"Eh eh kok pulang sih. Enggak seru ah."
"Ya sudah dong, jangan ngeledek terus."
Dinda tertawa ketika Dinda melihat Nurul yang salah tingkah. Mungkin karena Nurul tidak pernah dengan pria. Saat menjadi istri tuan Arjun Saputra pun bisa di bilang dia hanya seperti pemain pembantu saja.
Bahkan tuan Arjun Saputra sama sekali tidak pernah duduk berdua hanya untuk sekedar mengobrol dengannya saja.
"Kamu tau, aku mendengar Bima dan Dona saling kenal loh Din.." bisik Nurul.
"Bima?" Dinda tidak paham.
"Bima itu putra sulung Gatot yang sangat kamu benci itu."
"Dengan Dona?"
"Iya, katanya mereka itu juga mempunyai hubungan spesial."
"Mbak dengar itu darimana?"
"Anak buah Rendi yang bergosip. Aku juga tidak sengaja dengar."
"Tapi Dona bukannya sangat mencintai Arjun?"
"Apakah kamu yakin begitu?"
Dinda kalut, tidak pernah menyangka hubungan di antara dia, tuan Arjun Saputra dan Dona menjadi begitu rumit.
"Kalau memang benar adanya. Maka dengan itu aku bisa melumpuhkan Dona bukan?"
"Tapi Dinda, kalau memang itu benar terjadi justru kamu yang harus berhati-hati. Karena Bima sewaktu-waktu bisa mengincar untuk menyakitimu."
"Iya mbak, aku akan mengingat peringatan mu itu."
"Maaf di luar ada tuan Rendi menunggu anda nyonya." kata Daniar pada Nurul.
"Siapa nyonya? Panggil saja Nurul. Ingat, aku bukan nyonya lagi di sini. Sekarang aku datang hanya sebagai tamu ya."
"Baik."
"Ya sudah ya, mbak pergi dulu. Nanti mbak datang lagi kalau ada kesempatan."
"Iya mbak, hati-hati ya. Nanti di gigit Rendi."
Nurul sempat menghentikan langkahnya, hendak ingin melampiaskan kesalahannya pada Dinda karena Dinda terus-terusan menggodanya. Tapi niat itu ia urungkan mengingat Rendi yang tidak suka menunggu.
"Cepat atau aku tinggal kamu." seru Rendi ketika akhirnya melihat Nurul muncul.
"Iya iya sabar napa." gerutu Nurul.
"Lain kali kalau kamu menyusahkan ku begini lebih baik tidak usah merengek minta ikut."
"Idih.. Galak banget sih besti. Aku hanya ingin lihat keadaan Dinda saja kok."
Rendi menatap Nurul. Kemudian memandanginya dari atas sampai bawah dengan detail.
"Bersihkan bajumu itu, ada noda bekas makanan di sana." tunjuk Rendi.
"Iya bos."
"Galak banget sih jadi orang. Untungnya ganteng jadi di maafkan deh. Sehari saja tidak memarahiku mungkin hatimu tidak tenang ya. Dasar pria jutek." kata Nurul di dalam hati.
----
"Daniar temani aku jalan-jalan."
"Mau kemana nyonya kecil ku?"
"Aku ingin nyekar ke makam mbak Nurma."
"Baiklah, silahkan nyonya berjalan di depan?" Daniar mempersilahkan.
"Terimakasih dayangku."
Daniar cekikikan saat mendengar candaan Dinda. Memang hal itu yang sangat ia rindukan dari kehadiran Dinda. Suasana kediaman yang membosankan, kini sudah berwarna kembali dengan keberadaan Dinda.
"Lihat.." Dinda menunjuk sebuah pohon.
Daniar spontan menepuk keningnya. Dia lupa tidak mengajak Dinda lewat jalan lain.
"Itu rambutan?"
"Dinda, please. Jangan konyol. Kamu seperti tidak pernah lihat rambutan menggantung di pohon saja."
"Dulu pernah, tapi di tebang kulkas dua pintu itu. Sekarang aku melihat lagi."
Dinda tersenyum sumringah menatap buah rambutan yang menggelayut itu lebar-lebar. Gegas Dinda mengambil ancang-ancang untuk memanjat pohon rambutan tersebut. Namun Daniar menarik tangannya dan mengajaknya untuk melanjutkan perjalanannya ke makam Nurma. Namun Dinda menolak nya.
"Ayo!!"
"Eh eh eh eh, bukannya kita mau nyekar ya Din?"
"Nanti saja. Dekat ini kuburannya. Kalau yang itu tidak bisa menunggu Daniar. Aku takut kalau Arjun akan menebangnya lagi."
"Tidak boleh. Ingat perutmu baru sembuh Dinda ku sayang."
Dinda sontak meraba perutnya, mungkin tanpa air liur sudah menetes dari mulutnya.
"Aku ingin itu Daniar. Ayolah."
"Tapi nanti jatuh bagaimana?"
"Bodo amat. Aaaa aku ngidam nih."
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Dinda menoleh, dilihatnya kalau tuan Arjun Saputra kali ini tuan Arjun datang dengan seorang diri.
Dinda kemudian berlari ke arah tuan Arjun, tuan Arjun menyangka ingin dipeluk oleh Dinda. Sehingga tuan Arjun merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk menyambut pelukan hangat istri kecilnya itu.
Namun yang terjadi justru Dinda menyeret bukannya memeluk tuan Arjun.
"Ada apa sayang?" tanya tuan Arjun penasaran.
"Lihat itu." tunjuk Dinda.
Tuan Arjun mendongak ke atas "Rambutan?"
"Iya."
Binar-binar di mata Dinda membuat tuan Arjun menjadi iba.
"Tapi perutmu baru sembuh kan?"
"Please.." Dinda memohon.
"Not allowed." tolak tuan Arjun.
Terdengar rengekan Dinda yang semakin menjadi. Buliran bening sudah mulai menampakan diri di sudut matanya.
"Jangan di tebang. Dinda hanya ingin makan buah Rambutan yang baru di petik. Kalau di tebang lagi, Dinda marah ya sama Arjun. Dan juga, Arjun nggak akan dapat jatah lagi dari Dinda. Arjun jahat!! Kulkas dua pintu jahat!! Dinda hates Arjun!!" teriak Dinda sembari membersihkan ingusnya yang meluncur deras seperti angkat sebelas.
"Okey okey. Arjun hanya bercanda Dinda. Nanti Arjun manjat deh. Arjun ambilkan yang banyak rambutannya. Kalau perlu nanti semuanya Arjun taruh di kamar Dinda. Tapi please jatah Arjun jangan di kurangi ya."
Dinda masih terisak, dengan sesenggukan ia mengangguk. Kemudian mendorong tubuh tuan Arjun mendekati pohon rambutan itu.
"Cepatlah naik."
"Iya iya ini Arjun naik."
Gegas tuan Arjun menaiki pohon rambutan itu agar Dinda berhenti menangis.
Dan dalam sekejap saja hujan rambutan berjatuhan di hadapan Dinda.
"Daniar ayo cepat pungut." ajak Dinda.
Dinda sangat antusias memunguti buah rambutan itu dan memasukkan ke keranjang yang Daniar siapkan.
"Sudah cukup belum sayang. Aku sudah tidak tahan di gigit semut."
"Sudah sayang!!" Dinda berteriak dari bawah.
Tuan Arjun segera menuruni pohon rambutan itu karena Dinda sudah merasa cukup dengan keranjang rambutannya yang kini terisi penuh.
"Hati-hati Arjun!!"
Dinda menunggu persis di bawah tuan Arjun untuk memastikan jika langkah yang suaminya ambil itu tepat.
"Jangan lewat dahan itu, itu sudah lapuk."
"Tapi ini yang terdekat."
"Jangan, nanti patah dahannya."
"Enggak, memangnya aku seberat apa sih bisa patah."
Tuan Arjun yang tidak mendengar peringatan Dinda tetap ngeyel memijak dagan lapuk itu.
Kreeeekkkk.. Wusssshhhh..
"Aaaa.." tuan Arjun berteriak karena panik.
Gedebug..
"Aaaarghh.. Arjun di bilangin susah!! Lihatkan jadinya bagaimana? Awas!! Nanti Dinda bisa gepeng di timpa Arjun."
Tuan Arjun Saputra segera beralih dari tubuh Dinda. Dia terjatuh tepat di atas Dinda.
"Hahaha.." gelak tawa Daniar terdengar begitu nyaring.
"Kenapa kamu tertawa." Dinda kesal.
"Apa ini karna? Dulu nyonya yang jatuh di atas tuan. Sekarang justru sebaliknya. Nyonya jangan marah ya, tapi itu lucu sekali."
Dinda cemberut, sedangkan tuan Arjun salah tingkah sembari menggaruk-garuk rambut kepalanya bahkan tak terasa gatal itu.
"Maaf ya sayang, aku tidak sengaja."
Dinda memalingkan wajahnya kesal "Pokoknya besok harus jalan-jalan naik kapal pesiar. Baru Dinda maafkan. Menyebalkan sekali kalian itu."
Lalu Dinda memakan rambutan itu bersama para abdi dalem dan pengawalnya. Dengan senang hati dia membagikan rambutan yang susah payah ia dapatkan. Berbagi kebahagiaan layaknya sebuah keluarga.
"Kenapa? Apakah perutmu sakit?" Daniar khawatir saat melihat Dinda termenung memandangi rambutan di tangannya.
"Keluarga ya?" gumam Dinda lirih.