"Ayhner…! Kau kenapa?" Bibi Elly terkejut saat membukaan pintu dan melihat Tuan mudanya berantakan, serta ada beberapa noda darah di kemeja putihnya.
Bibi Elly segera menarik Ayhner masuk dan mendudukkannya di sofa. Ayhner tersenyum melihat tingkah Bibi Elly yang memang sangat menyayanginya dari dulu.
"Duduklah, aku akan buatkan kau kopi." Bibi Elly berlalu ke dapur. Sementara Ayhner menyadarkan tubuhnya lelah. Mata hijau itu terpejam, wajahnya mendongak. Dalam dua hari saja perasaan Ayhner tiba-tiba campur aduk. Hanya gara-gara kehadiran perempuan bernama Valeri. Entah kenapa, rasa penasaran dalam dirinya tiba-tiba muncul. Menyisakan rasa penasaran yang teramat sangat.
Apalagi, semalam Ayhner dengan siaga menjaga Valeri yang tengah tertidur akibat pengaruh obat yang diminumnya. Perempuan itu terlelap dengan guratan wajah yang terlihat lelah.
Biasanya wajah gadis itu selalu segar dan terlihat ceria. Namun semua itu sudah tak tampak lagi. Dan Ayhner tahu apa yang menyebabkan wanita itu tiba-tiba hidup dalam tekanan luar biasa seperti ini.
Sebastian Halburt. Ya, nama itu benar-benar membuat darahnya mendidih. Ayah dari Valeri itu berhasil mencuri beberapa surat berharga dan barang mewah almarhum orangtua Ayhner.
Entah ada apa dengan Sebastian. Seharusnya Sebastian bisa hidup nyaman tanpa mencuri ataupun berhutang. Uang yang dibayarkan sebagai gaji oleh Ayhner benar-benar lebih dari cukup. Mengingat loyalitas yang diberikan oleh Sebastian sangatlah tinggi.
Tapi, dengan meninggalnya orangtua Ayhner, Sebastian seolah berubah menjadi lebih tertutup dan tak terduga.
Ada apa dengannya?
Sebenarnya, Ayhner tidak akan semudah itu jatuh miskin hanya karena beberapa barangnya dicuri. Tapi, Ayhner hanya lebih sakit hati dan tak terima atas perlakuan Sebastian. Pria itu membalas kebaikan keluarga Hamilton justru dengan mencuri.
Jika melihat wajah Valeri yang tertekan Ayhner akan merasa iba, tapi tidak jika mengingat wajah Sebastian. Dalam pikiran Ayhner hanya ada balas dendam akan sebuah penghianatan. Dan agar semuanya setimpal, maka Sebastian harus menerima balasannya sekaligus.
"Sial…," gerutu Ayhner kesal pada dirinya sendiri. Ayhner memijat pangkal hidungnya. Mata dan pikirannya mulai lelah karena semalamam Ayhner tidak tidur dengan baik.
"Kau sudah pulang rupanya,"
Ayhner membuka mata dan menegakkan duduknya. Ada Shelia yang tengah duduk dikursi roda dan menyapanya. Istrinya tersebut berusaha tersenyum meskipun senyum tersebut tak sampai dimatanya.
"Ya, seperti yang kau lihat. Kau sudah sarapan?" Ayhner bangkit dan berjalan mendekati Shelia. Mengecup puncak kepalanya serta bibir merah muda itu sekilas. Ayhner duduk mensejajarkan tingginya dengan Shelia. Ada rasa bersalah yang sejak semalam ia rasakan.
Pertama, Ayhner meninggalkan Shelia begitu saja saat mereka sedang bermesraan. Kedua, Ayhner justru menghabiskan waktu semalaman dengan Valeri di rumah sakit. Kemudian mengantarkan Valeri kerumah Emily. Memastikan wanita itu aman selama dalam perjalanan meskipun tak ada pembicaraan apapun diantaranya.
"Maaf…" ucap Ayhner tulus. Lelaki itu menggenggam tangan Shelia lembut dan mengecupnya berkali-kali. Shelia melihat itu justru semakin sesak. Tatapan Shelia sendu, bahkan matanya sudah berkabut.
Sejak dirinya divonis lumpuh, Shelia benar-benar kehilangan kepercayaan dirinya. Dan itu terjadi setelah beberapa bulan mereka menikah. Harusnya masa itu Shelia dan Ayhner tengah berbulan madu. Merencanakan masa depan dengan banyak anak disekitar mereka.
Tapi, itu semua hanya mimpi untuk sekarang ini. Shelia tak lagi dapat mendampingi Ayhner kemana pun. Dan parahnya, sebagai seorang istri Shelia sudah tidak bisa melayani Ayhner sepenuhnya,apalagi punya keturunan. Semua itu seolah mustahil. Shelia tahu, cepat atau lambat Ayhner pasti bosan padanya. Tapi Shelia mencoba abai akan semua itu. Berharap Ayhner akan tetap sama seperti Ayhner yang sebelumnya. Meskipun dalam lubuk hatinya, ketakutan itu sering muncul tiba-tiba di tengah malam. Dan mendapati Ayhner tak ada disampingnya.
"Kenapa, Ayhner?" lirih Shelia bergetar. Bulir bening yang sejak tadi ditahan pun luruh juga. Ayhner hanya bisa menunduk merasa bersalah.
"Aku minta maaf, seharusnya aku tak meninggalkanmu begitu saja seperti semalam. Maafkan aku, aku sungguh-sungguh."
Shelia hanya bisa terisak tanpa bisa berkata apapun. Mungkin saja Ayhner menghabiskan malam dengan perempuan lain.
"Apa kau mulai bosan denganku? Kau bosan menemaniku dirumah? Menunggu orang lumpuh sepertiku nyatanya sangat tidak menyenangkan, bukan?" lirih Shelia berkaca-kaca. Shelia sudah tak tau lagi bagaimana caranya mengeluarkan segala macam kecamuk didalam hatinya. Shelia benar-benar sudah lelah.
"Kau bicara apa? Apa aku terlihat seburuk itu?" tanya Ayhner terluka. Selama ini Ayhner berusaha membuat shelia melupakan kondisinya. Ayhner tak mau Shelia bersedih untuk kondisinya saat ini. Bahkan dirinya rela mandi air dingin tiap malam untuk membunuh rasa serakah dan egoisnya.
Ayhner tiap malam selalu ingin bersama Shelia. Menghabiskan waktu bersama, seperti impian mereka dulu. Tapi Ayhner rasanya tak sanggup melihat Shelia kesakitan. Shelia tidak bisa bergerak bebas seperti dulu. Jadi, rasanya sangat egois sekali jika Ayhner memaksakan kehendaknya pada Shelia. Meskipun Ayhner tahu Shelia tidak akan pernah menolak. Tapi Ayhner juga tahu bahwa Shelia tengah menahan kesakitan disepanjang pinggang dan kakinya.
"Aku hanya merasa, akhir-akhir ini kau seperti bosan padaku. Kau tidak pernah mau meluangkan waktu untukku," ucap Shelia sendu.
"Aku tidak bersamamu karena aku tak mau kita berdua tersiksa, dan kau tahu apa alasannya, bukan?" Ayhner sedikit kecewa dengan tuduhan Shelia.
"Kau menghabiskan waktu dengan seorang wanita, bukan?" cecar Shelia lagi. Matanya kian memanas menatap Ayhner yang terdiam di depannya. Ayhner hanya mampu menghela nafas dalam dan lelah.
Memang benar Ayhner bersama wanita lain. Tapi itu tidak seperti yang Shelia pikirkan tentangnya. Ayhner tidak seperti itu.
"Aku sudah tahu jawabannya. Tidak perlu mengatakan apapun." Shelia menarik tangannya dari genggaman Ayhner. Memutar kursi rodanya dan berniat pergi dari hadapan Ayhner. Tapi Ayhner segera menahan Shelia.
"Kau tahu apa? Memangnya apa yang kau tahu? Apa kau mengikutiku semalaman?" Pertanyaan Ayhner tersebut justru semakin membuat Shelia terluka. Bagaimana mungkin Shelia mengikuti Ayhner, sedangkan dirinya saja tak mampu berdiri sendirian.
"Kau benar, Ayhner. Aku lumpuh, aku tidak bisa mengikutimu kemana pun kau pergi." Shelia menunduk.
"Maafkan aku, aku hanya terlalu berlebihan saja hari ini. Sekali lagi aku minta maaf, Ayhner," ucap Shelia bergetar. Ayhner kemudian menghambur ke arah Shelia,dan memeluk wanita itu dengan banyak penyesalan.
"Sayang, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud berkata seperti itu. Aku hanya…aku hanya sedikit lelah saja. Maafkan aku," ucap Ayhner tulus. Shelia membalas pelukan Ayhner. Keduanya berpelukan dalam diam, saling mengoreksi kesalahan masing-masing.
"Aku ada satu permintaan lagi, Shelia. Aku harap kau mengabulkan untukku."
Shelia mengurai pelukan itu dan menatap Ayhner serius.
"Ada apa? Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Shelia was-was.
"Bolehkah aku membawa Valeri tinggal disini?"
IG : meipratiwi912