empat bulan.

Setelah Dina kembali tidur, aku memasukkannya ke dalam ayunan, lalu aku keluar duduk di kasur busa di depan TV, kupandangi setiap sudut rumahku, rumah pemberian orang tuaku, walau kecil dan selalu dihina oleh mertua, tapi adalah buat berteduh, dari pada anaknya tidak pernah berpikir untuk memiliki rumah yang lebih besar.

Aku melangkah menuju meja makan, baru saja duduk tiba tiba terdengar notifikasi dari ponsel, tapi bukan suara ponselku, setelah ku perhatikan ternyata ponsel Kak Dika, mungkin dia lupa.

Tak sengaja aku melihat pesan M-Banking dari ponselnya, nominalnya tujuh juta setengah.

Aku ternganga, tidak percaya dengan apa yang aku lihat, suamiku memberi jatah bulanan untuk keluarganya sebesar tujuh juta lebih, sedangkan aku hanya satu juta dua ratus.

Air mata ini terus mengalir, aku meremas ujung dasterku yang sudah lusuh, ku tatap wajahku yang kusam di cermin besar yang terpajang di dinding, yang digunakan sebagai hiasan.

Wajahku seperti Ibu ibu yang berumur 40 tahunan, padahal umurku baru 19 tahun lebih sekian sekian, aku tua sebelum waktunya, bahkan Ibu ibu di luar sana jauh lebih cantik dariku.

Mungkin aku harus pergi dari rumah ini, kalau seperti ini keadaannya aku pasti tidak akan sanggup.

Biarlah suamiku berbakti hanya untuk orang tua dan saudaranya, tapi enak sekali dia kalau aku pergi dia leluasa memiliki rumah ini, yang jelas jelas pemberian orang tuaku.

Aku masuk ke kamar, mencari surat surat rumah, untung masih utuh, aku yakin suatu saat dia akan mencarinya, lebih baik aku amankan, kuambil surat surat rumahku, lalu aku menggantinya dengan surat surat lainnya, sekilas mirip.

aku ke belakang, tidak ada yang tahu, kalau selama ini, aku miliki sebuah tempat menyimpan rahasia di dekat kolam ikan di belakang rumah, yang telah kering.

Aku harus waspada, sekecil apapun kemungkinan pasti akan terjadi, sebelum aku menyesal lebih baik aku amankan yang memang adalah milikku.

Setelah makan aku kembali ke kamar, melihat putriku, kulihat dia begitu lelap, ada rasa kasihan melihatnya, bajunya yang kekecilan membuatku tak bisa untuk menahan air mata ini, pusar anakku sampai kelihatan karena baju yang dipakainya adalah baju waktu dia masih berumur satu bulan.

Setiap aku meminta, pasti jawabannya, tunggu dulu, kalau masih bisa dipakai, ya pakaikan aja dulu, kita itu harus berhemat.

"Cihhhh....

dasar laki laki biadab, bahkan anak sendiri pun tidak ada rasa empatinya!"

gerutuku saat melihat keadaan anakku.

Perlahan kurebahkan badanku, lalu membuka ponselku, ternyata sudah banyak notif di aplikasi WhatsApp milikku.

Tanpa sepengetahuan Kak Dika aku mencoba jualan online, aku juga menjadi Author di salah satu aplikasi Novel online, dan ternyata uangnya lumayan menjanjikan.

Aku sengaja tidak memberitahukannya karena kalau dia sampai tahu aku bisa menghasilkan uang sendiri, mungkin jatah bulanan darinya akan di stop dan aku tidak mau itu, dia masih punya tanggung jawab atas aku dan anaknya.

Bahkan aku membuka rekening di bank tanpa sepengetahuannya, biarlah dia mengatakan aku rakus dan memakan uangnya sendiri, padahal aku hanya memakai seratus limapuluh ribu saja untuk membuka rekening di Bank.

Jauh berkali kali lipat lebih banyak, dari pemberiannya kepada keluarganya.

Aku akan pastikan, dia akan menyesal karena telah memperlakukan aku dan anaknya sendiri secara tidak adil, kalau perlu aku akan membuatnya mencium jempol kakiku sekalian, biar dia tahu rasa.

Aku bangkit, terlalu banyak melamun dan mengkhayal membuat kepalaku sedikit pusing, aku mau mandi dan memasak untuk menyambutnya pulang sore ini, entah kabar apa lagi yang dia bawa.