webnovel

Pemuda Yang Hilang Ingatan

Seorang perawat wanita terperangah saat menatap ke arah salah satu ruangan. Seakan tak menyangka, ia segera berlari mendekati seorang pemuda yang terbaring di sana.

"Dia sudah sadar!" teriaknya mengarah ke meja perawat yang ada di ujung lorong.

Mereka terlihat takjub dan segera menghubungi dokter yang bertanggung jawab akan pasien itu.

"Tenanglah, saya akan coba memeriksa keadaanmu," ujar gadis berseragam putih dengan stetoskop tergantung di lehernya. Dengan penuh cekatan, ia memeriksa detak jantung, tensi darah dan keadaan mata pasien.

"Aku di mana?" tanya pemuda dengan wajah bingung. Tatapannya terlihat melemah sembari meringis kesakitan.

"Kamu berada di rumah sakit. Apa kepalamu terasa sakit?" tanya perawat itu kembali.

"Yah, terasa berat dan pandanganku kabur," jelasnya yang kembali memejamkan mata.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Dokter Leo yang segera memeriksa kembali keadaan pemuda itu. Raut wajahnya terlihat tegang, namun seketika berubah menjadi tenang dengan bibir yang tersenyum. Matanya menatap tajam ke arah seorang pemuda yang kini masih terpejam menahan rasa sakit.

"Baiklah! Saya akan menyuntikkan obat penghilang rasa sakit segera," jelasnya sebelum menusukkan jarum suntik ke arah botol infus yang terhubung ke lengan pemuda berambut hitam legam itu.

"Beristirahatlah dulu, akan ada perawat Lita yang menemani anda di sini," ungkap Dokter Leo sembari membelai lembut punggung pemuda itu. Lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan.

"Temani pemuda itu, jika sesuatu terjadi hubungi saya kembali."

"Baik, Dok," jawab tegas perawat Lita diikuti anggukan. Ia kembali menuju ruangan, sedangkan perawat lain melangkah keluar mengikuti Dokter Leo.

Perlahan rasa sakit di kepalanya memudar, diikuti keringat yang mengalir deras hingga membasahi seluruh tubuhnya. Merasa tak tenang dan sangat bingung, pemuda itu segera memaksakan diri untuk duduk.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Lita dengan wajah cemas.

"Mengapa aku di sini?" tanya pemuda itu dengan penuh rasa penasaran. Wajahnya terlihat bodoh dengan mulut yang terus menganga.

"Kamu ditemukan terkapar di jalan, seseorang menghubungi rumah sakit dan ambulans membawamu ke sini," jelas Lita dengan senyuman ramah.

"Aw!" jerit pemuda itu sembari memegang erat kepalanya.

"Ada apa? Apa kau merasa sakit lagi?" tanya Lita yang segera menyentuh kepala pemuda itu, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Namun, wajah Lita terlihat kaget dengan mata yang membulat. Mulutnya menganga, namun segera ia tutup.

"Aku tidak mengingat siapa diriku," jelas pemuda itu sambil merunduk karena tak kuasa menahan sakit di kepalanya.

"Berbaringlah! Saya akan meminta Dokter Leo untuk memeriksamu kembali," jelas Lita yang kemudian melangkah cepat meninggalkan ruangan.

Pemuda itu hanya bisa terbaring sambil terus memejamkan matanya. Ia berusaha keras mengingat sesuatu, namun hanya bayangan hitam yang terlihat. Bingung, sedih, takut, semua rasa itu menguasai hatinya. Membuat tubuhnya bergetar kuat dengan keringat yang membanjiri.

"Tenangkan dirimu, jangan memaksakan diri sendiri!" pinta Dokter Leo yang kini telah hadir bersama Lita.

"Dok, sepertinya ia kehilangan ingatannya dan ia memaksakan diri untuk mengingat," jelas Lita.

"Kamu baru saja tersadar setelah tiga puluh jam lamanya. Tolong jangan memaksakan diri, kami akan membantu untuk mengembalikan ingatanmu," jelas Dokter Leo.

Permintaannya dituruti, pemuda itu kini lebih tenang dengan dada yang terus bergerak cepat naik turun. Ia menangis dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Lita bingung dan terus menatap ke arahnya.

"Kamu hanya akan menyiksa diri jika terus memaksa, ada banyak cara yang bisa kami lakukan untuk membantumu. Hanya saja ... semua itu butuh waktu, bergantung pada kesehatan fisik dan psikismu sendiri," jelas Dokter Leo.

"Terima kasih," ungkap pemuda itu masih dengan menutup matanya.

Lita terlihat berlari mengikuti Dokter Leo, wajahnya terlihat shok dan dengan penuh rasa penasaran bertanya, "Dok, mengapa ia terlihat bersedih, namun tanpa ekspresi sama sekali?"

"Itu hal yang wajar, mungkin sebahagian memorinya masih tersisa. Tetapi masih tertumpuk di bawah alam sadarnya. Kamu hanya perlu terus berada di sisinya, itu jauh lebih membantu perkembangannya," jelas Dokter Leo sembari menepuk lembut punggung kanan Lita.

Lita mengangguk setuju dan kembali melangkah lambat menuju ruangan pemuda itu. Sepertinya ia tengah berpikir keras, terlihat jelas dari wajahnya yang menekuk sepanjang jalan menuju ruangan.

"Bukannya ia memiliki tanda, tapi mengapa ia hanya hilang ingatan sebahagian? Apa Dokter Leo tidak tahu kalau pemuda itu bagian dari mereka? Tidak, tidak mungkin Dokter Leo tidak tahu. Aku yakin ... Dokter Leo tau dan justru itu memintaku menemani pemuda itu. Yah, pasti telah terjadi sistem baru dari permainan mereka," gumamnya sambil terus menggigiti kuku tangan. Begitulah sikap Lita jika berada dalam kondisi tak nyaman atau gelisah.

"Suster ... apa suster tau gimana keadaanku saat tiba di sini?" tanyanya dengan nada terbata-bata.

Lita hanya bisa menghela napas berat lalu tersenyum menghampiri pemuda itu di ranjangnya.

"Semua barang-barang milik kamu masih tersimpan di loker. Seperti kaus dan celana yang kemarin kamu pakai. Untuk sementara ... kamu beristirahatlah. Mulai besok akan dilakukan beberapa terapi untuk membantu mengembalikan ingatan kamu," jelas Lita dengan tatapan kosong ke sisi lain.

"Apa tidak ada seorang pun yang datang mengunjungiku? Atau mungkin yang mengenaliku?" tanya pemuda itu kembali sembari menatap penuh harap. Namun sayang, jawaban yang ia terima tak sesuai keinginannya. Terlihat Lita menatap sendu ke arahnya diiringin gelengan kepala.

"Aku bahkan enggak ingat hal apa yang terakhir kali aku lakukan. Meskipun aku berusaha mengingatnya. Hanya sakit kepala yang berdenyut, yang aku rasa," ungkapnya diikuti penyesalan dan wajah kebimbangan.

Lita hanya bisa menatap penuh iba ke arahnya, air mata yang terus mengalir dari kedua sudut matanya memaksa Lita menyeka dengan jari lentiknya.

"Aku tidak tahu, kenapa aku terus ingin menangis. Aku tidak merasakan apapun saat ini, kecuali bingung dan jutaan tanda tanya," ucap pemuda itu seraya tersenyum tipis menatap Lita.

"Saya mengerti apa yang kamu rasa. Terkadang ... ada rasa yang masih tersimpan di memori alam bawah sadar kita, namun ingatan tak mau meraihnya. Seperti masa lalu yang buruk dan kejadian sulit yang menyiksa kita."

"Apakah ingatanku bisa kembali utuh? Bagaimana dengan barang-barangku, apa ada yang menunjukkan siapa aku?" tanyanya kembali dengan secercah harapan.

Lita mengangguk dan berkata, "Ruri, itu nama kamu. Di sana ada KTP yang berisi foto, nama dan alamat kamu. Hanya itu yang kami tau."

Pemuda itu masih saja menunjukkan wajah kecewa. Meski ia tahu akan data dirinya, namun tak serta merta membuatnya tahu apa yang telah terjadi.

"Sebaiknya kamu duduk di taman dan melihat banyak tanaman hijau. Itu baik untuk terapi ingatanmu. Menghirup udara segar dan berbincang dengan pasien lainnya, mungkin bisa kamu lakukan selama di sini agar kamu tidak merasa sendiri," jelas Lita yang kemudian membantu Ruri melangkah keluar ruangan menatap taman dengan kursi roda.

Ruri terlihat lesu dengan kulit memucat. Matanya sayup dengan bibir membiru. Tubuhnya tinggi, namun terlalu kurus hingga tulang dadanya membentuk. Duduk dengan pandangan kosong ke arah taman. Jauh dibalik sebuah pohon tinggi bagian utara taman, ada seorang pria yang terus memperhatikan ke arah Ruri. Matanya tak berkedip dan terus bersembunyi seakan tak ingin diketahui keberadaannya.