webnovel

JANGAN KATAKAN TIDAK

1. CONGRATULATION

Klik. Chat masuk.

Rafi mendelik. Sedikit melotot.

    "Rafi ga mau menikah ibu." Agak gemetar tangan Rafi.

    "Kenapa?" Ibunya masih saja bertanya, padahal mata Rafi sudah mulai basah.

    "Jangan tanya kenapa, jangan hari ini." Bela Rafi.

    "Pokoknya selamanya Rafi tidak ingin menikah." Tegasnya.

Hand Phone tak lagi di tangan Rafi. Sudah pindah ke tengah tempat tidur. Rafi tak kuat lagi menjawab chat ibunya. Ia ingin tidur saja.

Memaksakan tidur saat suasana hati tak nyaman, ternyata susah. Sudah setengah jam Rafi  berusaha memejamkan mata, tapi tak berhasil. Ia kembali bangun. Tengok kanan, tengok kiri. Kamar kos yang berukuran 2,5 x 2,5 meter memang tidak begitu menyulitkannya untuk menyusuri seluruh ruangan. Ia mencari siapa tahu ada sesuatu yang dapat ia kerjakan. Obat dari hati yang galau salah satunya adalah kesibukan. Rafi harus mengerjakan sesuatu agar melupakan suasana hatinya.

    " Ya ya ya. Laptop." Rafi bergumam sendiri. Ia mencari Laptop kesayangannya.

Rafi segera membuka laptopnya, tak lupa ia sambungkan pada Wifi kontrakan. Lumayan untuk mengirit biaya data. Benar saja, sebentar kemudian Rafi sudah asyik menonton tayangan panggung artis korea pujaannya di You Tube. Lay EXO. Rafi tak lagi ingat debar hatinya. Ia tersenyum-senyum melihat aksi Lay yang begitu memikat.

Klik. Lagi-lagi suara chat masuk. Posisi HP masih di tengah tempat tidur. Rafi yang berjarak 1 meter dari HP spontan menengok. Memperhatikan HP yang menyala. Walau masih malas, Rafi beranjak juga mengambil HPnya. Ia khawatir ada info penting yang harus dibaca.

Perlahan ia buka WA, chat dari Neva, sahabatnya.

    "Rafi, ayo buka WhatsApp grup angkatan, dah ada pengumuman!"

Chat dari Neva membuatnya menghentikan sementara konser musik Korea yang sedang ia tonton di laptopnya. Tampannya wajah Lay  tak mampu lagi membuat mata Rafi setia memandangnya, tangan kanannya dengan kejam memijit tombol pause.  Matanya kembali konsent pada Hp,  Ia buka WA grup angkatan, yang sudah sejak kemarin berulang kali ia buka dan tutup, untuk mengecek informasi dari kampusnya. Hati Rafi berdebar. Betapa tidak, ujian kompetensi terakhir yang ia lalui sebulan lalu sangat menguras konsentrasi. Keringat bercucuran saat mengerjakan soal. Ia merasa sedikit kesulitan. Ia ragu hasilnya nanti akan bagus atau tidak, ia lulus atau tidak. Rafi mengusap matanya, ia ingin memastikan namanya ada di antara nama‐nama yang tertulis di lembar pengumuman. Jantungnya serasa berhenti berdetak, saat pandangannya terhenti pada satu nama.

Rafi tertegun. Kembali memastikan pandangannya. Ia tidak salah.  Itu betul-betul  informasi kelulusan. Linangan air mata perlahan mulai membaurkan pandangannya.

    "Aku lulus! Aku lulus!" teriak Rafi dalam hati. "terima kasih ya Allah... Aku lulus!" Rafi dengan jelas melihat namanya... Rafi Ananda Fitria, dengan keterangan

lulus. Alhamdulillah, tiada kalimat terindah selain puji syukur ke hadirat Allah.

HP masih di tangan, chat di WhatsApp grup sahabat mulai berdatangan. Neva, Cindi, Ralin, Melina, Osi, Wiwit semua ramai saling memberi selamat. Tapi sepertinya dialog bernada bahagia terhenti sesaat, chat Ralin membuat semua sedikit berpikir.

    "Setelah lulus, kita mau berbuat apa coba?" tanya Ralin pada semua sahabat.

    "Iya ya, apa coba?" tambah Cindi.

    "Status kita ga lagi mahasiswa, kita punya titel, tapi berstatus pengangguran," kata Osi.

    "Hmm.... " Melina cuma bisa menuliskan itu.

    "Ah kamu Mel, bisanya cuma hmm, apa coba... ada ide?" Rafi berkomentar.

    "Udah deh, kita seneng‐seneng dulu saja, yang serius kayak begitu mah nanti lagi kita pikirkan." Wiwit dengan logat sundanya mengajukan gagasan.

Semua setuju, maka percakapan pun berlanjut dengan rencana mereka ketemuan, makan‐makan, merayakan kelulusan mereka semua.

Tiga hari setelah pengumuman kelulusan, Rafi mulai berkemas. Ia mulai membereskan barang‐barang di kamar kosnya. Kamar kosan dua minggu lagi habis kontrak. Ia akan pulang ke rumah, biarlah bila sesekali ada urusan yang mengharuskan untuk datang ke kampusnya di Bandung, mendadak saja pulang pergi dari kampung halamannya. Kebetulan jarak kotanya, Cikampek dengan Bandung memang tidak terlalu jauh, perjalanan menggunakan travel hanya kurang lebih 1,5 jam. Besok orang tua Rafi akan menjemput. Rafi memang tidak memungkinkan pulang menggunakan kendaraan umum, karena barang yang harus ia bawa lumayan banyak. Untung ibu dan bapaknya sedang tidak ada urusan yang menyita waktu untuk hari Sabtu besok.

Sabtu, jam 9.00 pagi, Rafi dan ibu bapaknya sudah sibuk mengangkut barang‐barang yang akan dibawa pulang.

    "Masih ada Teh?" Rafi yang sedang menyimpan tasnya ke dalam mobil, menengok ke arah ibunya, pertanyaan Ibu Nita membuat Rafi berpikir sebentar, mengingat‐ingat barangkali masih ada barang tersisa yang belum diambil.

    "Sepertinya sudah habis Bu," jawab Rafi.

    "Coba cek lagi, pastikan tidak ada yang tertinggal," pinta Ibu Nita. Ia berusaha tidak menunjukkan rasa penasaran di hatinya atas percakapan dengan anaknya ini beberapa hari lalu. Ia harus sabar menghadapi anak gadisnya ini. Bu Nita yakin suatu saat nanti Rafi akan bercerita dengan sendirinya, tentang alasan kenapa ia tak mau menikah.

Rafi kembali ke kamar kosnya. Ia pastikan ulang, siapa tahu ada barang yang tertinggal.

    "Sudah Bu, kamarnya sudah kosong."

Mobil avanza biru yang dikendarai Bapak Rafi pun perlahan melaju. Rafi kembali memandang tempat kosnya. Ada sesuatu yang terasa berat di hatinya. Satu tahun lalu Rafi datang ke sini, bersama orang tuanya, untuk mencari tempat kos. Ia harus mengikuti program profesi dari kampusnya yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Hasan Sadikin. Kebetulan ada kamar kos yang kosong, maka ia pun menyewa salah satu kamar kos di tempat ini, sewa selama satu tahun. Saat itu belum terpikir bahwa ia akan melewati hari ini, meninggalkan tempat kos, dengan membawa kebahagiaan karena ia sudah lulus. Yang terpikir saat itu adalah sebuah pertanyaan, apakah ia akan sanggup melewati hari demi hari di kota ini dengan baik.

Info yang Rafi terima dari kakak tingkat cukup membuat detak jantung berpacu lebih cepat. Belum lagi bila kebagian jaga malam, selain harus kuat menahan serangan kantuk, juga harus ekstra konsentrasi. Pasien rawat inap dengan jumlah lebih dari 20 orang, kadang hanya ditangani dua orang perawat, Rafi dan temannya. Kemudian, karena ini rumah sakit di ibu kota provinsi, pasien rawat inap di sini bukan pasien dengan keluhan sakit yang ringan, kebanyakan pasien adalah rujukan dari rumah sakit daerah, yang mengalami sakit yang lumayan parah sehingga harus dikirim ke rumah sakit ini. Jadi mendampingi dan merawat mereka adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap ringan, ini tanggung jawab yang sangat besar. Mobil Avanza biru yang dikendarai Bapaknya Rafi terus melaju, meninggalkan tempat kos Rafi, meninggalkan kenangan yang tak akan pernah Rafi lupakan. Mereka berencana langsung pulang ke rumah, tidak mampir ke mana‐ mana dulu.

Jalan sedikit macet, pukul 13.00 baru sampai rumah. Barang‐barang di mobil dibiarkan dulu, tidak langsung dipindah ke kamar Rafi.

    "Nanti saja agak sore beres‐beresnya," Pak Yana, Bapak Rafi menginstruksi.

Rafi menuju kamarnya. Dia segera berganti baju, shalat, dan tidur, nanti sore dia mau bantu bapaknya membereskan barang‐barang.

Sabtu ketiga sejak Rafi pulang ke rumah. Rafi mulai sedikit merenung. Kegiatannya selama ini hanya diam di kamar, nonton film Korea, tidur berlama‐lama, atau chat di grup WA para sahabat. Kejenuhan mulai ia rasakan. Sahabat‐

sahabatnya pun ternyata merasakan hal serupa. Menjadi pengangguran itu tidak enak.

    "Ayo dong, kita mau bagaimana ini?" itu kata Neva tadi. Sudah sepuluh menit berlalu, pertanyaan Neva belum ada yang menanggapi. Chat kosong, rupanya semua bingung belum punya gambaran apa‐apa.

Rafi menyimpan HP‐nya. Ia akan shalat Isya dulu, supaya nanti tinggal tidur bila kantuk mulai datang. Selesai shalat ia coba buka HP lagi, siapa tahu ada tanggapan dari pertanyaan Neva tadi. Blank. Chat grup masih tetap kosong. Belum ada ide apa pun dari sahabat‐sahabatnya. Rafi mulai berpikir, ia coba buka‐buka informasi lowongan kerja, mudah‐mudahan ada yang pas untuknya. Tapi rata‐rata lowongan kerja yang ada meminta syarat STR. Surat Tanda Registrasi. Rafi seorang lulusan S‐1 keperawatan. Karena ia baru lulus maka ia belum punya STR. Proses pembuatan STR sampai selesai biasanya agak lama.

Pagi hari saat Rafi selesai mandi, telepon berdering, Osi menelepon.

    "Fi, sudah baca chat di grup kita belum?" tanya Osi

    "Belum. Kenapa?" Rafi penasaran

    "Kita coba melamar kerja yuk!" Osi bersemangat

    "Kerja apa?" Rafi makin penasaran.

    "Kamu baca dulu di grup ya. Nanti langsung jawab," pinta Osi.

Rafi segera membuka dialog sahabat‐sahabatnya di grup. Dan benar saja, sudah ada 50 chat yang belum ia baca. Rupanya teman‐temannya melanjutkan diskusi sampai tengah malam tadi, saat Rafi sudah terlelap.

    "Ayo, aku ikutan. Kapan kita kirim lamaran?" Rafi mulai bersemangat.

Ralin bercerita di grup bahwa ia punya kakak tingkat, namanya Meyda, Ralin biasa memanggil Kak Mey. Kak Mey selisih 2 tahun di atas angkatan Ralin dan kawan‐kawan. Ia sudah bekerja di tempat yang namanya Klinika, Klinik Perawatan Luka Diabetes. Informasi dari Kak Mey, Klinika membuka lowongan kerja, dan tidak perlu punya STR dulu, baru lulus sarjana keperawatan seperti Rafi dan kawan‐kawan pun bisa. Maka ketujuh sahabat itupun sepakat untuk menyiapkan berkas lamaran kerja, ups! Melamar kerja! Sepertinya seru! Ini pengalaman pertama bagi mereka semua.

2. TES

. Dengan arahan dari Kak Mey, Rafi dan kawan‐kawan mulai menyiapkan berkas lamaran kerja, percakapan tadi pagi langsung mereka sikapi. Sore hari mereka sepakat untuk mengirimkan lamaran lewat online, prosedurnya memang harus begitu, harus mengirim lamaran dulu lewat online. Malam harinya mereka menerima informasi bahwa besok mereka harus datang ke Bekasi, ke kantor pusat Klinika untuk seleksi administrasi dan wawancara.

Senin pagi, Rafi janji bertemu Osi di pintu tol Kopo Purwakarta, Osi, Cindi, Neva dan Wiwit berangkat dari Bandung, menggunakan mobil Osi. Mereka akan keluar di pintu tol Sadang Purwakarta, menjemput Rafi di Kopo, lalu menuju Bekasi. Ralin langsung dari Garut, dia sedang di rumah kakaknya di Garut. Melina berangkat dari Jakarta, kebetulan Melina sudah berada di rumah orang tuanya di Jakarta. Semua harus sampai di lokasi seleksi jam 9 pagi.

Kebetulan jalan tidak macet parah, sehingga mereka bisa datang sebelum waktu yang ditentukan. Di lokasi, panitia seleksi sudah datang terlebih dahulu. Hati Rafi dan kawan‐ kawan berdebar, tak seorangpun punya pengalaman tentang seleksi masuk kerja seperti ini. Jadi mereka tidak punya gambaran sama sekali, nanti harus menjawab apa, atau harus melakukan strategi seperti apa. Semua polos, betul‐betul seadanya. Namun, tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya, mereka tadinya mengira panitia seleksi yang

hanya dua orang itu akan memanggil mereka satu demi satu, untuk wawancara. Selain seleksi berkas yang mereka bawa tentunya. Tapi kali ini tidak. Panitia seleksi memanggil mereka bersama‐sama. Duduk bersama dalam satu ruangan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salah seorang dari panitia membuka percakapan, di saku bajunya terpampang nama 'Tito'.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," Rafi dan kawan‐kawan menjawab.

"Berkas dari kalian sudah kami lihat, kalian semua satu kampus rupanya ya?" tanya Pak Tito

    "Iya Pa." Kompak Rafi dan kawan‐kawan menjawab.

    "Berkas sudah kami cek semua, dan akan kami bawa ke kantor pusat, untuk kami 

      laporkan pada pimpinan kami," jelas Pak Tito.

Tempat Rafi dan kawan‐kawan seleksi ternyata bukan kantor pusat Klinika, itu hanya tempat yang sengaja disewa untuk keperluan seleksi.

    "Sebenarnya berkas yang diperlukan sudah lengkap, kalian tinggal mengisi surat kesepakatan yang akan kami bagikan sekarang, silakan Bu Indi," Pak Tito menjelaskan, Bu Indi yang sejak tadi duduk mendengarkan mulai membagikan surat kesepakatan yang tadi Pak Tito jelaskan.

Ketujuh sahabat mulai membaca isi kesepakatan. Mereka diberi kesempatan memahami dan memutuskan dalam satu jam. Rafi dan kawan‐kawan pun mulai menelepon  orang tua masing‐masing, berkonsultasi, siapa tahu ada pertimbangan lain dari orang tua mereka. Benar saja, izin dari orang tua tidak semuanya mudah. Lima dari tujuh orang sudah diizinkan oleh orang tua masing‐masing. Tapi dua orang, Neva dan Osi diminta untuk menunda dulu oleh orang tuanya. Niat awal Rafi dan kawan‐kawan tadinya memang hanya mencoba melamar kerja, mencari pengalaman. Mereka tidak menyangka bahwa semua akan langsung diterima, dengan syarat mengisi surat kesepakatan yang isinya cukup mengikat. Salah satu isi kesepakatannya adalah mereka diminta untuk komitmen bekerja minimal dua tahun. Mereka akan menerima gaji sebesar Rp 3.000.000,00 per bulan, kenaikan gaji akan diberlakukan setiap satu semester, itupun dengan prosentase yang kecil. Setelah dua tahun bekerja, bila tetap bertahan maka akan diangkat sebagai pegawai tetap. Bila akan keluar maka diperbolehkan, dan tidak dikenakan sangsi apa‐apa. Namun, bila sebelum dua tahun mengundurkan diri, dengan alasan apa pun, maka mereka harus kena finalty, membayar dengan nominal yang sudah disepakati.

Lima menit sebelum batas waktu yang diberikan, Rafi dan kawan‐kawan masih belum bisa memutuskan. Tadinya mereka ingin, persahabatan mereka tetap utuh, tetap kompak, termasuk dalam menentukan keputusan tentang pekerjaan. Bila mereka bekerja di klinik, maka diusahakan semua bekerja di klinik. Bila semua memutuskan untuk menjadi perawat di rumah sakit, maka semua berusaha untuk menjadi perawat di rumah sakit. Tapi ternyata tidak bisa begitu, orang tua mereka punya pertimbangan lain.

    "Ayo, kalian masuk saja, biarin kita berdua ga ikutan, kalau soal kekompakan sih, kita masih tetap bisa ko. misal diwaktu‐waktu tertentu kita janjian ketemuan di Bandung,

main bareng. Bisa kan?" Itu kata Osi. Neva mengangguk pasti. Maka dengan sangat berat hati, Rafi, Ralin, Melina, Wiwit, dan Cindi masuk ruangan. Osi dan Neva menunggu di luar ruangan, mereka tidak berani membantah permintaan orang tua masing‐masing. Rafi, Melina, Wiwit, Ralin, dan Cindi diterima bekerja, sebagai perawat di klinik. Mereka harus menjalani training dulu, yang akan dilaksanakan selama 3 bulan di Bekasi. Training dimulai minggu depan. Selama training mereka tetap digaji, hanya gajinya belum full 100%. Selain itu, setelah training selesai mereka mendapat 3 pasang pakaian seragam yang harus mereka kenakan nanti saat bertugas. Dan mereka akan menerima penempatan di klinik cabang yang sudah tersebar di tujuh daerah, diusahakan lokasi penempatan nanti dekat dengan lokasi mereka tinggal. Setelah Rafi dan kawan‐kawan mengerti aturan‐aturan yang harus mereka pahami, mereka pun pamit pulang. Bersiap‐siap untuk menjalani training minggu depan.

3. LIKU-LIKU, SERU.

Waktu demikian cepat berlalu. Tak terasa 3 hari lagi pelaksanaan training dimulai. Rafi sudah berkemas, ia hanya membawa baju beberapa saja. Pikirnya, Bekasi itu dekat, palling hanya 1,5 jam dari rumahnya, ia bisa pulang bila ada keperluan. Karena besok sudah hari Sabtu, maka ia harus segera ke Bekasi, bapak dan ibunya siap mengantar.

Training memang baru akan dimulai hari Senin, tapi Rafi tetap harus berangkat hari Sabtu, karena ia dan ibunya berencana akan mencari tempat kos dulu, Rafi khawatir bila berangkat ke Bekasinya hari minggu, tempat kos susah didapat, tidak ada kesempatan lagi untuk mencari, karena besoknya training dimulai. Berangkat sabtu adalah pertimbangan terbaik, karena bila kebetulan tidak langsung menemukan tempat kos yang cocok, masih ada kesempatan hari Minggu untuk mencari lagi.

Seperti yang diperkirakan, 1 jam kurang sedikit mereka sudah sampai Bekasi, hanya untuk mencari lokasi kantornya perlu muter‐muter sedikit. Pak Yana kurang hapal kalau daerah Bekasi. Dulu Pak Yana kuliah di Bandung. Jadi kalau mencari alamat di daerah Bandung Pak Yana pasti tahu. Tapi kalau mencari alamat di daerah Bekasi, mesti sering bertanya pada orang‐orang yang bisa ditemui di pinggir jalan.

    "Pakai Google Maps saja ya, Pak?" Rafi menawarkan pilihan pada bapaknya. Padahal mobil sudah berhenti, Pak Yana sudah siap bertanya pada orang yang kebetulan ada di pinggir jalan.

    "O gitu? Iya boleh." Pak Yana menyetujui.

Mobil pun melaju kembali, dipandu oleh operator Google Maps. Selang 15 menit kemudian, mereka sampai di tempat tujuan.

Terpampang jelas nama 'Klinik Medika', di papan nama pinggir jalan, ukuran papan nama lumayan besar. Kemudian di bawahnya ada papan nama 'Klinik Perawatan Luka Klinika' di sebelahnya ada juga papan nama 'Apotek Farma'. Juga papan nama 'Optik Yasmin'. Pak Yana memparkir mobil, lalu menyempatkan memfoto sebentar plang nama klinik. Siapa tahu besok lusa memerlukan foto ini, itu pikir Pak Yana. Rafi dan ibunya segera turun, melihat sekeliling. Banyak gang‐ gang kecil di sekitar klinik. Maka Ibu Nita berinisiatif untuk mulai mencari tempat kos.

    "Ditinggal dulu ya Pak, mau mencoba cari kosan dulu," pamit Ibu Nita pada suaminya.

Rafi dan ibunya mulai mencoba masuk gang, bertanya pada orang‐orang yang kebetulan bertemu.

    "Di sini penuh Bu, coba di gang melati, di sana ada rumah warna hijau, rumah Pak

     Dahlan, pemilik kos. Kamar kosannya lumayan banyak," Jelas seseorang yang ditanya oleh Ibu Nita.

Sesuai petunjuk, rumah warna hijau. Kebetulan pemiliknya ada di halaman rumah. Pak Dahlan mempersilakan masuk, mengajak melihat‐lihat kamar kos yang kosong. Ada dua kamar yang masih kosong, di depan dan di pojok paling belakang.

Ibu Nita dan Rafi merasa cocok dengan kamar yang depan.

    "Nanti kamar yang belakang buat Cindi saja Bu, Cindi minta dicarikan juga kamar

     kos, dia mau berangkat besok katanya ke Bekasinya," Rafi menjelaskan pada ibunya.

    "O gitu, ya sudah, kamar depan sudah cocok Teh?" Ibu Nita minta kepastian dari Rafi.

   "Iya Bu, boleh," Rafi menyetujui.

Mereka pun langsung membayar untuk satu bulan ke depan. Baju‐baju dan sedikit barang‐barang yang sudah sempat Rafi bawa langsung di bereskan. Rafi langsung menginap, supaya bisa belajar beradaptasi dulu dengan lingkungan kosnya, sebelum training dimulai.

Malam itu Rafi kembali mencoba menikmati indahnya menjadi anak kos. Ia sebenarnya masih merasa bosan menjadi anak kos, tapi apa mau dikata, tidak ada pilihan lain. Tidak mungkin ia pulang pergi dari rumahnya di Cikampek menuju Bekasi, karena yang tertera di jadwal yang ia terima training dimulai jam 7 pagi. Sehari dua hari memang masih memungkinkan bila ia berangkat setelah subuh dari rumahnya, tapi bila itu dilakukan tiap hari, alangkah melelahkannya. Jadi pilihan terbaik memang kos.

Cindi datang, dia diantar bapaknya. Seperti Rafi, Cindi juga hanya sedikit membawa barang‐barang. Rafi memberitahu bahwa kamar yang masih kosong ada di belakang. Cindi menyempatkan melihat kamar itu, tapi ia merasa kurang cocok. Posisi kamar terlalu pojok, dia sedikit merasa takut.

    "Aku tinggal di kamar ini saja ya Fi, sekamar bareng kamu," Cindi memohon.

    "Nanti kita cari lagi kosan yang kamarnya agak luas. Supaya cukup leluasa untuk

     berdua," Cindi mulai merajuk.

    "Iya boleh," jawaban Rafi menenangkan Cindi.

Beberapa menit kemudian, tanpa dikira, ada teman Cindi menelepon, mengabarkan akan datang. Namanya Vira. Vira tidak satu kampus dengan Rafi, dia satu daerah dengan Cindi. Dia juga akan mengikuti training yang sama dengan Rafi dan 4 sahabatnya. Hadirnya Vira menjadi masalah kecil untuk Rafi, karena Vira juga memohon diizinkan untuk sekamar dengan Rafi dan Cindi. Rafi bukan tipe wanita yang bisa tenang melihat kesusahan orang lain. Ia selalu berusaha membantu sebatas yang ia mampu. Maka permintaan Vira pun tak bisa ia tolak. Tapi Rafi tetap bicara pada ibunya lewat chat WA, menceritakan tentang Cindi dan Vira yang ingin sekamar dengannya.

    "Bagaimana sih, kan ibu pilihkan kamar kos itu buat kamu, sengaja dipilih yang

     kamar depan, supaya kamunya nyaman, selama training kamunya bisa istirahat

     dengan tenang bila sudah sampai kosan, ini malah jadi bertiga, mana kamarnya

     kecil. Bagaimana kamu bisa istirahat coba?" ibu Nita protes. Rafi menunggu sebentar, tidak langsung membalas chat ibunya. Ia tahu ibunya sedang merasa kesal.

    "Iya Bu, tapi insyaallah ga akan lama ko Bu, paling cuma sebulan di sini. Bulan

     depan nanti kita akan mencari lagi kosan yang lebih baik, mudah‐mudahan dapat

     lebih dari satu kamar." Rafi mengirim chat balasan beberapa menit kemudian.

    "Terus nanti tidurnya bagaimana? Bertiga begitu cukup ga?" tanya ibu Nita lagi.

    "Insyaallah cukup Bu, Cindi dan Vira badannya kurus‐ kurus ko, jauh lebih kurus dari

     Rafi," jelas Rafi lagi.

    "Ya sudah terserah kamu saja, tapi berusaha dinikmati saja ya teh, jangan banyak

     mengeluh, supaya pengorbanan kamunya tidak sia‐sia. Mudah‐mudahan bernilai

     ibadah," kata Bu Nita akhirnya.

    "Iya Bu, Aamiin..." jawab Rafi.

Kamar berukuran 3 meter x 3 meter itupun dihuni tiga anak gadis, Rafi, Cindi, dan Vira. Mereka berusaha menikmati kebersamaan mereka, terutama Rafi. Mereka menghadapi beberapa masalah sebenarnya, misal soal tidur yang sedikit tidak nyaman. Juga ruangan yang tidak rapi, karena penuh dengan barang‐barang bawaan masing‐masing. Lalu kamar mandi yang harus antre bergantian, belum panasnya udara Kota Bekasi yang memang membuat badan harus sering disiram air, harus sering mandi. Tapi semua dapat dilalui dengan baik. Banyaknya kendala tidak membuat Rafi berkeluh kesah, itu memang sudah dipesankan oleh ibunya. Rafi berusaha bersyukur, karena di kosan barunya, ia ditemani Cindi, dan mendapat saudara baru, Vira.

Saatnya training. Mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Dengan jadwal kegiatan yang padat. Sangat melelahkan. Materi training lebih bersifat teoritis, mulai dari pengetahuan tentang luka, sampai pada cara‐cara perawatan luka. Banyak pengetahuan baru yang Rafi peroleh, yang tidak ia peroleh waktu di bangku kuliah lalu. Jadi walaupun secara fisik kegiatan training ini melelahkan. Rafi tetap bersyukur karena

ilmunya bertambah. Bisa jadi Rafi tidak akan memperoleh ilmu seperti ini bila ia tidak mengikuti training ini. Selain itu, ada beberapa hal lain yang Rafi kagumi dalam kegiatan training ini. Pimpinan pusat Klinika, Pak Hanafi namanya, Ia seorang yang nampak begitu baik, santun, ramah. Pak Hanafi sudah berusia lebih dari 50 tahun. Pak Hanafi bersama satu rekannya merintis membangun Klinika sejak 7 tahun lalu, dan sampai sekarang mereka sudah memiliki 17 cabang Klinika yang tersebar di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka akan terus mengembangkan Klinika. Bahkan sampai ke luar Jawa. Targetnya sampai 70 cabang untuk seluruh Indonesia.

Bakat bisnis Pak Hanafi dan rekannya memang luar biasa. Dalam 7 tahun sudah bisa mengembangkan sampai 17 cabang, berarti dalam satu tahun Pak Hanafi berhasil membuka 2 sampai 3 cabang Klinika. Prestasi yang patut dibanggakan. Rafi sudah bisa memperkirakan, jumlah nominal yang Pak Hanafi hasilkan dalam setiap bulannya tidaklah sedikit.

Keberhasilan yang diraih Pak Hanafi begitu memotivasi peserta training yang semuanya berjumlah 22 orang.

    "Saya sama seperti adik‐adik semua, lulusan S‐1 Keperawatan." Begitu Pak Hanafi menjelaskan pada suatu kesempatan.

    "Tapi saya melanjutkan kuliah saya, saya berikutnya kuliah di S‐2, tapi tidak mengambil jurusan keperawatan lagi. Saya masuk manajemen keperawatan," jelas Pak Hanafi lagi.

Alasan Pak Hanafi mengambil jurusan manajemen keperawatan adalah karena ia tidak ingin hanya jadi pegawai yang bekerja sebagai perawat, ia ingin mempunyai sesuatu, saat itu Pak Hanafi belum memiliki ide tentang Klinika. Ia hanya ingin punya sesuatu, sejenis klinik begitu, dan ia yang memanagemen klinik yang ia punya. Ia tidak ingin menjadi seseorang yang mencari lowongan kerja. Tapi ia ingin menjadi seseorang yang menciptakan lapangan kerja. Penjelasan Pak Hanafi membuat semua peserta training tersipu malu, betapa tidak, semua peserta training kali ini adalah para pencari kerja, bukan yang menciptakan lapangan kerja.

Selama 3 bulan training, materi training kebanyakan disampaikan oleh Pak Hanafi. Hanya satu atau dua materi saja yang disampaikan oleh pemateri yang lain. Rafi tak bisa menutupi kekagumannya pada sosok Pak Hanafi. Bagi Rafi, Pak Hanafi adalah guru pembimbing yang sangat hebat. Kadang satu hari penuh, pembawa materi dalam training hanya Pak Hanafi seorang. Tapi energinya memang luar biasa. Dari pagi menyampaikan materi, selang istirahat sebentar, kemudian menyampaikan materi lagi, demikian terus sampai sore. Tak pernah terlihat kesan lelah sedikit pun di wajah Pak Hanafi, wajahnya selalu terlihat ceria, bicaranya selalu bersemangat, tak henti‐henti Pak Hanafi memotivasi peserta training untuk berusaha tulus mengerjakan apa pun, Pak Hanafi adalah motivator yang hebat. Rafi tak kuasa untuk menyimpan kekagumannya sendirian. Ia selalu menyempatkan untuk mengabari ibunya, bercerita hal‐hal istimewa yang ia alami selama training.

    "Bu, Rafi punya guru yang luar biasa di sini. Pak Hanafi namanya, pemilik Klinika." Rafi bercerita pada ibunya kemarin malam.

"Pak Hanafi adalah guru luar biasa kedua bagi Rafi, setelah Mbah." Rafi menyambung cerita pada ibunya.

     "Luar biasa sekali rupanya ya Teh, sampai menjadi orang kedua setelah Mbah." Ibu Nita menanggapi cerita Rafi. Mbah yang dimaksud Rafi adalah ayahnya ibu Nita, kakek Rafi. Ayahnya ibu Nita seorang pensiunan guru SMP. Dulu mengajar mata pelajaran bahasa Inggris. Saat itu ibu Nita punya tempat les, dan ayahnya ibu Nita ingin ikut mengajar di tempat lesnya ibu Nita. Rafi juga ikut belajar di tempat les ibunya. Kekaguman Rafi muncul ketika pertama kali belajar, bersama‐sama anak les lain. Saat itu yang mengajar adalah mbahnya. Usia mbahnya saat itu sudah hampir 70 tahun, tapi semangat mengajarnya tak kalah oleh guru‐guru muda. Bahkan baru kali itu Rafi menemukan guru yang semangat mengajarnya membara seperti itu. Suaranya menggelegar, jelas, tegas. Waktu tak terasa lama kalau sudah belajar dengan mbahnya.

    "Iya Bu, dari pagi sampai sore memberi materi, ga ada lelah sama sekali. kita yang

     mendengarkan dan menyimak saja lumayan merasa cape, tapi Pak Hanafi

     semangat terus, tak pernah cape. Seperti Mbah, Bu." Rafi membandingkan Pak Hanafi dengan mbahnya. Ibu Nita bersyukur, anaknya dipertemukan dengan guru dan pembimbing luar biasa seperti Pak Hanafi,

    "semoga Engkau senantiasa memberi anakku kemudahan dalam segala sesuatunya

     ya Allah." doa ibu Nita dalam hati.

Tak terasa training sudah berjalan 1 bulan. Bulan kedua, Rafi, Cindi dan Vira pindah kamar kos, Rafi satu kamar sendirian, Cindi dan Vira satu kamar berdua. Meski sudah

berbeda kamar kos, mereka tetap berusaha kompak dalam segala sesuatu. Setelah dua bulan training, dalam satu bulan terakhir, para peserta training harus tinggal di rumah yang sudah disediakan, tidak boleh kos masing‐masing lagi. Jadwal kegiatan training bukan sampai sore lagi, tapi sampai malam. Rafi dan semua peserta training tinggal di rumah yang lokasinya kurang lebih berjarak 100 meter dari gedung tempat training. Rumahnya cukup besar, dengan 5 kamar tidur, dan sudah tersedia beberapa tempat tidur, cukup untuk semua peserta. Di rumah tersebut juga ada asisten rumah tangga, yang siap dimintai bantuan seperti memasak, cuci pakaian, dan sejenisnya. Untuk sebulan ke depan, walaupun tiap hari Sabtu dan Minggu tidak ada kegiatan training, semua peserta training tidak boleh pulang. Berbeda dengan dua bulan sebelumnya yang membolehkan untuk pulang di hari Sabtu dan Minggu. pengisian daftar hadir tetap ada. Selain itu, ada tugas‐tugas yang harus diselesaikan, lalu dikumpulkan hari Senin pagi.

Karena tidak pulang, maka untuk mengisi kegiatan hari Sabtu dan Minggu, para peserta training berinisiatif membuat acara yang bersifat hiburan. Kadang mereka main ke pertokoan terdekat, belanja. Kadang mereka jalan kaki di seputar tempat mereka tinggal sekarang, sekadar olahraga ringan. Kadang juga mereka masak bareng‐bareng. Rafi dan kawan‐kawan kali ini berencana akan masak bareng. Masak nasi liwet. Mereka membagi tugas. Sebagian berbelanja bahan‐bahan. Sebagian memasak nasi liwet. Sebagian memasak menu pelengkap, ada goreng udang, ada goreng tempe dan tahu, ada goreng ikan asin, ada sayur tumis kangkung. Tidak lupa sambel dan lalapnya. Rafi ikut membantu menggoreng tahu dan tempe. Teman yang lain ada juga yang menyiapkan tempat makan barengnya nanti. Kursi‐kursi di ruang tamu ditata ulang, digeser kesatu sisi, supaya ada tempat yang cukup luas untuk berkumpul makan bareng. Setelah semua makanan matang, dan siap dihidangkan, semua diminta berkumpul di ruang tamu.

    "Ayo‐ayo... kumpul... makanan sudah siap," teriak Wiwit. Kurang dari sepuluh menit semua sudah berkumpul di ruang tamu. Mereka gembira, semua sudah siap menyerbu makanan yang sudah tersedia. Rafi tersenyum, baru kali ini dia melihat cara menyajikan makanan yang sedikit aneh. Semua duduk di lantai, mengelilingi dua pelepah daun pisang yang dibiarkan memanjang, sambung menyambung. Nasi liwet ditumpahkan di daun pisang, banyaknya diusahakan rata dari ujung ke ujung, Sepanjang daun pisang. Menu pelengkap disimpan di atas nasi dan khusus sambal disimpan di  mangkuk  kecil,  yang  suka  sambal  bisa  mengambil seperlunya.

    "Sebentar, jangan dimulai dulu," pinta salah seorang dari mereka. Semua memperhatikan, hening.

    "Kita foto dulu ya?" tanya Wiwit.

    "O iya ya. Kita foto dulu, sebentar kita pakai kerudung dulu." Rafi dan sebagian teman‐temannya izin menggunakan kerudung dulu, semula mereka tidak pakai kerudung. Kalau di rumah mereka memang tidak pakai kerudung, karena penghuni rumah anak perempuan semua. Setelah semua siap, merekapun berpose, jeprat‐jepret mengabadikan kebersamaan mereka. Rafi tidak lupa menyempatkan mengirim foto yang ada ke ibunya.

    "Rafi lagi makan bareng Bu, ramai." Ia kirimkan beberapa foto pada ibunya.

    "Sipp. Yang seneng ya Teh, yang banyak makannya," ibunya mengomentari.

Doa dimulai, dan setelah itu, semua langsung menyantap makanan yang sudah tersedia. Semua begitu merasa nikmat, padahal menunya sederhana. Tidak ada goreng ayam atau hidangan daging sapi. Tapi semua makan dengan lahap, Rafi juga makan agak banyak, padahal biasanya ia kalau makan sedikit. Kiranya itulah indahnya kebersamaan, sederhana tapi membahagiakan.

Menjalani rutinitas yang begitu bervariasi, membuat waktu terasa begitu cepat berlalu. Besok hari terakhir training, Rafi dan 21 teman peserta training akan menerima keputusan besok, mereka akan mengetahui selanjutnya akan ditempatkan di daerah mana. Jam 7 pagi para peserta training sudah berkumpul di ruangan seperti biasanya. Mereka menunggu para pembimbing datang. Biasanya acara dimulai pukul 07.30. Jadi masih ada waktu 30 menit untuk mereka menyiapkan segala sesuatunya.

Selang beberapa menit kemudian, suara seseorang memecah kesunyian.

    "Para pembimbing kita ke mana ya?" tanya salah seorang peserta training.

Beberapa peserta melihat jam di dinding ruangan, betul saja, sekarang sudah pukul 07.45 tapi para pembimbing belum terlihat seorangpun. Tidak biasanya seperti ini. Para pembimbing training begitu menegaskan tentang pentingnya 'tepat waktu'. Dalam setiap materi training yang disampaikan, nasihat tentang begitu pentingnya menjaga tepat waktu selalu ada.

    "Bila kalian lalai menjaga ini, maka akan berakibat fatal." Itu kata pembimbing beberapa waktu lalu.

    "Pasien kalian harus lama menunggu kalian, bila kalian terlambat datang ke klinik

     kalian. Mereka mungkin akan bersabar bila hanya satu atau dua kali menunggu.

     Tapi lama‐ lama mereka akan mengeluh, dan akhirnya mereka pun tidak mau lagi

     datang ke klinik kalian." Pembimbing memberi gambaran.

    "Tidak hanya sampai di situ. Bisa jadi kabar dari mulut ke mulut akan tersebar,

     bahwa klinik kalian lambat dalam penanganan pasien, perawatnya sering datang

     terlambat," ujar pembimbing lagi, memberi contoh bahwa menjaga tepat waktu itu sangat perlu.

Tapi kali ini, para pembimbing yang terlambat datang, kenapa? para peserta tak ada yang tahu alasannya.

    "Hei, coba lihat ke lantai dasar, para pembimbing sudah datang, tapi mereka

     berpakaian agak berbeda dari biasanya." Salah seorang peserta training yang kebetulan sedang keluar ruangan tak sengaja memperhatikan keadaan di lantai dasar. Ruangan tempat para peserta berkumpul memang terletak di lantai 3. Bila seseorang berdiri di halaman ruangan lantai 3, ia dapat dengan jelas melihat ke lantai dasar gedung.

Beberapa peserta training keluar ruangan, melihat ke lantai dasar. Ada tiga pembimbing yang terlihat hilir mudik, dengan pakaian resmi seperti biasanya. Dua orang diantaranya memakai celemek, sejenis kain penutup bagian depan badan, biasanya digunakan oleh para ibu bila sedang memasak di dapur. Tujuannya supaya tidak ada noda terkena pakaian saat melakukan kegiatan di dapur. Rafi dan kawan‐ kawan tak mengerti apa yang sedang dilakukan para pembimbing mereka. Akhirnya para peserta training masuk ke dalam ruangan lagi, mereka sabar menunggu. Kali ini tidak bertanya‐tanya lagi kenapa para pembimbing belum datang juga. Mereka sudah tahu pembimbing mereka sudah hadir, hanya belum masuk ke dalam ruangan.

Dua jam menunggu tidak membuat para peserta training bosan, mereka menyadari bahwa pertemuan mereka kali ini adalah hari terakhir training. Setelah ini mereka akan kembali ke daerah, mengabdikan ilmu yang mereka miliki di Klinika cabang daerah. Tempat penempatan mereka masing‐masing. Saat‐saat terakhir ini mereka gunakan untuk saling berbagi cerita, juga berbagi alamat rumah, siapa tahu besok lusa ada keperluan. No. HP sudah tercatat semua di grup, informasi‐ informasi selanjutnya akan mereka dapatkan di WA grup.

Tiba‐tiba semua menghentikan kegiatan, hening. Salah seorang pembimbing datang ke ruangan, Bu Nana namanya.

    "Selamat pagi semua," sapa Bu Nana.

    "Selamat pagi Bu," Rafi dan kawan‐kawan serempak menjawab.

    "Mohon maaf membuat kalian lama menunggu," ujar Bu Nana lagi.

    "Iya Bu, tidak apa‐apa," jawab para peserta training.

    "Sekarang kalian semua diminta datang ke ruangan yang ada di lantai dasar dulu. 

     Sekarang ya!" tegas Bu Nana.

    "Iya Bu, siap!" semua kompak menjawab.

Rafi dan semua peserta training menuju tangga, berjalan menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Hati mereka cukup berdebar, ada apa gerangan?

Di salah satu pintu masuk ruangan yang berada di lantai dasar, 4 orang pembimbing sudah berdiri, dua orang berdiri di sebelah kiri, dua orang di sebelah kanan. Para pembimbing tersenyum menyambut semua peserta training. Rafi dan kawan‐kawan dipersilahkan memasuki ruangan. Di ruangan sudah tertata meja panjang, dengan kursi‐kursi yang tersusun rapi. Ada hal lain yang menarik perhatian para peserta training, di atas meja panjang sudah tersaji makanan lengkap, nasi, dan lauk pauk, lengkap dengan sambal dan lalapan. Kerupuk tak ketinggalan. Semua tak mengerti, ini ada apa?

    "Silakan semuanya duduk dulu," kata Pak Hanafi.

    "Pada hari ini, kami sengaja menyiapkan ini semua untuk kalian. Semua kami yang

     masak loh!" Pak Hanafi menjelaskan. Para peserta training tersenyum, saling memandang, mereka sedikit tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Yang tersaji di atas meja bukan makanan yang sedikit, ini semua para pembimbing mereka yang masak, wow! Betapa hebatnya.

    "Kapan mulai masaknya Pak? sebanyak ini?" salah seorang peserta tak kuasa menahan pertanyaan.

    "Kami mulai masak setelah subuh tadi," jawab Pak Hanafi lagi.

Semua peserta training tak mampu lagi menutupi kekaguman mereka. Para pembimbing mereka memasak dari pagi tadi, untuk mereka semua, sungguh suatu kejutan yang luar biasa.

    "Semua kami lakukan, agar kalian tahu, bahwa kami menyayangi kalian semua. Kami

     ingin sekali‐kali membuat kalian merasakan, bahwa dilayani dengan setulus hati itu

     membahagiakan. Besok lusa kalian akan melayani para pasien kalian. Layani para

     pasien kalian dengan setulus hati, agar mereka bahagia, walaupun sebenarnya

     mereka sedang sakit." Itu pesan Pak Hanafi. Pesan moral yang begitu meresap di hati para peserta training, sesaat sebelum mereka semua bergembira, menyantap makanan yang tersaji di atas meja.

Setelah acara makan‐makan selesai, semua peserta dipersilahkan bersiap‐siap untuk pulang, karena kegiatan training sudah berakhir. Pengumuman tentang penempatan kerja akan di share di grup satu jam mendatang. Jadi dalam perjalanan pulang menuju rumah masing‐masing nanti, para peserta training sudah dapat melihat, mereka ditempatkan di mana.

    "Ditempatkan di mana teh?" Ibu Nita tak bisa menahan rasa penasaran, ia langsung menanyakan itu saat Rafi masuk mobil, sesaat sebelum mobil melaju menuju pulang.

    "Belum bu. Satu jam lagi baru diumumkan penempatannya." Rafi menjelaskan.

Avanza biru mulai bergerak, menyusuri jalan yang kebetulan lengang. Sebentar-sebentar mata Rafi melirik ke HP. Walau tahu belum ada satu jam, tetap saja penasaran, siapa tahu pengumuman sudah ada. Satu jam rasanya lama sekali bila digunakan untuk menunggu.