webnovel

Pangeran yang Sedih

Petra sudah pergi pagi-pagi. Rumah di Taman Dewata selalu menjadi tempat dirinya kembali hanya ketika dia ingin mencari Mia untuk kebutuhan fisiknya.

Tentu saja, dia bisa datang dan pergi dengan bebas, sebagai suami Mia. Dia hanya perlu sabar menunggu celah waktu dari Grup Kaisar, tapi dia tidak boleh mengeluh.

Namun, setelah keluarganya jatuh dua tahun yang lalu, Mia sekarang tidak punya tempat tujuan…. Kenapa dia tidak bisa tinggal di rumah keluarganya?

"Kak Mia, kakimu sudah lebih baik?" Fira masuk dan melihat Mia sedang mengoleskan minyak safflower, lalu meletakkan maket bangunan dupleks di atas meja. "Ini sudah tiga hari, kenapa masih agak bengkak?"

Mia ingin berkata, awalnya itu sedikit terpelatuk, tapi kemudian tergerak lebih parah…. Ini pasti akan membekas.

"Pihak sana puas dengan konsep desain kita?" Mia bertanya setelah melihat informasinya dan mencuci tangan.

"Ya," jawab Fira. "Pihak sana sangat menyukai gaya sederhana ini, tetapi mereka meminta tempat untuk piano di ruang tamu…."

Mia melihat ke maket rumah itu dan mengangguk, lalu bertanya, "Katakan. Berapa banyak yang akan menghuni rumahnya?"

"Sepertinya hanya satu…" kata Fira.

Mia tidak heran. Ada banyak selebriti di Jakarta, dan bahkan lebih banyak lagi yang banyak bepergian. Dalam banyak kejadian, rumah yang mereka rancang mungkin hanya akan dihuni selama beberapa hari sepanjang tahun.

Mia menandatangani surat persetujuan dan meminta Fira ke Departemen Teknik untuk memasukkan berkas tersebut, dan kemudian melihat Sely dan Andini kembali dari luar.

Melihat kedua orang itu tampak lesu, Mia menduga ada beberapa masalah mengenai aula konser yang masih belum pasti….

"Ah, memang tidak mudah untuk membuat desain sekarang ini. Seperti anak kecil, tidak bisa apa-apa!" Sely menghela napas dengan tertekan.

Andini turut cemberut. "Ini sudah beberapa hari, dan kami bahkan belum melihat wajah Julian…." Dia tidak bisa menahan amarah ketika dia berkata, "Aku berkata bahwa biarkan kami bertanya secara langsung saja pada Julian Subagyo mengenai aulanya. Dia, sementara itu, sama sekali tidak bisa ditemui. Bagaimana kita bisa bertanya?"

Mia juga pusing saat melihat kedua orang itu sangat kesal.

"Mia, kalau kamu tidak bisa menangani keduanya, apa benar Pak Yudhi bisa gila karena malu?" Andini mengedikkan bahu dan suaranya berubah geli.

Mia terdiam sebelum berkata, "Nanti kucoba…."

Setelah menanyakan dua orang lainnya tentang situasi mereka dan mencari keberadaan Julian Subagyo dalam beberapa hari terakhir, Mia memeriksa informasi dari rapat sebelumnya dan berangkat dari kantor.

Dia tidak pergi ke rumah keluarga Subagyo di utara kota, tetapi mengemudikan mobil ke sebuah taman di barat kota. Untungnya, kaki kirinya tidak menghalanginya mengemudi.

Taman itu sangat besar. Setelah Mia bertanya kepada seseorang tentang denah tamannya, dia sedikit melemaskan kaki dan berjalan ke sebuah kolam berisi bunga-bunga lili.

Tak jauh dari sana, seorang pria dengan kemeja polo putih dan celana kasual biru laut berdiri di samping petak bunga lili dengan tangan di saku celananya. Di bawah sinar matahari, matanya sedikit disipitkan, dan rambut pendeknya berantakan dan sedikit memantulkan cahaya. Dia mengangkat tangan dengan santai untuk menghalangi pandangannya.

Mia pun berhenti, sedikit bersandar di pagar jembatan lengkung, dan menyaksikan pemandangan itu dengan tenang.

Saat angin bertiup dan mengayunkan petak-petak bunga lili itu, rambutnya berayun pelan, diselubungi sentuhan kesedihan di dalam matanya.

Julian Subagyo yang terkenal telah dielu-elukan sebagai jenius musik sejak masih kecil. Selain keterampilan pianonya, dikatakan juga dia memiliki kemampuan dalam lebih dari delapan alat musik tradisional dan asing.

Orang seperti itu ditakdirkan untuk menjadi luar biasa dalam hidupnya. Namun saat itu, Mia justru merasa dia hanya menginginkan orang yang biasa saja!

Kalau begini, Mia tidak tega mengganggu pemandangan yang indah ini…. Dia tiba-tiba berpikir bahwa semua yang dikatakan media tidak cocok untuk pria ini.

Julian merasakan seseorang menatapnya sejak lama, lalu menolehkan pandangannya ke samping, menangkap wajah Mia yang tampak bersih dan cantik di bawah sinar matahari. Sudut mulutnya seketika bergerak naik.

Mia selalu merasa bahwa Petra tampan dan tidak ada tandingannya. Tapi melihat senyum Julian saat ini, dia tiba-tiba merasa dirinya dulu terlalu dangkal.

Dengan berusaha keras untuk agar langkahnya tidak terlihat terlalu aneh, Mia mengulurkan tangannya dengan ramah. "Halo, saya Mia dari Departemen Desain Perusahaan Konstruksi Berlian."

Julian mengerutkan dahi tanpa melihatnya. "Tentang desain aula konser itu?"

Mia mengangguk. "Kalau Pak Subagyo tidak keberatan, saya boleh minta waktunya untuk mengobrol?" Sembari mengatakannya, kaki Mia perlahan bergerak-gerak.

Julian adalah orang yang peka. "Kakimu terluka?"

"Hanya habis sakit, tapi sudah tidak apa-apa."

"Oh?" ucap Julian dengan ringan. "Saya kira kamu sengaja menunjukkannya pada saya agar saya kasihan, lalu kamu bisa berkesempatan melobi saya."

Mulut Mia berkedut, dan dia mengeluh di dalam hati, 'Memangnya kau ini belum pernah dengar kalau laki-laki seharusnya menunjukkan ketampanan dan kecerdasan? Lucu sekali!'

"Jadi, apakah Pak Subagyo bersedia?"

Senyuman Julian di sudut mulutnya tetap sama, tapi matanya tanpa sadar memandang ke arah rambut panjang Mia yang tersibak oleh angin. Tampak bekas luka gelap muncul di belakang telinga Mia. Sebersit kekagetan berkilat di matanya.

"Saya ini pria sejati…." Julian tersenyum lembut di bawah terik matahari; rasanya seperti ada angin musim semi yang berhembus ke arah orang yang memandangnya.

Ketika disindir seperti itu, Mia hanya merasa telapak kakinya mendingin. Dia memandang Julian dengan hati-hati.

"Saya pernah mempelajari psikologi sebelumnya…." Julian memulai, kali ini bahkan matanya ikut tersenyum.

Tepat pada saat itu, Mia bingung bagaimana harus menanggapi selain tersenyum.

Mia paling tidak suka pada orang-orang yang mahir dalam psikologi. Hanya ini pemikiran yang ada di benak Mia setelah berinter dengan Julian. Karena, orang seperti itu bisa melihat isi pikiran kita melalui gerakan-gerakan kecil dan pandangan mata kita.

Mia mengedikkan bahunya dan bertanya tanpa rasa percaya diri yang dimilikinya sebelumnya, "Pak, boleh tolong ditanggapi?" Dia melanjutkan dengan getir, "Sungguh, saya merasa seperti orang kebingungan di depan Bapak."

"Bisakah kita berteman?" Julian merasa orang di hadapannya itu sangat manis. Wanita itu jelas menyimpan banyak perasaan di hatinya, tapi dia menunjukkan ekspresi yang berbeda.

Orang-orang seperti itu takut disakiti, atau lebuh tepatnya, menolak untuk disakiti!

"Senang bisa berteman dengan Pak Subagyo!" Mia mengedikkan bahu.

"Julian…."

"Ya?" Selama beberapa saat, Mia tidak bereaksi.

Julian tersenyum dan berkata, "Karena kamu teman saya, kamu tidak perlu memanggil nama keluarga saya. Panggil saja Julian. Saya boleh panggil kamu Mia, 'kan?"

Mia mengangguk dengan ramah. "Sebenarnya, saya rasa akan sulit kalau langsung seperti itu…."

"Sebagai seorang teman, saya akan memprioritaskan desainmu!"

Mia merasa pikirannya agak aneh hari ini…. Tidak, lebih tepatnya adalah, dia mendapati dirinya berada di depan Julian yang sangat cerdas. Sebenarnya, berapa IQ-nya?

Ketika kembali menanggapi, mata besar Mia berbinar. "Benarkah?"

"Tentu saja…." Suara Julian menenangkan dan menyenangkan bak suara biola: santai dan merdu.

Mia agak kecewa pada awalnya, tapi itu saat dia baru melihat awal dan belum melihat ujungnya. Tanpa disangka, dia memenangkan kesempatan proyek sekaligus mendapatkan teman baru!

Setelah berpamitan dengan Julian, Mia kembali ke kantor.

Semua orang melihat ke arah Mia segera setelah mereka mendengar Mia sudah keluar dari mobilnya.

"Kak Mia," Fira tiba-tiba menghampiri sisi Mia, menggamit lengannya dan menatapnya dengan mata berbinar. "Kakak cepat sekali mengurus masalah Julian. Kalau begini, aku yakin Kakak juga pasti bisa mendapatkan proyek dengan Kaisar."

Mia mendengarnya dan memutar matanya, lalu berkata. "Ralat: belum selesai diurus, tapi kita dapat kesempatan!" Saat mengatakannya, dia tiba-tiba memikirkan apa yang dikatakan Petra ketika pergi hari itu, memikirkan betapa benar kata-katanya….