webnovel

Janji Suci Yang Ternoda

Lentera_Hati · SF
レビュー数が足りません
15 Chs

Bab 15

Waktu berjalan terasa begitu cepat, selama proses perceraian berlangsung. Selama itu juga Devian selalu datang menemui Nadine secara diam-diam. Devian hanya bisa berharap semoga usahanya untuk membuat Nadine hamil bisa terwujud. Dengan begitu, ia bisa menghindari perceraian tersebut. Namun hal tak terduga terjadi, secara tidak sengaja, mertuanya memergoki Devian yang datang untuk menemui Nadine.

Pertengkaran pun terjadi lagi antara orang tua Nadine dan juga orang tua Devian. Bahkan sekarang Devian benar-benar sudah tidak bertemu lagi dengan sang istri. Pria beralis tebal itu sudah mencoba berbagai cara untuk bisa meyakinkan mereka jika dirinya sungguh-sungguh ingin memperbaiki kesalahannya dan memperlihatkan pernikahannya. Namun mereka sama sekali tidak pernah memperpedulikan apa yang Devian inginkan.

Hanya Gunawan yang bisa dan mau mengerti akan Devian. Namun semua itu percuma, karena Sarah sama sekali tidak setuju jika putranya tetap mempertahankan pernikahan itu. Sarah bersikeras agar Devian dan Nadine bercerai, dengan begitu usahanya untuk menjodohkan putranya dengan anak sahabatnya bisa terwujud. Sarah ingin jika Devian bersedia bercerai dengan Nadine dan setelah itu menikah dengan Amara.

"Dev, besok kamu dan Amara akan bertunangan. Jadi, mama harap kamu harus belajar untuk melupakan Nadine. Dia tidak pantas untukmu, yang pantas menjadi istrimu adalah Amara," jelas Sarah. Saat ini mereka tengah menikmati sarapan pagi bersama.

Devian menggelengkan kepalanya seraya meletakkan garpu dan sendok yang tengah dipegang. "Dev nggak mau, Ma. Sampai kapanpun, Dev tidak mau bertunangan dengan Amara. Selama ini, Dev hanya menganggap dia sebagai sahabat, dan itu tidak akan berubah sampai kapanpun."

"Pokoknya, mama tidak mau tahu. Mama sudah mempersiapkan semua ini. Jadi mau tidak mau kamu harus menjalaninya, apa kamu mau buat mama malu, iya," terangnya. Sarah tetap bersikeras untuk tetap melangsungkan pertunangan itu.

"Selama ini mama selalu menuruti keinginan kamu, mama juga tidak pernah meminta apapun darimu. Hanya ini yang mama inginkan, tapi kamu sama sekali tidak mau peduli. Kamu .... "

"Sudah dong, Ma. Mama jangan paksa, Dev. Dia sudah dewasa, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Dev tahu mama yang baik dan mana yang buruk." Gunawan menyela ucapan istrinya itu. Ia merasa kasihan pada Devian, ia takut jika nanti putranya tertekan akan masalah yang ada.

"Tapi, Pa .... "

"Stop, Dev pusing dengerin ini semua. Jika ini bisa buat, Mama senang, Dev akan turuti." Devian bangkit dari duduknya dan beranjak pergi meninggalkan meja makan.

Dalam hati Sarah, ia merasa bahagia karena usahanya berhasil. Namun tidak dengan Gunawan, justru ia merasa kasihan pada putranya itu. Gunawan takut jika nanti akan timbul masalah baru, karena proses perceraian itu belum selesai. Dan sekarang Devian akan bertunangan dengan wanita lain. Bisa-bisa Nadine akan membenci Devian. Dan orang tua Nadine akan bertambah benci pada menantunya itu.

Saat ini Devian tengah duduk di sofa kamarnya. Tangannya memegang bingkai foto pernikahannya dengan Nadine. Ia tersenyum saat mengingat masa indah itu. Namun senyumnya pudar saat mengingat masa menyakitkan sekarang. Rindu, itu yang sangat Devian rasakan. Ingin sekali ia bertemu dengan sang istri, tetapi itu tidak mungkin terjadi. Karena sekarang Devian tidak bisa lagi bertemu dengan Nadine.

"Nadine, apa kamu juga merindukanku." Devian mengusap bingkai foto yang ia pegang.

"Maafkan aku, jika aku tidak bisa mempertahankan pernikahan ini. Tapi jujur, tidak ada niatan untuk melakukan ini, aku terpaksa." Devian mencium bingkai foto tersebut. Tak terasa bulir bening itu lolos begitu saja.

***

Di lain tempat, saat ini Nadine tengah duduk termenung di sofa ruang tengah. Tatapan matanya kosong, entah apa yang tengah ia pikirkan. Yang jelas, semenjak ia dilarang bertemu dengan Devian, Nadine sering melamun. Terlebih sekarang, ia sudah tahu jika Devian akan bertunangan dengan Amara. Kecewa, itu yang Nadine rasakan, bisa-bisanya Devian melakukan itu sedangkan mereka saja belum resmi bercerai.

"Nadine, kamu baik-baik saja kan?" tanya Widya, ia memegang bahu putrinya membuat Nadine sedikit tersentak.

"Ah, Bunda nggak kok." Nadine menyeka air matanya.

"Sudahlah, untuk apa kamu memikirkan laki-laki seperti dia. Bunda sudah sering bilang kan, Devian itu hanya pura-pura peduli dengan kamu. Buktinya, kalian belum resmi bercerai saja dia mau tunangan. Lebih kamu pikirkan kesehatanmu saja, masa depan kamu masih panjang, kamu masih muda," ujar Widya. Ia tidak rela jika putrinya selalu bersedih hanya karena seorang lelaki.

"Kamu tega, Mas. Padahal aku ingin memberi kabar gembira ini. Tapi kamu lebih dulu menyakitiku." Nadine menyeka kembali air matanya, tangannya juga mengelus perutnya yang masih datar.

"Sekarang kamu siap-siap saja. Rama sudah menunggumu di luar," ujar Widya.

"Iya, Bund. Assalamualaikum." Nadine bangkit, lalu mencium punggung tangan ibunya.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati ya." Widya mengantar Nadine sampai ke teras depan.

"Tante, kami pamit dulu ya. Assalamualaikum." Rama mencium punggung tangan Widya.

"Wa'alaikumsalam, kalian hati-hati ya." Widya tersenyum, andai saja Rama adalah menantunya. Ia akan merasa sangat bahagia.

Setelah mobil yang Nadine dan Rama naiki berjalan meninggalkan halaman rumah. Widya memutuskan untuk masuk ke dalam. Sementara itu di mobil Nadine memilih melihat ke luar jendela. Tak pernah terbayangkan jika kisah cintanya akan berakhir seperti ini. Nadine hanya bisa berdo'a semoga ada keajaiban.

"Nadine, bagaimana hubunganmu dengan Devian?" tanya Rama. Sesekali ia menoleh ke samping.

"Alhamdulillah baik," dustanya, Nadine tidak ingin masalah pernikahannya tersebar luas pada orang lain.

"Syukurlah, tapi dengar-dengar kalau .... "

"Rama, sebaiknya kamu fokus menyetir saja." Nadine memotong ucapan Rama, seketika pria berkemeja abu-abu itu tersenyum.

"Maaf." Rama kembali fokus menyetir, sementara Nadine menoleh ke luar jendela. Ia menyeka air matanya yang telah lancang keluar.

"Iya tidak apa-apa," ucap Nadine.

***

Waktu berjalan begitu cepat, selesai kemoterapi Nadine dan Rama bergegas untuk pulang. Awalnya Rama berniat ingin mengajak Nadine jalan, sekedar untuk membuang rasa suntuk, tetapi wanita berjilbab itu menolak, ia ingin segera cepat sampai ke rumah. Alhasil, Rama memilih untuk mengalah, ia segera mengantarkan Nadine untuk pulang.

"Nadine, kamu yakin kita langsung pulang?" tanya Rama memastikan.

"Iya, aku capek ingin istirahat," jawab Nadine.

"Ya sudah, kalau begitu aku akan mengantarmu pulang sekarang." Rama bergegas bangkit dari duduknya, saat ini mereka masih ada di ruangan di mana Nadine menjalani kemoterapi.

"Aku bantu ya," tawarnya. Namun Nadine menolak, ia sadar jika dirinya masih bersuami. Meski ke depannya tidak tahu akan seperti apa nantinya.

"Aku bisa sendiri kok," tolaknya. Perlahan Nadine bangkit dari brangkar.

Kini Nadine dan Rama tengah berjalan menyusuri koridor RS. Keduanya berjalan beriringan, ada rasa canggung yang Nadine rasakan. Wanita berjilbab itu selalu menjaga jarak, ia tidak ingin terkena fitnah. Kini keduanya sudah berada di parkiran, Nadine hendak masuk ke dalam mobil. Namun niatnya terhenti saat mendengar suara yang tak asing baginya. Seketika ia menoleh ke sumber suara tersebut.

"Mas, Dev," desisnya. Ia merasa terkejut saat melihat suaminya tengah berjalan menghampirinya.

"Nadine, aku sangat merindukanmu." Devian hendak memeluk tubuh istrinya. Namun Nadine menolak dan mendorong pelan tubuh kekar suaminya.

Hal ini membuat Devian mengernyitkan keningnya. "Nadine, ada apa. Apa kamu tidak merindukanku."

Bukan hanya Devian yang merasa heran, tetapi juga dengan Rama. Pria itu juga merasa heran dengan sikap yang Nadine tunjukkan. Devian meraih tangan sang istri, lalu menggenggamnya. Pria beralis tebal itu menatap lekat wajah istrinya, tetapi Nadine memilih untuk mengalihkan pandangannya. Ia merasa tidak sanggup untuk menatap wajah tampan sang suami.

"Nadine, aku minta maaf, aku tidak .... "

"Cukup, Mas. Tidak perlu kamu lanjutkan, aku tahu apa yang akan kamu katakan. Mungkin ini sudah takdir yang harus kita jalani, aku bahagia jika kamu bahagia." Susah payah Nadine menahan air matanya. Namun kenyataannya tetap jatuh.

"Nadine, tolong beri .... "

"Rama, kita pulang sekarang saja," ajaknya. Tanpa memperpedulikan ucapan Devian, Nadine masuk ke dalam mobil.

"Tapi .... " ucapan Rama terpotong saat melihat Nadine sudah masuk ke dalam mobil terlebih dahulu.

"Nadine, tolong dengerin aku dulu. Aku bisa jelasin semuanya." Devian mengetuk kaca mobil Rama. Namun Nadine sama sekali tidak peduli.

"Nadine, sebaiknya kalian .... "

"Aku capek, Rama. Aku ingin pulang, kalau kamu tidak mau mengantarku pulang, aku bisa naik taksi." Nadine memotong ucapan Rama. Alhasil Rama memilih untuk mengalah.

"Nadine, tolong buka. Aku akan menjelaskan ini semua, Nadine tolong." Devian terus mengetuk kaca mobil tersebut. Namun Nadine tetap pada pendiriannya.

"Argh." Devian mengerang frustasi. Pria beralis tebal itu mengacak-acak rambutnya, ia tidak peduli dengan pandangan orang yang ada di sekitarnya.

***

Hari telah berganti, hari pertunangan Devian dan Amara pun akan segera berlangsung. Jujur, ini sangat berat untuk Devian. Ia benar-benar mencintai Nadine, tapi kenapa saat ia ingin membuktikannya selalu ada masalah yang datang. Devian telah gagal memperjuangkan cintanya, ia gagal untuk mempertahankan pernikahannya.

"Papa tahu, ini memang berat untuk kamu jalani. Tapi kamu harus yakin, jika Nadine itu jodohmu. Entah kapan kalian pasti akan dipertemukan kembali." Gunawan menepuk bahu putranya. Saat ini Devian tengah berdiri di depan cermin. Setelan jas berwarna hitam melekat sempurna di tubuh kekarnya.

"Dev tahu, Pa. Tapi, Dev takut kalau ini akan membuat hubunganku dengan Nadine semakin merenggang. Dia pasti sangat membenciku, aku memang pria tidak berguna. Mempertahankan pernikahannya sendiri saja tidak bisa." Devian menghembuskan napasnya dengan gusar. Jujur, ia tidak sanggup untuk melakukan ini.

"Papa tahu, tapi kamu harus percaya jika .... "

"Dev, ayo buruan turun. Amara sudah datang, Papa juga." Widya berjalan menghampiri putra dan suaminya.

Devian melirik ke arah ayahnya, Gunawan yang akan mengerti dengan keadaan putranya. Dengan cepat ia menganggukkan kepalanya, hal ini memang sangat menyakitkan. Namun Devian sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia telah menyerah dengan keadaan.

"Iya, Ma." Devian menghela napas, setelah itu ia berjalan keluar dari kamar dengan diikuti oleh kedua orang tuanya.

Kini Devian sudah berada di bawah, ia berdiri tepat di hadapan Amara. Ia teringat akan masa di mana dulu bertunangan dengan Nadine. Dan sekarang ia akan bertunangan dengan wanita yang sama sekali tidak dicintainya. Amara memang cantik, tapi sayang rasa cintanya hanya untuk Nadine. Wanita yang telah mampu membuat Devian bangkit dari keterpurukannya.

"Nadine, maafkan aku. Aku memang suami yang tidak berguna. Aku pria yang tidak memiliki perasaan." Devian memejamkan matanya sejenak.

Acara telah dimulai, entah kenapa perasaan Devian tidak tenang. Ia merasa jika Nadine ada di tempat itu, matanya sesekali menyapu ruangan tersebut. Namun Devian sama sekali tidak menangkap sosok istrinya. Acara demi acara telah berlangsung, dan sekarang waktunya Devian dan Amara bertukar cincin. Dengan senyum mengembang Amara meraih tangan besar Devian, lalu melingkarkan cincin di jari manis pria di hadapannya.

Setelah itu, giliran Devian. Pria beralis tebal itu kembali memejamkan matanya. Ia benar-benar tidak sanggup melakukan itu, tapi keadaan yang telah memaksanya. Perlahan Devian meraih tangan Amara, dengan sedikit gemetar Devian melingkarkan cincin tersebut. Namun belum sempat ia memasang cincin itu. Suara dari luar ruangan terdengar begitu jelas. Alhasil pertunangan itu terhenti, semua orang menoleh ke arah sumber suara tersebut.