webnovel

Istri Kecil Presdir

Keluarga Grissham memiliki 2 penerus. Hanya saja, lahir dari wanita yang berbeda. Gavin Grissham, penerus pertama dan tentu saja dari Istri pertama, seharusnya menjadi kebanggaan. Namun semua itu hanyalah sebuah mimpi. Davin Grissham terlahir tidak sempurna sehingga hanya tubuhnya saja yang berkembang pesat tapi otaknya memiliki IQ rendah dan membuat Gavin bersikap seperti anak yang berumur 5 tahun. Siapa yang sudi menikah dengan pria tidak normal? Sedangkan, menikah adalah syarat utama dari Tuan Grissham untuk mendapatkan hak waris. Guinnevere, Putri angkat Tuan Grissham harus menelan kepahitan itu karena dipaksa menggantikan Agatha menikah dengan Tuan muda Gavin. Bisakah Guin menerima Tuan muda Gavin?

Sabrina_Angelitta · 若者
レビュー数が足りません
304 Chs

26. Semalam???

"Ba--bagaimana? Ak--aku juga tidak tahu," ucap Guin berulang.

"Bagaimana ini?"

"Gavin tenang dulu, ya. Aku mikir dulu," melihat Gavin yang panik, Guin juga ikut kebingungan.

Gavin menyentuh tangan Guin, mengarahkan tangan Guin untuk menyentuh miliknya.

"Coba sentuh sama Guin. Siapa tahu normal lagi," bujuk Gavin.

"Kyaaaaaaaa.… Ta--tapi..." gugupnya semakin menjadi.

Guin memejamkan matanya, menghindari pandangannya supaya tidak melihat milik Gavin yang seperti menagih.

Guin menyentuh milik Gavin. Rayuan Gavin merasuk tanpa bisa ditolak. Mimik wajah Gavin yang membuat Guin tidak bisa menolak.

Rasanya begitu lembut ketika tangan itu menyentuh milih Gavin. Rasa lembut itu berubah.

Mata Guin terbelalak. Semakin lama, semakin mengeras. Guin tidak berani bergerak. Dia membuka matanya, melihat mata Gavin yang terpejam, seperti tengah menikmati sesuatu.

Gavin menggigit bibirnya. Menahan sesuatu supaya tidak lepas landas dari tenggorokannya.

Guin mendekat, melumat bibir Gavin dengan mata yang terpejam. Menikmati kekenyalan bibir Gavin.

Ciumannya semakin dalam, ketika Gavin membalasnya. Tangan Gavin mulai menjalar, melepaskan tali gaun malam yang Guin pakai. Menyibakkan ya ke bawah, membuat dada Guin yang padat menjadi terbuka.

Tangan Guin tidak lepas dari kejantanan Gavin. Guin tersadar ketika tangan Gavin menyentuh tangannya. Menuntunnya untuk bergerak maju dan mundur.

"Kyaaaaaaa!" teriak Guin.

Drap... Drap... Drap...

Gavin tersenyum memandang Guin yang berlari masuk ke dalam kamar mandi. Gavin memandang telapak tangannya yang baru saja menyentuh dada Guin.

"Rasanya kenyal. Jantungku hampir saja meledak. Untung saja Guin lari, kalau tidak, aku pasti akan menjadi binatang buas," gumam Gavin.

Tidak selang lama, Guin kembali ke ranjang. Gavin tidak ingin membuat kecanggungan diantara mereka. Gavin memilih untuk berpura-pura memejamkan matanya.

"Sudah tidur, ya? Untung saja sudah tidur. Duhhhhhh... Malunya," gumam Guin lirih.

Guin bersiap terbaring disamping Gavin. Gavin memeluk pinggang Guin dengan erat.

Deg... Deg... Deg...

Jantung Guin berdebar, bersahutan dengan suara debaran jnatung Gavin.

'Oh, dia pura-pura tidur,' batin Guin.

Guin berbalik. Memeluk Gavin, membenamkan wajahnya di dada bidang Gavin.

"Awhhhhhh!" teriak Gavin.

Guin menahan tawanya karena Gavin berteriak. Sikap usil Guin membuat Gavin yang berpura-pura tidur, ketahuan sedang berakting.

Guin menggigit dada Gavin dengan gemas. Setelah Gavin berteriak, Guin semakin membenamkan wajahnya.

"Apa Guin bisa bernafas kalau memelukku terlalu erat?" tanya Gavin.

"Emmmm... Kalau sesak, Gavin bisa memberikanku nafas buatan."

"Ahhhh... Ak--aku tidak bisa, Guin!" ucap Gavin gugup.

"Aku hanya bercanda. Kau berpura-pura tidur padahal kau belum mengecup keningku," ucap Guin manja.

Cuppp!

"Selamat tidur, Istriku!"

"Mimpi indah, Suamiku!"

***

Eve terbangun. Merasakan pangkal pahanya yang sedikit nyeri. Pinggangnya terasa seperti hampir patah.

Mata yang masih menyipit itu perlahan melebar. Pertama kali yang Eve lihat adalah sebuah punggung pria yang mulai tertutup oleh sebuah kemeja.

"Kau--kau..." Eve sangat gugup melihat seorang pria bertelanjang dada di depan matanya.

"Nona Eve, kau sudah bangun?" Ralio membalikkan tubuhnya. Dia kemudian membungkuk di depan Eve, kedua tangannya berada di atas ranjang, menahan tubuhnya.

"Ralio!" pekik Eve.

"Nona, kenapa kau pucat?" tanya Ralio khawatir.

"Semalam..."

"Nona, apa Nona sama sekali tidak ingat semalam?"

Eve memperhatikan lantai. Pakaiannya berserakan. Eve kemudian melihat tubuhnya di balik selimut tebal.

"Kyaaaaaaaaa!" teriak Eve saat melihat tubuhnya telanjang. Tubuhnya tidak tertutup oleh sehelai benang sekali pun.

"Nona!" tanpa sengaja, Eve menepis tangan Ralio.

"Maaf, Ralio. Ak--aku tidak bermaksud..."

"Nona sama sekali tidak ingat? Sedikit pun?"

"Semalam... Semalam kita... Kita tidak mungkin melakukannya, bukan? Jawab aku, Ralio!" pinta Eve yang gugup.

Ralio mundur. Raut wajahnya terlihat begitu kecewa. Ralio merapikan kemejanya, memakai dasi langsung mengambil jas miliknya yang tergantung di kursi.

"Maaf kalau jawabannya mengecewakan Nona Eve. Semalam, kita sudah melakukan hal yang menyenangkan. Hanya menurut saya saja, tapi mengecewakan Nona. Maafkan saya!" ucap Ralio lirih.

"Tidak mungkin! Tidak boleh terjadi, Ralio!" teriak Eve yang tenggelam dalam kekecawaan.

"Saya bisa berbohong, tapi saya pria yang bertanggungjawab."

"Kau sudah memiliki pacar. Bagaimana bisa kau melakukan hal itu semalam padaku, saat aku sedang mabuk?" Eve menuntut sebuah penjelasan.

"Saya..."

"Tidak mungkin! Semalam pasti mimpi. Kau pasti sedang mengerjaiku, bukan? Jawab aku, Ralio!" Eve mulai menangis.

Ralio tidak bisa membaca apa yang saat ini sedang Eve tangisi. Semalam, sekuat tenaga Ralio menahan diri, meski pada akhirnya pertahanan dirinya menjadi sia-sia.

'Dia terlihat begitu kecewa. Aku kira, dia akan menyapaku dengan senyum lebar dari bibirnya,' batin Ralio.

"Semalam, tidak mungkin!" gumam Eve lirih.

"Nona Eve, kau sungguh tidak ingin mengakuinya?"

"Bukan! Ak--aku hanya tidak ingat. Sama sekali tidak ingat!"

"Saya kecewa pada nona! Nona menolakku, berusaha mengelak setelah apa yang sudah kita lakukan!" ujar Ralio.

"Tidak! Ralio, kau salah paham! Maksudku… Maksudku semalam itu tidak sah. Itu kali pertama untukku tapi aku malah tidak ingat," ucap Eve.

Bammmmmmmmm!!!

Ralio pergi, meninggalkan Eve seorang diri. Ralio pergi dengan marah.

"Ki--kita harus mengulanginya sampai aku ingat, Ralio! Mabuk yang bodoh! Moment indah tapi aku malah tidak ingat," teriak Eve.

Jika Ralio mendengarnya, mungkin ucapan Eve akan membuat Ralio tertawa dengan wajah yang berseri.

Ralio sudah pergi. Penjelasan terakhir Eve sama sekali tidak melintas di telinga Ralio.

"Kita harus mengulang!"

***

Ralio pergi ke kantor dengan wajah kusut. Tanpa adanya gairah hidup.

Setumpuk pekerjaan sudah menanti, membuat nyawanya langsung melayang.

Gavin yang sudah berada di kantor 30 menit lebih awal, memandang Ralio dengan heran.

"Kenapa dengan wajahmu?"

"A--aku hanya kurang tidur!" jawab Ralio gugup.

Ralio merebahkan tubuhnya di atas sofa. Mata Gavin mendelik, melihat Ralio yang tidak mengakui keberadaannya sebagai atasan.

'Bisa-bisanya dia tidak mengakuinya bahkan mengatakan apa yang terjadi semalam tidak sah. Membuat moodku hancur saja,' batin Ralio.

"Apa yang terjadi semalam?" tanya Gavin.

"Apa? Tidak ada!" Ralio tidak pandai menyembunyikan perasaannya.

Ralio mudah gugup, apalagi Ralio terlihat begitu lelah dengan lingkaran mata panda.

"Semalam kau tidak tidur?" tanya Gavin mulai menyelidik.

"Tidur!" jawab Ralio singkat.

"Di mana?"

"Hotel!"

"Dengan siapa?" Gavin memberikan pertanyaan bersambung, membuat Ralio yang lesu menjawabnya tanpa sadar.

"Eve!"

"Apa?" Ralio langsung terperanjat bangun, mendengar teriakan Gavin yang tidak seperti biasanya.

"Kenapa kau berteriak?" tanya Ralio.

"Kau bermalam dengan Eve?" Gavin melototkan matanya.

"Si--siapa yang bilang?" tanya Ralio gugup.

"Jawab saja pertanyaanku! Semalam, apa yang sudah terjadi diantara kalian?"

"Tidak ada. Aku hanya membantunya memesan kamar hotel karena dia benar-benar tidak sadar. Aku tidak tahu password apartementnya," elak Ralio.

"Benarkah?" Gavin mulai mendekat.

"Tentu saja, benar!"

"Semalam, Eve tidak memakai bra," ucap Gavin menjebak.

"Kata siapa? Dia pakai warna hitam! Ahhhhhh.… Bu--bukan, maksudku..."

"Jadi???"