webnovel

Pertemuan di Hotel

Setelah menghabiskan satu minggu dengan tenang, Mia hampir lupa bahwa kita perlu bersiap menghadapi badai setelah langit yang tenang.

"Tunggu, kamu punya waktu untuk minum teh bersama?" Julian bertanya pada Mia dengan senyum tipis di bibirnya yang elegan dan lembut.

Dia baru saja menandatangani kontrak dengan Berlian dan telah menyetujui gambar desain untuk gedung konsernya.

Mia menunjuk ke gambar desain di tangannya, mengedikkan bahu dan berkata dengan pasrah, "Sepertinya saya tidak bisa."

Ketika melihatnya, Julian menunjukkan wajah sedih, lalu bertanya dengan senyum lembut, "Sebenarnya, saya ada konser amal kecil besok lusa. Saya ingin tahu apakah kamu mau jadi pendamping wanita saya nanti."

"Saya?" Mia sedikit terkejut. "Kamu seharusnya tidak kekurangan teman wanita, 'kan."

"Aku ingin pendamping wanita yang tidak akan memberiku masalah…." Julian terkekeh.

Ketika Mia mendengarnya, dia langsung mengerti apa yang dia maksud. Julian ingin Mia datang untuk membuatnya menjadi tameng. "Kalau teman saya yang meminta, sepertinya saya tidak bisa menolak."

Julian tersenyum. Penampilan alaminya sendiri sudah lembut dan tampan. Senyuman ini mampu membuat orang lain tiba-tiba merasa ada angin sejuk yang lewat. "Aku belum lama ini kembali ke Indonesia. Tidak mudah untuk menemukan pasangan wanita sementara." Suaranya terdengar agak pasrah.

Mia dapat mengerti bahwa untuk orang-orang seperti Julian, kebanyakan wanita hanya akan terpana olehnya…. Bagaimanapun juga, kabar sudah tersebar bahwa ayahnya bermaksud untuk menyerahkan tahta keluarga Subagyo kepada Julian.

"Saya merasa sangat terhormat. Tidak mudah mendapatkan kesempatan seperti ini. Saya merasa spesial." Mia mengerjapkan matanya dua kali dan tersenyum. "Kau sudah punya nomor telepon saya, jadi saya akan menghubungi Anda secara khusus mulai sekarang…."

"Kamu pasti sibuk!" Julian mengangguk dan tersenyum penuh empati. "Nanti saya telepon kembali."

Mia tersenyum dan mengangguk, lalu pergi dengan sedikit merasa menyesal….

Julian menoleh dan melihat gambar Mia di meja. Senyuman di sudut mulutnya semakin dalam, dan pandangannya pun berubah termenung. Dia tidak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama, jadi tentu saja dia tidak akan tergoda untuk memikirkannya pada pandangan pertama.

Hanya saja gadis bernama Mia ini….

Dengan agak tersentak, Julian menoleh kembali dan berbalik untuk pergi. Pada saat dia meninggalkan kantor departemen desain, matanya melayang ke arah Mia lagi. Dia sepertinya tidak memiliki teringat akan kenangan masa kecil mereka sama sekali!

Julian pergi dengan termenung, tapi ada senyuman yang manis di bibirnya. Atau mungkin dia sadar, saat itu merupakan awal yang baru.

Gadis pemberani, aku senang bertemu denganmu lagi beberapa tahun kemudian.

Mia telah sibuk seharian, dan akhirnya menyelesaikan gambar desain sebelumnya yang perlu diperbaiki. Karena dia terlalu sibuk ke sana ke mari, dia duduk di toilet dan beristirahat sejenak.

"Eh, sudah dengar belum?" sebuah suara misterius datang dari luar, "Soal Mia dari Departemen Desain?"

"Kenapa? A belum mendengar apa-apa…."

Suara wanita lain berkata dengan semangat, "Kabarnya sudah tersebar dalam dua hari terakhir. Aku dengar dia tidak pandang bulu dalam menerima proyek desain."

"Waktu itu aku mendengar Lily mengatakannya, tapi aku tidak percaya. Ternyata itu benar…."

"Sudah kubilang kemarin. Kau tidak percaya…" suara lain menambahkan, "Pakaian yang dia kenakan agak familiar bagiku sebelumnya. Saat itu luarannya jatuh ke lantai. Aku mengambilnya dan melihat labelnya. Awalnya aku tidak berpikir apa-apa. Siapa sangka, aku melihatnya di majalah kemarin. Itu pakaian berkelas yang harus dipesan khusus. Katanya merek itu hanya dipesan oleh orang kaya dan berkuasa di seluruh dunia. "

"Yang benar?!"

"Itu tidak palsu, 'kan?"

"Kalaupun palsu, yang ditiru juga barang mewah ternama. Siapa yang mau meniru barang mewah yang terlihat sederhana begitu?"

"Benar juga..."

"Hei, apa menurutmu Mia diasuh oleh orang kaya? Atau malah mungkin juga dia tidur dengan klien-klien itu sebagai imbalan atas pekerjaannya. Dan dia juga punya nama."

"Menurutku apapun itu, sama saja…. Perusahaan Konstruksi Berlian adalah perusahaan kelas dua atau tiga, kasarnya. Memangnya siapa Julian Subagyo dan Wira Adhinata? Kenapa mereka bisa melirik Berlian? Apalagi, rancangan proyek mereka dibuat oleh Mia…."

"Huh, biasanya yang terlihat polos dan suci itu menyimpan sesuatu."

Mia mendengarkan pembicaraan di luar, dan bibirnya membentuk senyum dingin…. Toilet selalu menjadi tempat bergosip yang banyak dipilih, tetapi juga menjadi yang paling mudah ditemukan.

Setelah mengguyur toilet, Mia keluar dengan tak acuh, lalu menghampiri wastafel untuk mencuci tangannya. Ketiga wanita itu sama-sama menampakkan wajah membeku. Mia perlahan menyeka tangannya dengan tisu dan membuangnya ke tempat sampah.

Mia menoleh dan melihat ketiga wanita itu. Dua di antaranya bekerja di Departemen Administrasi dan satu dari Departemen Humas. "Ini saran saya saja, tapi kalau kalian mau membicarakan orang lain ke depannya, kalian sebaiknya periksa dulu apakah ada yang akan mendengarnya atau tidak." Dia berkata dengan acuh tak acuh, "Banyak yang niat awalnya bergunjing adalah untuk menghilangkan kecemburuan, kalau ada yang tidak senang, masalahnya akan memburuk…. Kalian bertiga, ya?"

Tiga orang itu tertangkap basah oleh orang yang mereka gunjingkan, yang menjadi agak memalukan.

"Lanjutkan… saya tidak akan mengganggu." Mia tersenyum santai, lalu berbalik untuk pergi dengan tenang.

"Apa-apaan tadi itu…."

"Itu namanya orang gila—tidak takut bermain api!"

Sebuah suara samar merambat keluar dari kamar mandi, dan raut wajah Mia berubah dingin….

Beberapa orang memang suka merundung orang lain untuk bersenang-senang. Orang seperti itu, tidak peduli seberapa kerasnya kita bekerja dan bersikap ramah, tidak dapat membuat mereka merasa nyaman dengan kita.

Memangnya Mia peduli?

Bagaimana mungkin tidak…. Tapi memangnya apa yang bisa dia lakukan? Kita tidak bisa menutup mulut orang lain.

Nada dering ponselnya memecah pikiran Mia. Dia mengeluarkan ponsel itu dari sakunya dan melihat nomor yang tidak tersimpan. Angka akhirnya adalah 3719…. Melihat nomor akhir ini, Mia tiba-tiba mengutuk di dalam hati.

Angka ini adalah angka terakhir dari nomor ponselnya yang dulu, 3719. Mia pernah memberitahu Wira bahwa nomor ini mewakili cinta yang sama!

Tertegun di tempat, tangan Mia mulai bergetar tak terkendali.

Ponselnya terus dan terus berdering, seolah enggan menyerah sebelum Mia mengangkatnya….

Pada akhirnya, Mia hanya bisa menjawabnya dengan setengah hati. Dia menarik napas dalam-dalam sambil menaruh ponselnya di telinga, lalu berkata dengan profesional, "Halo, dengan Mia Sastradiredja, dengan siapa saya bicara?"

Ujung lain panggilan itu hening, dan kemudian terdengar suara pelan, "Wira…." Setelah jeda sebentar, dia melanjutkan, "Jam tujuh malam, aku tunggu di Hotel Fantastica."

Mia segera mengerutkan dahinya. "Tidak akan!"

"Aku hanya punya waktu malam ini, kalau kamu mau membuat rancangannya…" terdengar suara Wira yang dingin.

Mia menarik napas dalam-dalam sekali lagi. "Kita tidak harus bertemu di hotel."

Ujung lain panggilan kembali terdiam, dan kemudian suara Wira yang mengejek dengan dingin pun terdengar, "Mia, pikiranmu ini benar-benar kotor."

"..." Mia membeku di tempat.

"Kalau aku tidak salah ingat, ada restoran, kafe, dan restoran di atap gedung Fantastica…" kata Wira dengan dingin. "Atau kamu terbiasa diajak laki-laki ke hotel hanya untuk membuka kamar?"

Mia langsung mengepalkan tangannya, dan diam-diam mengertakkan giginya karena ejekan dalam kata-kata Wira. "Kalau begitu, apakah Pak Wira berencana untuk bertemu di restoran atau kedai kopi, atau restoran di atap?"

Wira tersenyum, tapi senyum itu terasa agak menjengkelkan ketika dirambatkan ke telinga Mia melalui gelombang nirkabel. "Di kamar 3719. Kamu minta saja kartu kamarnya di meja resepsionis."

Pada awalnya Mia tertegun, kemudian tersentak dan berteriak di telepon, "Bajingan kamu, Wira!"