"Cepat bangun, ayo ikut aku."
Nurul menarik tangan Dinda. Memaksakan Dinda yang tengah hamil muda itu berlari dengan kencang.
"Sebenarnya ada apa sih mbak? Kita mau kemana?"
"Sudah kamu diam saja. Kamu ikuti aku saja."
Dinda tidak berkomentar lagi. Dia menuruti perintah Nurul dengan mempercepat langkah kakinya.
Menaiki angkutan umum yang mungkin itu angkutan pertama yang jalan di sekitar desa itu.
Tanpa menggunakan alas kaki, Nurul dan Dinda pergi jauh pagi-pagi sekali dari rumah paman.
Dinda hanya diam sembari mengatur kembali nafasnya yang berantakan.
"Syukurlah kita sempat kabur."
"Dari siapa mbak?" Dinda bingung.
"Kamu tau Rendi kan anak buahnya tuan Arjun Saputra?"
Dinda mengangguk tanda dia tau.
"Dia sudah sampai di sini."
Seketika Dinda terbelalak mendengar fakta mencengangkan itu.
"Bagaimana mbak Nurul tau kalau itu Rendi?" tanya Dinda.
"Pamanku juga dulu adalah orang tuan Arjun Din. Makanya saat pamanku melihat Rendi datang. Dia berusaha mengulur waktu agar aku membawamu pergi."
"Itu artinya keberadaan kita sudah mereka ketahui?"
"Orang mereka ada banyak, bukanlah hal yang sulit untuk mendapatkan informasi tentangku."
"Dia pasti curiga aku bersamamu." kata Dinda lirih.
"Sudahlah tidak apa."
"Aku tidak enak hati menyusahkan mu terus mbak."
Nurul hanya tersenyum sambil menggeleng.
"Kamu tidak menyusahkan ku sedikit pun Din. Misi kita sama Dinda. Ingin membalaskan dendam pada Gatot yang kejam itu."
"Tunggu sampai anak ini lahir mbak, aku akan membantumu untuk melenyapkan tua bangka itu."
"Aku akan setia menunggumu."
"Tapi ini kita akan pergi kemana mbak?"
"Kita pergi ke stasiun. Kita pergi keluar kota. Semakin jauh semakin bagus."
"Iya mbak."
Hanya memerlukan 15 menit untuk mereka sampai ke stasiun kereta api.
Dinda berjalan di belakang Nurul yang antusias mengantri membeli tiket.
Dinda memutuskan untuk duduk karena perutnya yang terasa nyeri. Mungkin dia terlalu kelelahan saat berlari tadi. Apa lagi Dinda baru bangun tidur. Kepalanya juga terasa pusing sekarang.
Kedua mata Dinda seketika membola saat melihat Rendi dan beberapa pengawal berada di stasiun itu juga.
"Gawat.."
Dinda melihat Nurul yang sepertinya tidak sadar atas kehadiran orang-orang tuan Arjun Saputra itu.
Dinda kemudian bersembunyi di kerumunan orang. Lalu mengamati pergerakan orang-orang itu dari jauh.
"Itu dia.." Rendi menunjuk Nurul dan gegas mengejar Nurul yang belum tau itu.
"Hah apa ini?" Nurul terkejut ketika menoleh.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Nurul. Matanya mencari-cari keberadaan Dinda yang entah ada dimana.
"Dimana nyonya Dinda?" tanya Rendi.
"Dinda? Kenapa dia harus bersamaku. Bukankah kalian tau kami tidak akrab."
"Jangan bohong pasti dia bersamamu kan?"
"Kalau memang begitu, lalu dimana Dinda sekarang? Apa dia ada di sampingku?"
Rendi meremas rambutnya sendiri karena bingung. Entah ada dimana Dinda sekarang. Batang hidungnya bahkan tidak sedikitpun nampak di sana.
"Jangan buang-buang waktu. Cepat katakan dimana nyonya Dinda?"
"Astaghfirullah, aku harus menjawab apa lagi? Aku tidak tau dia dimana. Lihat, aku saja membeli satu tiket bukan?" Nurul menunjukkan tiket yang ia beli.
"Ayo ikut kami."
"Eh eh eh eh kalian tidak bisa memaksaku. Atau aku akan teriak."
"Bekerja samalah. Atau keluargamu yang menjadi jaminan." ancam Rendi.
"Jangan kurang ajar kau."
Rendi tidak peduli, terus saja menyeret Nurul yang sedikit merona itu.
"Dimana kamu Dinda? Semoga kamu baik-baik saja sekarang." kata Nurul di dalam hati.
----
Sampai sore Dinda masih berada di stasiun, berharap Nurul kembali. Tapi nyatanya Nurul tidak kunjung kembali juga untuk menjemputnya.
Kembali ke rumah paman Nurul? Tentu tidak. Sudah pasti Rendi akan meninggalkan beberapa anak buahnya di sana.
"Kemana aku sekarang? Sedikitpun aku tidak punya uang. Aku lapar sekali." kata Dinda sembari meraba perutnya yang kerongkongan itu.
Dinda duduk lesu di tepi jalan. Bahkan kalau Rendi kembali dan menemukannya dia sudah pasrah. Tidak punya tenaga lagi karena sedari tadi pagi dia tidak sempat mengisi apapun ke perutnya.
"Apa aku harus mengemis di sini? Tidak mungkin kan?" Dinda bingung.
Dinda menyenderkan tubuhnya di bawah pohon. Dia yang sedang hamil muda itu tiba-tiba tidak enak di perutnya.
"Aaaarghh siapapun culik aku. Huhuhu."
Dinda menunduk meratapi nasibnya, memikirkan kembali masa-masa indahnya sebelum dia menikah dengan tuan Arjun.
"Kenapa aku harus menikah dengan orang yang punya banyak masalah sih."
Hari sudah mulai gelap, Dinda tentu panik. Di kota orang dia tidak mengenal siapapun selain keluarga Nurul. Ingin kembali tapi tidak punya ongkos. Berjalan kaki dia buta arah.
"Cah ayu?"
Dinda menengadahkan kepalanya saat seseorang menyapanya.
"Hah bi Darmi?" Dinda tentu terkejut sekaligus senang. Dia adalah abdi dalem yang cukup lama bekerja pada keluarganya.
"Ya allah cah ayu ngapain duduk di pinggir jalan begini?"
"Dinda tidak tau mau kemana bi. Bibi kapan kembali ke kampung? Dinda sampai lupa bibi orang kota ini."
"Bibi pulang setelah kejadian itu cah ayu."
Nampak raut wajah bi Darmi berubah seketika ketika menyebutkan kejadian itu.
Dinda belum ingin bertanya. Di tempat itu terlalu banyak telinga yang baginya tidak aman.
"Ayo ikut bibi pulang cah ayu. Kebetulan bibi tinggal di dekat sini."
"Tapi bi."
"Sudah ayo, tidak baik perempuan luntang-lantung di jalanan."
"Maacih bi. Bibi masih ibu peri Dinda. Huhuhu." Dinda terharu memeluk bi Darmi.
Bagai malaikat penolong, akhirnya Dinda tidak harus tidur di jalanan. Tuhan sepertinya ada di pihak Dinda sekarang. Setidaknya ia memiliki tempat bernaung untuk sementara.
"Jadi cah ayu sedang hamil? Alhamdulillah." bi Darmi bersyukur sembari mengelus perut Dinda.
"Hehehe iya bi, enggak nyangka ya."
"Iya lah, bibi saja masih ingat masa kecilnya cah ayu. Ini malah sudah mau punya bayi."
"Maacih ya bi sudah mau nampung Dinda."
"Jangan sungkan. Bibi juga sudah minta izin pak rt dan para tetangga. Mereka tidak masalah kok."
"Syukurlah, Dinda jadi tenang."
"Cah ayu pasti belum makan, bibi buatkan makan dulu ya?"
"Inggih sekali lagi maacih ya bi."
Dinda menyantap habis makanan yang di buatkan bi Darmi. Makanannya masih sama enaknya ketika ia masih bekerja di rumahnya.
"Bi, Dinda mau bertanya boleh?" tanya Dinda.
"Tentang romo nggih cah ayu?"
Bi Darmi tau apa isi pikirannya membuat Dinda menundukkan kepalanya.
"Bibi tidak tau betul kejadian yang terjadi cah ayu. Karena saat itu bibi sedang tidur."
"Jadi kejadiannya malam ya bi?"
"Inggih betul cah ayu. Bibi hanya mendengar keributan dan tidak berani keluar. Ibu dan pak lik Paijo juga yang melarang bibi keluar dari kamar."
"Jadi bibi tidak tau siapa yang membunuh papa?"
"Bibi tau, kalau tidak salah namanya Bima. Karena romo berteriak memanggil nama itu dengan sangat jelas."
"Bima, siapa dia bi?"
"Entahlah cah ayu. Tapi cah ayu sebenarnya romo belum meninggal."
"Apa!! Tapi mbak Ambar bilang."
"Semua keluarga cah ayu memang taunya romo sudah meninggal. Tapi sumpah demi allah cah ayu. Bibi bertemu dengan romo tempo hari di stasiun saat bibi hendak pulang kampung."
"Apa kata papa bi?"
"Katanya romo terpaksa menghilangkan diri demi keselamatan keluarga. Memanipulasi orang-orang Gatot agar tidak mengejarnya."
"Ternyata benar dugaanku. Selama ini ada kaitannya dengan Gatot."
"Cah ayu tau siapa Gatot?"
"Ya aku tau bi."
"Satu hal lagi yang cah ayu harus tau."
"Apa bi?" Dinda penasaran.
"Mbak Ambar gagal menikah itu bukan karena pihak pria menolak karena keluarga mbak Ambar bangkrut."