webnovel

TERTANGKAP BASAH

Indy sudah sampai di café. Alangkah terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa ada Ira juga di sana. Wanita itu tampak membicarakan sesuatu dengan Dito.

"Hah! Untung aja aku gak langsung nyelonong," kata Indy, kemudian mengempas pelipisnya sendiri.

Indy mengintip dari kejauhan. Cukup lama ia menunggu, tapi Ira tak kunjung beranjak. Indy pun mengeluarkan kacamata serta masker yang berada di dalam tas. Tak lupa ia menggerai rambut agar menutupi sebagian wajahnya.

Wanita itu nekat duduk di kursi café yang jaraknya tidak begitu jauh dari Dito dan Ira. Indy berusaha membuka telinganya lebar-lebar, meskipun obrolan sepasang insan tersebut tak juga terdengar.

Tak sengaja sepasang mata Dito berlabuh pada Indy. Lamat-lamat dia memerhatikan sosok yang baginya tak asing itu. Beberapa detik kemudian Dito baru sadar jika perempuan tersebut adalah Indy.

"Astaga! Mau apa dia ke sini?" batin Dito.

Dito sontak kehilangan konsentrasi untuk mengobrol dengan istrinya. Pandangannya bolak balik bermukim pada Indy. Dito mendadak takut. Jangan sampai Ira sadar bahwa ada madunya di café.

"Ira. Kamu liat pengemis yang di ujung jalan itu gak?" Dito melayangkan jari telunjuknya.

Leher Ira memanjang. Detik berikutnya kepalanya terangguk.

"Kenapa, Mas?"

"Tolong kasih uang ini sama dia, ya," titah Dito seraya meraih sesuatu di dalam saku.

Ira sama sekali tidak membantah ucapan suaminya, walaupun dia harus berjalan sepanjang 100 meter di bawah teriknya mentari. Ketika Ira sudah pergi, barulah Dito bergeser posisi. Ia menemui Indy yang melambai ke arahnya.

"Indy. Kamu ngapain ke sini?" tanyanya panik. Sesekali dilihatnya Ira yang terus berjalan ke bibir jalanan.

Tak ada sahutan dari wanita berkulit putih itu. Sesuatu yang tidak disangka terjadi. Indy malah bangkit dari kursi dan menggiring Dito ke penjuru lain.

"Eh, mau ke mana?" Dito semakin heran.

"Ikut aja, Mas,"

Keduanya setengah berlari menuju gedung bagian belakang. Dito setengah mati menahan kekhawatirannya. Untung saja Ira tak melihat kejadian barusan.

"Indy. Kenapa kamu bawa Mas ke sini?" tanya Dito setelah langkah mereka berhenti.

Dito dan Indy bersembunyi di balik tembok belakang. Indy terpaksa menculik Dito untuk menyampaikan keluh kesahnya.

"Mas. Aku mau minta uang!"

"Mas baru masuk kerja tiga hari lalu, Sayang. Mas belum pegang duit,"

Mulut Indy ternganga serta kedua tangannya dilipat. Sepertinya Dito mulai lepas tanggung jawab.

"Asal kamu tahu ya, Mas. Aku tuh jadi babu di rumah orang. Aku harus jaga nenek-nenek tua sama cucunya yang bandel itu. Baru sepuluh hari kerja, tapi aku udah gak tahan, Mas. Aku stres kalau begini." Perasaan Indy menggebu-gebu. Jika bisa berteriak pasti dia sudah melakukannya.

"Mas paham, Sayang, tapi mau gimana? Mas gak bohong,"

"Berapa yang ada di saku kamu, Mas? Minta sekarang!"

Indy mengulurkan sebelah tangannya tepat di wajah Dito. Dia tak ubahnya orang yang suka meminta-minta alias pengemis.

"Cuma 50 ribu, Indy. Mas gak punya uang,"

"Hah, kenapa sedikit, Mas? Oh, jangan-jangan seluruh uang kamu udah dipegang sama Ira." Indy memicingkan sepasang matanya.

Dito tak mampu menjawab pertanyaan Indy. Sesungguhnya uang hasil café memang berada di tangan Ira. Semua itu tak lepas dari perintah Alin dan Yugi.

"Kok diam? Berarti emang bener ya, Mas?" Kekesalan Indy meningkat.

"Mas! Mas, kamu ada di belakang, ya?"

Tiba-tiba suara Ira menyapa keduanya. Dito dan Indy jadi kalang kabut, karena takut ketahuan.

"Ayo, lari!" perintah Dito.

Suara dan langkah kaki Ira terdengar dari sisi kanan café, sementara Dito dan Indy kabur dari bagian kiri. Dengan begitu Ira tak akan mendapati keduanya.

Terpaksa Indy mengurungkan niatnya untuk meminta uang pada Dito. Gegas dia pergi ke trotoar untuk mencari taksi dan pulang ke rumahnya.

"Sialan! Aku bakal terus teror kamu, Mas," batin Indy. Dia bertekad untuk mendapatkan jatahnya.

Sedangkan Dito kembali duduk di kursi café. Tak lama setelah itu Ira pun muncul dengan wajah merah padam. Ira kelelahan akibat berkeliling mencari suaminya.

"Loh, Mas? Aku kecarian kamu loh. Di sini gak ada dan di ruangan kamu juga gak ada," kata Ira.

"Maaf ya, Sayang. Mas tadi pergi ke sana buat ngasih uang ke pengemis juga," jawab Dito berdusta. Ia bersyukur, karena Ira tidak memergokinya sedang berduaan dengan Indy.

***

"Ini gaji kamu selama kerja di sini," ucap Abdi kepada pembantunya.

Genap sudah 30 hari Indy mengabdi sebagai asisten di kediaman Abdi. Sekarang sudah ada 10 juta di tangannya. Indy menatap benda itu dengan girang. Namun, semuanya setimpal dengan pekerjaan berat yang ia geluti sebulan terakhir.

"Makasih, Pak," ucap Indy membungkukkan badannya.

"Ya, sudah. Saya mau ke atas dulu,"

Hari beranjak sore dan Indy sudah bisa pulang sekarang, tapi Indy tak ingin melakukan hal tersebut. Ada sesuatu yang harus ia selesaikan di rumah Abdi.

"Mas Dito gak pernah kasih aku uang lagi. Aku harus lakuin sesuatu dan bakal putusin dia secepatnya. Untuk apa lagi? Toh, dia juga udah gak ada gunanya,"

Sesuai ucapannya, bahwa Dito tak pernah lagi memberinya jatah. Lelaki itu juga sudah mengakui bahwa uangnya berada pada kendali Ira atas perintah Alin dan Yugi. Hal itu membuat Indy kehilangan respect serta perlahan membenci Dito. Baginya, Dito hanyalah pria yang tidak tahu tanggung jawab.

Sudah lama Indy mengincar gelang yang terpatri di pergelangan tangan Windi. Dia berencana untuk mencuri benda itu, karena ini adalah hari terakhir ia bekerja. Untuk apa Indy takut? Toh, dia bakal keluar dari rumah Abdi sebentar lagi. Begitulah yang ada di pikiran Indy.

Indy menunggu saat yang tepat, bahkan ia rela menanti hingga malam menjelang. Abdi sempat bertanya kenapa Indy tidak pulang dan wanita itu menjawab bahwa ia sedang menunggu rekan untuk menjemputnya di rumah Abdi. Lelaki yang tidak tahu niat Indy tentu saja mengizinkan dan tak menaruh curiga sama sekali.

Jam sudah membidik angka sepuluh malam. Setelah keadaan rumah benar-benar sepi, karena penguhinya tertidur, maka Indy langsung beraksi.

Pertama Indy masuk ke kamar Windi yang ternyata tidak dikunci. Dilihatnya nenek tua itu memejamkan mata tanda terlelap. Indy juga memandang benda berkilauan yang berada di pergelangan tangan Windi. Tak perlu menunggu waktu lama, Indy pun berjalan mendekati ranjang.

"Aku harus cepat sebelum si tua bangka ini bangun," batin Indy.

Perlahan Indy membuka pengail gelang Windi. Setelah berhasil, Indy langsung menarik benda itu sehingga benar-benar terlepas dari pemiliknya.

"Yess berhasil!"

Indy mengepalkan kedua tangan. Saking senangnya dia sampai melompat dan getarannya terasa oleh Windi. Wanita itu spontan bangun dan betapa kagetnya ia ketika mendapati Indy berada di biliknya, terlebih saat melihat gelangnya sudah tergenggam di tangan Windi.

"Indy! Kamu ngapain?"

Siapa yang tidak terkejut ketika melihat pembantu yang tiba-tiba ada di kamar kita? Hal itu jelas dirasakan oleh Windi. Lagi pula, Windi tidak tahu jika Indy masih menetap di rumah putranya.

Sementara Indy mendadak menyesal, karena sudah melompat di kamar Windi dan menyebabkan perempuan itu bangun. Indy tidak tahu harus berbuat apa. Dia sudah tertangkap basah melepaskan gelang Windi.

"Kok diam kamu, hah? Kenapa gelangku ada di tanganmu?" Windi terus saja menyodorinya dengan pertanyaan mematikan.

"A- aku, aku-"

"Kamu mau curi gelangku, kan? Kurang ajar!"

PLAK!

Telapak tangan Windi mendarat sempurna di pipi kanan Indy.

***

Bersambung