Melihat Dinda yang begitu sedih membuat tuan Arjun Saputra merasa khawatir. Namun dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Takdir yang mempertemukan mereka sekarang, mana tega ia memisahkan reuni ibu dan anak yang lama sudah lama tidak bertemu.
"Mama sadarlah. Dinda rindu mama. Ingin di peluk dan di belai tangan halus mama."
"Dinda.."
Suara lirih itu membuat Dinda menoleh. Terlihat Ambar dengan perut yang sudah membuncit.
"Mbak Ambar.."
Dinda berlari, gegas memeluk Ambar yang siap dengan tangisannya.
Terdengar raungan Ambar yang begitu sangat memilukan. Tangisannya membuat Dinda juga ikut menangis.
Ambar meluruh ke lantai, dia begitu terharu bisa bertemu lagi dengan adik sepupu yang sangat ia sayangi itu.
"Mbak Ambar jangan sedih ya, Dinda akan selalu ada untuk kalian."
Dinda mengusap air mata Ambar dengan menggunakan tangannya. Berusaha terlihat tegar meski hatinya sangat terluka.
Ambar mengusap perutnya, menunduk malu dengan segala aib yang ia punya.
Dinda meletakkan tangannya di perut kakak sepupunya "Aku berharap dia laki-laki. Agar bisa melindungi senyum mbak Ambar yang cantik nantinya."
"Mbak Ambar hanya khawatir jika dia merasa terkucilkan nantinya karena kelakuan bejat ku Dinda."
"Mbak, kamu tidak boleh bicara seperti itu. Dia akan menjadi keponakanku dengan kasih sayang yang sangat banyak. Dariku dan juga.. Ekheeeemm.."
"Ah ya tentu saja. Dia akan hidup dengan baik nantinya. Kamu tidak perlu khawatir. Kami akan menjadi walinya saat dia lahir."
Untunglah tuan Arjun Saputra cukup peka dengan kode yang istri kecilnya berikan itu. Jika tidak, sudah pasti Dinda akan merajuk padanya.
"Mbak dengarkan, sudah ya jangan sedih lagi. Mbak harus tersenyum mulai sekarang, karena sampai kapanpun selama Dinda masih hidup. Aku akan menjadi orang pertama yang akan selalu ada di samping mbak Ambar."
"Terimakasih." kata Ambar lirih.
Dinda sedikit bernafas lega setelah melihat Ambar kembali mendapatkan cahaya kehidupan. Walau belum terlihat jelas, Dinda sudah bisa melihat lengkungan manis di sudut bibir kakak sepupunya itu.
"Kamu tau dik? Bu lik selalu setia di sana, berharap pak lik akan muncul dari balik pintu itu."
Ucapan Ambar sangat membuat Dinda merasa sedih. Melihat ibunya yang bahkan telah melupakan anak-anaknya dan juga keponakannya mengindikasikan jika ibunya sangat mencintai ayahnya.
"Cinta mama tenyata sangat dalam pada papa ya mbak. Meski mereka selalu berdebat di hadapan aku dan Okta, ternyata mereka tidak bisa hidup tanpa satu sama lain."
Ambar menghela nafasnya "Andai saja pak lik masih hidup."
Dinda menatap Ambar lekat, tersenyum kemudian menepuk pundaknya.
"Dinda akan mengembalikan senyum manis mama mbak. Mbak Ambar jangan khawatir. Mama akan kembali seperti dulu."
"Iya dik. Mbak Ambar percaya padamu."
Dinda mendekati bu Rahmi kembali, perlahan memeluknya. Tidak ada penolakan dari bu Rahmi. Nampak beliau hanya diam bagai patung yang bernyawa.
"Dinda akan membawa papa kembali ma. Dinda akan membawa cinta mama ke rumah ini lagi. Dinda janji ma." bisik Dinda di telinga bu Rahmi.
----
"Tidurlah jika kamu lelah sayang." kata tuan Arjun ketika melihat Dinda yang murung di bangku penumpang di sampingnya.
"Aku tidak mengantuk." jawab Dinda ala kadarnya.
"Jangan terlalu dipikirkan sayang, ada aku yang akan mengurus semuanya."
"Arjun?"
"Ya sayang."
"Apa sebaiknya mama kita bawa ke rumah sakit saja? Aku tidak tega melihat mbak Ambar dengan perut sebesar itu mengurus mama sendirian."
"Tapi apakah Ambar setuju jika mama kita bawa ke rumah sakit?" tanya tuan Arjun.
"Iya juga ya, pasti mbak Ambar keberatan."
"Begini saja aku akan membayar perawat untuk membantu mereka di rumah. Jadi nanti Ambar bisa mengurus anaknya."
Dinda menatap tuan Arjun Saputra "Kamu pintar, begitu saja. Hah akhirnya kebuntuan ku terpecahkan juga. Bagus bagus."
Melihat Dinda yang kembali ruang tentu membuat tuan Arjun Saputra sedikit bernafas lega "Ternyata sedari tadi kamu memikirkan itu? Ya ampun sayang."
"Hehehe sayang lapar nih." kata Dinda sembari mengelus perutnya.
"Mau makan apa?"
"Terserah.."
"Terserah aku?"
"Iya terserah Arjun."
"Okey.."
"Oh ya Arjun. Ada sesuatu yang harus kamu tau."
"Iya aku tau jika kamu mencintaiku."
"Dih bukan itu."
"Oh jadi kamu tidak mencintaiku? Teganya kamu sayang."
"Astaghfirullah, Arjun. Serius tau."
"Iya serius. But you love me right?"
"Not!!"
"Dinda.."
"Tidak salah Arjun. Hehehe. Sudah sih kan Dinda mau bahas hal lain."
"Apa?"
"Waktu itu ketika kabur, aku bertemu dengan bi Darmi."
"Lalu?"
"Dia adalah abdi dalem di rumah kami."
"Iya sayang, lalu apa masalahnya."
"Sebentar napa sih. Enggak sabaran banget sih jadi cowok."
"Fiuuuuhh.. Sabar sabar.." gumam tuan Arjun Saputra.
"Arjun jangan bercanda deh.."
Tuan Arjun Saputra memasang telinganya lebar-lebar dan mendekatkan telinganya condong ke arah Dinda.
"Jadi apa hal penting itu?"
"Papa masih hidup."
"Kamu yakin sayang?"
Tuan Arjun Saputra tentu saja tercengang mendengar berita itu. Sebab ia tau, bahkan dirinya sendiri yang menguburkan jenazah pak Ferdi.
"Aku sendiri yang melihat dan menguburkan papa mertua Dinda."
"Tapi apakah kamu yakin itu adalah papa, Arjun?"
"Memang aku tidak yakin seratus persen, tubuhnya hangus karena terbakar."
"Bi Darmi sendiri yang mengatakan kalau dia melihat papa di stasiun. Bahkan aku mengobrol dengannya."
"Jika itu memang benar, kita harus menemukan papa mertua. Dia kunci dari masalahku dengan Gatot. Jadi dimana dia sekarang."
Dinda mendengus membanting tubuhnya ke sandaran kursi "Itulah Arjun yang jadi masalahnya. Papa tidak bilang pergi kemana."
"Jika kamu adalah pak Ferdi. Kamu akan pergi kemana sayang?"
Dinda kemudian bertopang dagu. Memikirkan dengan keras jawabannya dari pertanyaan suaminya.
"Enggak tau, lapar Arjun. Aku jadi enggak bisa mikir." keluh Dinda.
"Ya sudah kita makan dulu ya. Kamu reses sekali kalau lapar."
---
Dinda dan tuan Arjun Saputra kembali saat hari sudah larut malam. Kembali ke paviliun mereka masing-masing karena sudah merasa lelah yang teramat sangat.
"Cieeee yang habis jalan-jalan." Daniar mencoba menggoda Dinda.
"Apaan sih. Oh ya bagaimana? Ularnya sudah enggak ada kan?"
"Beres nyonya. Sudah di tangkap semua."
"Wah enak tuh kalau di sop."
"Ngawur kamu, mau sop king kobra?"
"Hahahaha kalau enak ya boleh juga lah.."
"Emangnya makanan apa yang menurut kamu enggak enak hah?"
"Hehehehe.."
"Aku sudah menyiapkan air untuk kamu mandi."
"Ah nanti sajalah Daniar. Aku lelah."
"Justru karena kamu lelah, maka harus cepat mandi. Kan enggak lucu tidur tapi belum mandi. Yang ada itu kasur bau asem."
"Iya iya bawel deh."
Gedumbraaaangggg..
Dinda baru saja hendak mengambil handuk untuk mandi, namun ia justru malah di kejutkan dengan bunyi sesuatu yang keras.
"Bunyi apa itu?" Daniar juga sepertinya kaget sekaligus penasaran.
Dinda dan Daniar pergi keluar paviliun.
"Apa yang terjadi?" tanya Daniar pada pengawal.
Tampak salah seorang pengawal sedang berkomunikasi dengan menggunakan walkie talkie miliknya.
"Ada apa?" Dinda begitu penasaran dengan apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Bangunan kosong di belakang kediaman rubuh nyonya."
"Hah kok bisa?"
"Mungkin karena usia, bangunan itu memang sudah lapuk."
Dinda segera berlari di susul Daniar di belakangnya.
"Jalan keluar untuk ku kabur hancur sudah." kata Dinda di dalam hati.