"Mama sakit papa. Mbak Ambar sudah mempunyai anak sekarang. Dan Okta.... Papa harus kembali untuk menguatkan kita semua. Kami merindukan papa."
"Papaaaa.... Hikss hikss hikss."
Tuan Arjun Saputra yang terus berdiri di belakang Dinda juga tak kuasa menahan rasa sedih istri kecilnya itu. Melihat Dinda yang sesenggukan menangisi keadaan ayahnya membuat tuan Arjun Saputra juga merasakan sesak di dadanya.
Hal tidak terduga terjadi kemudian. Saat Dinda tengah menangis sambil memeluk tangan pak Ferdi.
Tangan yang satunya milik pak Ferdi menyentuh kepala Dinda. Membelai dengan lembut penuh kasih sayang.
"Nduk...."
Kemudian Dinda mendongak dengan matanya yang sembab "Papa.."
Segera Dinda mengusap air matanya yang tumpah ruah, menyadari kedua netra mereka saling bertemu dalam kerinduan membuat Dinda tak kuasa menahan kembali rasa sedihnya itu. Dinda memeluk pak Ferdi dengan erat.
Semua orang bernafas lega saat menyadari kesadaran pak Ferdi yang lambat laun kembali karena kehadiran Dinda.
"Papaaaaaaaaaa.... Huaaaaa.." Dinda meraung, tak bisa membendung ekspresi sedih sekaligus bahagianya.
Dokter Raihan yang melihat kemajuan pak Ferdi segera memeriksa kondisinya. Dinda mengawasi sembari memeluk tuan Arjun Saputra karena belum bisa menghentikan kesedihannya.
"Sudah sayang. Lihat papa sudah sadar. Dia terus melihatmu. Jadi jangan menangis lagi ya, atau nanti papa akan ikut bersedih."
"I iya.. Hikss.... Hikss.... Tapi.... Hikss ini nggak bisa.. Hikss berhenti na.... Hikss.... Nangisnya.... Hikss hikss hikss.."
Rendi memeberikan sebotol air minum yang di minta tuan Arjun Saputra. Memberikannya pada Dinda untuk menenangkan hatinya kembali.
Glek.. Glek.... Glek.... Glek..
Dinda menghabiskan sebotol air minum itu dalam satu tarikan nafas saja.
Pak Ferdi menggapai-gapai tangannya ingin di sentuh oleh putrinya. Dinda yang mengerti maksud ayahnya segera mengenggam kembali tangan ayahnya dengan sangat erat.
----
Hampir empat jam sudah Dinda dalam posisi itu. Mengenggam tangan ayahnya sembari menjaga beliau yang tertidur lelap.
Pak Ferdi sepertinya enggan untuk berjauhan kembali dengan putrinya itu.
"Makan dulu sayang." tuan Arjun membawakan senampan makanan untuk istri kecilnya itu.
"Aku nggak bisa makan sayang. Tanganku nggak bisa lepas."
"Kau masih punya dua tangan lagi sayang."
Tuan Arjun menyendokkan makanan dan menyuapkannya pada Dinda.
Dinda tentu terharu atas perlakuan tuan Arjun yang begitu manis padanya. Mengerti dia dalam kondisi apapun. Dinda kali ini sadar, dia sangat beruntung memiliki suami sepertinya. Terlepas tentang apa yang pernah ia lakukan padanya. Itu semua termaafkan dengan usahanya membantu Dinda di setiap kondisi genting nya.
"Malam ini aku menginap saja. Menemani papa di sini. Dia sepertinya takut aku tinggalkan."
"Terserah kamu saja sayang, aku temani ya?"
"Nggak usah sayang. Kediaman tanpamu itu bukanlah sangat berbahaya." kata Dinda khawatir.
"Lalu siapa yang akan menjagamu di sini."
"Hem.... Apakah kamu lupa, pengawalmu banyak di sini kan? Kenapa kamu harus cemas begitu."
"Iya, tapi aku bagaimana?"
"Kau?" tanya Dinda tidak mengerti.
"Iya sayang. Kalau aku kangen sama kamu gimana?"
"Arjun, ini kan cuma malam ini saja. Toh besok juga ketemu lagi."
"Nggak, pokoknya aku menginap juga di sini. Dan aku akan mengirim Rendi kembali untuk menjaga kediaman."
"Ya sudah iya iya. Bayi besarku kasihan sekali kamu jika harus berjauhan dariku. Ututu.... Tayaaaangku...." kata Dinda sembari mencubit pipi tuan Arjun Saputra dengan gemas.
----
Tak terasa tengah malam sudah terlewati. Dinda tidur di samping ayahnya berbaring. Dengan tangan yang masih berpegangan, Dinda juga tidak ingin jauh-jauh dari ayahnya itu.
Perlahan pak Ferdi membuka matanya. Memeriksa ke sekeliling dan mendapati Dinda yang tengah terlelap.
"Dinda anakku sayang." panggil pak Ferdi lirih.
Sayangnya Dinda terlalu lelah untuk mendengar dan membuka matanya.
"Papa sudah bangun."
Untungnya tuan Arjun masih terjaga karena tengah menyelesaikan pekerjaannya yang ia bawa bersamanya.
"Tuan."
"Papa mertuaku ingat padaku?"
"Ya tentu saja, kamu menantuku."
"Baguslah. Dinda akan senang ketika dia sudah bangun nanti. Dia begitu merindukan papanya."
"Apakah anak nakal ini menyusahkanmu tuan?"
"Kadang kala dia memang menyusahkan. Tapi tidak bisa di bantah juga, jika aku akan sangat merindukan kenakalan nya setiap hari. Dinda yang ceria dan berani. Aku sangat mengagumi putri papa ini."
"Kalau begitu kau harus menjaganya baik-baik. Karena setelah ini, ujiannya akan sangat berat untuk kalian."
"Ujian apa?"
"Entahlah.... Papamu ini hanya merasakan firasat yang aneh."
"Papa jangan terlalu banyak pikiran dulu. Lebih baik fokus saja dulu pada kesehatan papa."
"Papa sudah tua nak. Sudah sepantasnya mati terlebih dahulu dari pada kalian."
Pak Ferdi menangis, entah apa yang tengah ia rasakan. Tapi tuan Arjun juga merasa beliau sangat aneh sekarang. Bicaranya yang ngelantur dan sedikit tidak nyambung membuat tuan Arjun sedikit khawatir pada kondisi ayah mertuanya itu.
"Nak, jika umurku tidak ada lagi. Tolong jaga putriku dengan baik. Dia memang sedikit nakal. Tapi percayalah, dari semua anakku Dinda lah yang paling tulus."
"Papa jangan khawatir tentang itu. Tanpa di suruh pun selamanya aku akan melindungi Dinda."
"Kau tahu kenapa Gatot ingin sekali membunuhku?"
"Tidak papa, memangnya apa alasannya melakukan semua ini."
"Dia ingin menguasai seluruh hartamu."
"Hartaku? Maksud papa dia ingin aku mati?"
"Bukan hanya mati, tapi menyerahkan semua yang kau punya padanya."
"Dia memang tua bangka yang serakah. Padahal Bima sudah mati, lalu untuk siapa dia mengumpulkan begitu banyak harta di usia tuanya."
"Itu karena Gatot ingin David yang mewarisi semua kekayaanmu."
"David adikku?"
Pak Ferdi mengangguk perlahan.
"Mengapa? Tanpa di minta pun ketika aku mati dia punya bagiannya sendiri."
"Itu karena David bukan adik kandungmu nak."
"Hah apa?!"
"David adalah putra kandung Gatot."
"Nggak mungkin, dari mana papa tahu?"
"Menurutmu apa alasannya dia teramat menyayanginya. Dengan sikap kejamnya, Gatot hanya akan mencintai darah dagingnya sendiri nak."
"Bagaimana mungkin."
Tuan Arjun menghempaskan tubuhnya ke sofa. Dia begitu syok mendengar fakta penting itu.
"Gatot ingin membunuhku karena aku mengetahui semua kebusukannya."
"Kalau boleh tahu, papa tahu semua itu dari mana?" tanya tuan Arjun.
"Papa tahu dari mana semua fakta itu?" tanya tuan Arjun penasaran.
"Papa tak sengaja menemukan berkas-berkas penting di sebuah ruangan rahasia di kantor Gatot. Awalnya papa juga tidak yakin itu benar atau tidak. Tapi dari cara Gatot memperlakukanku sekarang. Apa itu hanya karangan palsu? Tentu tidak bukan? Lihatlah, bahkan papa mertuamu ini sudah kehilangan empat jarinya."
"Kalau David anak Gatot? Lalu Bima bagaimana? Bahkan aku sendiri melihat ibuku melahirkan adikku."
"Kamu seharusnya sekarang tahu Arjun. Bukankah Bima sangat mirip denganmu. Bahkan wajahnya dan juga karakternya. Dia sangat mirip denganmu."
Tuan Arjun meluruh ke lantai, dia tidak kuasa menahan tangisnya. Sesenggukan menyalahkan takdir yang di rasa sedang mempermainkan nya.
"Tidak.... Tidak.... Tidak.... Tidak!!" tuan Arjun berteriak.
Dinda yang sebenarnya sudah tebangun dari awal pembicaraan mereka di mulai tentu langsung menghampiri tuan Arjun dan memeluknya.
"Sudah ya.... Jangan menangis ya sayang."
Tuan Arjun menangis di pelukan Dinda. Teramat pilu hingga Dinda bisa merasakan kesedihannya.