"Balasan kita setimpal nyonya cumi." ledek Dinda sembari menggaruk lengannya.
"Obat apa yang kau berikan pada nyonyaku." Daniar kesal.
"Bukan urusan mu babu rendahan." kata Denok.
"Kamu tidak sadar diri hah? Memangnya kamu itu seagung apa di sini?"
Denok tentu saja tidak terima dengan perkataan Daniar "Sepertinya jika ada nyonyamu ini kamu jadi songong sekali ya Daniar."
Dinda tidak berdiam diri, dia menyeret Denok dan memaksanya untuk berlutut.
"Apa yang kamu lakukan." Denok memekik.
"Apakah aku benar-benar harus merobek mulutmu itu hah?! Berani sekali kau." Dinda menatap tajam Denok yang justru berani menatapnya.
"Lepaskan dia sialan!!" Dona menghempaskan tubuh Dinda ke lantai.
Tidak terima dengan perlakuan Dona. Dinda dengan sengaja menendang kaki Dona dari belakang.
Duaaaakkkk....
Dona turut tersungkur hingga bibirnya terhantuk ke lantai dan berdarah.
"Nyonya.." Denok terkejut saat melihat darah yang menetes ke lantai.
"Sialan!!"
"Wah bibirmu seksi sekali mbak."
Dinda sekuat tenaga menahan tawanya, melihat Dona yang kesakitan meraba-raba bibirnya yang pecah.
Claaaangg.... Entah mengapa Dona semakin berani kali ini. Ia mengambil pisau lipat dari sakunya. Dan mengacungkan pada Dinda.
"Apa-apaan ini. Kamu ingin membunuhku?" Dinda menelan ludahnya karena takut.
"Kenapa kamu takut? Tenang saja Dinda. Aku hanya ingin menggores sedikit pipimu."
Dinda beringsut mundur, ia begitu benci dengan adegan itu. Seperti sebelumnya, dia kembali teringat kejadiannya bersama Darwin dulu.
Dona berjalan mendekat. Dinda memberi kode pada Daniar untuk pergi mencari bantuan. Namun dengan cepat Denok menahan tubuh Daniar dengan di bantu andi dalem Dona yang lain.
Dinda menerobos dengan mendorong Dona terlebih dahulu. Berlari tanpa memikirkan alas kaki.
Sial memang, pengawal yang biasa berjaga di depan paviliunnya tengah di panggil oleh Rendi untuk berkumpul.
"Aaaa tolongggg!!" Dinda berlarian dengan kondisi carut marut. Badannya bentol-bentol dan sangat kotor.
"Mau kemana kau!!"
Saat ini sedang terjadi adegan kejar mengejar di antara Dinda dan Dona. Dona yang sebenarnya hanya ingin menakuti Dinda dengan pisaunya dan Dinda yang bersandiwara dengan histeris untuk menarik perhatian.
"Sudah sudah aku lelah." Dinda memegangi lututnya yang terasa bergetar.
"Hah hah hah hah.." Dona yang juga lelah memilih untuk berjongkok.
"Aku akan mengadu pada Arjun. Agar kamu di hukum. Ini sungguh sangat gatal sekali, arghhhh sialan!!"
"Coba saja, Arjun pasti hanya akan diam. Kenapa? Karena dia masih tidak bisa lepas dariku."
"Percaya diri sekali kamu ular berbisa."
"Kamu bocah tengil!!"
"Baiklah begini saja. Kita taruhan. Siapa yang akan Arjun percaya."
"Siapa takut."
"Resiko di tanggung sendiri kamu tau."
Dona memegangi dadanya yang sekarang ini terasa nyeri. Mengaduh ke sakitan di depan Dinda yang masih belum menyadari jika itu bukan sandiwara belaka.
"Ini belum mulai tau!!"
"Hah.. Hah.. Aw.." Dona merintih.
"Kamu sungguhan?!" Dinda mencoba mendekat hendak menolong Dona.
Craassss.... Dinda begitu tercengang saat pisau itu menggores pipinya.
Mendapati darah yang merembes dari celah sempit, Dinda mulai merasakan panas perih di wajahnya.
"Beraninya kau!!"
Duaaaakkkkkk.... Dinda juga tidak segan menendang Dona di bagian perutnya.
"Argghhhh.."
"Hentikan!!"
Tuan Arjun berteriak dan berlari untuk melerai.
Dona yang masih berbaring di tanah tentu semakin melebih-lebihkan apa yang terjadi padanya.
"Arjun tolong.." Dona berusaha mengapai-gapaikan tangannya.
"Dinda apa yang kamu lakukan?!" Arjun menatap Dinda.
"Hah apa?! Dia yang mulai duluan menyerangku. Lihat ini badanku bentol-bentol. Dan wajahku.... Kamu membela ular berbisa ini?!" kata Dinda kesal.
Tuan Arjun mengulurkan tangannya pada Dona. Dengan senang hati Dona menyambut uluran tangan itu.
"Ahh Arjun." Dona berpura-pura hendak jatuh dan langsung memeluk tuan Arjun dengan erat.
Dinda hanya bisa terdiam, memandangi mereka dengan mata berkaca-kaca.
"Arjun kamu begitu.." Dinda mulai menangis.
Tuan Arjun tersenyum, membelai kepala Dona.
"Tidak apa kan?" tanya tuan Arjun dengan lembut.
"Tidak apa. Untung kamu datang tepat waktu. Jika tidak, mungkin aku akan mati di tangannya."
"Jelas-jelas di sini dia yang pegang pisau." Dinda menunjuk pisau yang terlempar di tanah.
"Sudahlah Dinda. Kamu diam saja sekarang."
"Arjuuuunn...."
Tuan Arjun menjerat tubuh Dona ke dalam dekapannya. Tersenyum manis kemudian melemparkan tubuh Dona ke arah pengawal yang sudah siap siaga di sekitar tuan Arjun.
"Arjun mengapa kamu mendorongku?" tanya Dona.
"Cepat bawa dia." perintah tuan Arjun.
"Lepaskan!! Aku mau di bawa kemana? Arjun!! Kamu tidak bisa melakukan ini padaku." Dona terus berteriak ketika pengawal menyeretnya dengan kasar.
Dinda begitu bingung dengan apa yang tengah terjadi.
"Sebenarnya ada apa ini? Tadi kan.."
"Husstttt.. Sekarang kita pergi obati dulu semua lukamu. Lihat pipi cantik ini terluka."
"Arjuuuunn...."
"Apa sayang? Kamu pikir aku benar-benar berada di pihaknya? Ingat, kulkas dua pintu ini hanya milik setan kecil."
Dinda tersenyum malu ketika tuan Arjun Saputra terus menggodanya. Mungkin wajahnya sudah memerah padam di buatnya.
"Nyonya.." dengan nafas terengah-engah Daniar sampai di tempat Dinda berada.
"Syukurlah kamu datang. Cepat bawa Dinda, dan kamu obati semua lukanya." perintah tuan Arjun pada Daniar.
"Baik tuan."
"Mau kemana?" Dinda menahan tuan Arjun dengan memegangi tangannya.
"Ada pekerjaan penting yang harus aku selesaikan. Nanti aku akan menyusulmu. Oke?"
Dinda mengangguk, menuruti apa yang tuan Arjun katakan. Pergi bersama dengan Daniar meninggalkan tuan Arjun yang masih berdiri di tempatnya.
Setelah Dinda dan Daniar menghilang di tikungan jalan, tuan Arjun berbalik badan. Berjalan dengan langkah tegap, mencabut cambuk yang ia selipkan di pinggangnya.
Cetaaaassss....
"Tunggu saja kau.... Dona."
----
"Apa kalian sudah menemukan keberadaan berandalan itu?" tanya Gatot pada seorang kaki tangannya.
"Maaf tuan. Kami bahkan sudah mencari ke seluruh kediaman tuan Arjun Saputra. Sepertinya dia tau jika kami akan mencarinya bahkan sampai masuk jauh ke dalam. Jadi dia menyembunyikan orang itu entah ada dimana."
Duaaaakkkkkk... Gatot melempar sebuah buku tebal hingga mengenai kaca jendela.
"Aku tidak mau tau. Bagaimanapun caranya, kamu harus segera menemukan orang itu. Mulutnya sangat berbahaya jika terbuka."
"Tuan tenang saja. Saya yakin, jika orang itu belum sadar sepenuhnya. Luka yang ia dapatkan, begitu juga racun yang di berikan. Saya juga tidak yakin benar jika dia masih bertahan hidup."
"Kamu jangan terlalu percaya diri. Arjun bisa melakukan hal yang mustahil menjadi mungkin."
"Baik tuan."
"Ingat jika kali ini kamu gagal, maka relakan saja nyawamu.... Rama."
----
"Cepat bawakan aku lagi sabun cairnya. Badanku masih bau." gerutu Dinda sembari terus menggosok badannya dengan sabun.
Gatalnya memang sudah mereda dengan cairan antiseptik yang dokter berikan. Namun bau tubuhnya masih saja tercium.
"Iya ini, aku ambilkan yang baru sekalian."
Dinda merebut sabun kemasan baru dari tangan Daniar. Menuangkan setengah sabunnya di kolam mandinya."
"Apakah itu tidak terlalu banyak. Bisa-bisa nanti kamu jadi buih Dinda."
"Sssuuuutttt.... Diam. Nyalakan musiknya. Aku ingin berendam biar badanku wangi nanti."
"Tapi Dinda...."
"Heii, ku pukul kau nanti. Bandel ya."