"Wah selamat ya Dona, kamu hebat." Nike menatap sinis ke arah Dona.
Bukannya membalas Nike, Dona justru penasaran dengan Dinda. Mengapa tidak terjadi hal yang ia harapkan. Dinda sama sekali tidak berkomentar dengan rencana tuan Arjun Saputra mempersuntingnya. Dinda tetap sibuk dengan makanannya di piring.
"Seharusnya jangan kamu tidak memberitahu secepat itu Arjun, takutnya ada yang tidak setuju."
Tuan Arjun Saputra melirik ke arah Dinda, atau lebih tepatnya semua orang melihat kearah Dinda.
Dinda yang sadar dengan tatapan semua orang tentu saja ia merasa risih.
Dengan tangan yang tetap sibuk dengan sendoknya, Dinda berkata "Tidak usah menatapku begitu, nikah ya nikah saja. Bukankah itu sudah terbiasa. Kalau aku matipun pasti ada yang maju lagi menjadi istri barunya kan."
Tuan Arjun Saputra terbelalak atas pernyataan Dinda. Ingin marah? Tentu saja. Tapi tidak ada yang salah dari perkataan Dinda tadi. Yang di katakan Dinda ada benarnya juga. Kalau salah satu istrinya ada yang pergi maka dengan waktu yang tidak lama akan datang pengganti.
"Oh ya ngomong-ngomong aku sudah selesai, kalian lanjutkan saja makan kalian. Aku pergi."
"Dinda tunggu, walaupun kamu mengatakan sudah selesai seharusnya kamu menghormati menunggu kami selesai." Nike menegur Dinda.
"Maaf, tetapi aku tidak tertarik dengan obrolan membosankan kalian."
Dinda menatap tajam tuan Arjun Saputra sebelum ia pergi. Dari tatapan itu saja tuan Arjun Saputra bisa mengetahui isi hati Dinda sekarang.
Dengan langkah cepat Dinda pergi meninggalkan mereka. Tapi belum sampai ia ke paviliun nya. Nike berteriak memanggilnya.
"Ada apa? Kamu tidak usah berteriak seperti itu."
"Kenapa reaksimu begitu?" tanya Nike.
"Reaksi apa?" Dinda tidak mengerti.
"Jelas-jelas tuan akan menikahi Dona. Tapi kamu sepertinya biasa saja."
"Memangnya kamu berharap bagaimana? Aku tidak mengerti."
"Kenapa kamu tidak menentangnya? Bukankah Dona itu musuhmu. Dia akan merebut kasih sayang tuan Arjun darimu."
"Sekarang kamu mendukungku? Haha lucu sekali. Bukankah kamu kemarin sangat kesal padaku."
"Aku memang tidak menyukai kalau tuan lebih menyayangimu. Tapi aku lebih tidak rela kalau wanita itu yang mendapatkan kasih sayang tuan. Dia sepertinya hanya berpura-pura lemah saja untuk mendapatkan perhatiannya. Menjijikan sekali."
Dinda kemudian menepuk pundak Nike "Yang sabar ya aku tau perasaanmu. Ini tidak adil bukan? Tapi sayangnya aku tetap saja tidak peduli dengan mereka."
"Kamu tidak boleh seperti ini Dinda. Ini bukan seperti Dinda yang ku kenal. Yang berani melawan semua orang."
Dinda menatap Nike lekat-lekat "Kamu tau, yang kamu katakan itu benar. Aku bahkan lebih benci padanya. Tapi aku terlalu malas untuk meladeninya. Untuk apa aku bersusah payah menghadapinya."
"Tapi kamu.."
"Sssstttt.. Kamu tidak usah mengajariku lagi. Aku tau harus melakukan apa. Aku harus kembali."
"Dinda!!"
Nike begitu kesal karena tidak ada sambutan hangat dari Dinda. Tidak seperti harapannya, Dinda sangat tidak ingin tau tentang hubungan tuan Arjun Saputra dan Dona.
"Aku tidak menyesal kehilangannya, dia yang akan menyesal kehilanganku." kata Dinda dengan perasaan sangat marah itu.
-----
"Daniar!!" pagi-pagi buta Dinda sudah berteriak.
Dengan cepat Daniar berlari kearah dimana Dinda berada.
"Perutku Sa.. Kit.. Sekali."
Terlihat Dinda tengah kesakitan, meringkuk di atas tempat tidurnya yang berantakan.
"Sakit lagi?"
"Iya, cepat tolong ambilkan obatnya lagi."
Daniar segera pergi untuk mengambilkan obat.
"Yah Din, obatnya habis bagaimana dong?"
"Aa argh kenapa harus habis sekarang. Ini melilit sekali."
"Lalu bagaimana dong, atau aku panggil tuan saja kesini."
"Tidak perlu, aku tidak sudi."
"Tapi Dinda daripada perutmu terus begini."
"Ambilkan aku air panas saja cepat."
Melihat Dinda yang terus mengeluarkan keringat dingin tentu saja membuat Daniar menjadi cemas. Terlihat sekali dari raut wajah Dinda, itu pasti sakit. Bahkan terlihat Dinda yang begitu menekan perutnya untuk menahan rasa sakit itu.
Dinda tertidur kembali setelah beberapa menit air panas dalam botol di tempelkan di perutnya. Rasa panas itu sedikit meringankan rasa nyerinya yang teramat sangat itu.
Dinda bangun ketika matahari sudah tinggi, dengan tertatih Dinda berjalan kearah balkon kamarnya. Membuka tirai jendela dan memandangi pemandangan yang monoton itu.
Dinda sedikit terkejut saat melihat adegan tuan Arjun Saputra yang sedang memeluk Dona di depan paviliunnya.
Dinda kemudian menundukkan kepalanya, hatinya seperti teriris saat ini. Lagi-lagi tuan Arjun Saputra mematahkan hatinya untuk kesekian kalinya.
Dinda meluruh ke lantai, kakinya terasa begitu lemas seperti tidak bertulang. Semangatnya hilang seketika.
Ingin menangis tapi tidak bisa. Itu terasa sakit tapi tidak mengeluarkan darah. Dinda diam mematung dalam posisi awalnya. Kembali tiduran di lantai, ia merasa hatinya sangat kosong tanpa kehidupan.
"Dinda kamu kenapa?" tanya Daniar cemas.
"Tidak apa, aku hanya ingin tiduran di sini saja." Dinda mencoba mengelak.
"Are you crazy? Tidurlah di kasurmu yang empuk itu."
"Aku malas sekali pindah ke kasurku Daniar."
"Ayo aku bantu papah."
"Tidak usah, aku ingin tiduran di sini sebentar, itung-itung sambil berjemur juga."
"Bukannya semakin sehat yang ada kamu malah semakin drop Dinda. Ayo cepat bangun." dengan sedikit memaksa Daniar memapah Dinda kembali ke tempat tidurnya.
"Jangan lupa, siang ini kamu harus datang."
"Datang kemana?" Dinda tidak mengerti.
"Tuan Arjun Saputra akan menikahi nyonya Dona siang ini, kamu lupa?"
"Lupa? Bahkan aku tidak tau tentang itu."
"Benarkah? Ini sudah ramai sekali di kediaman. Dan kamu.. Astaghfirullah Dinda."
"Aku tidak akan datang. Bilang saja aku sedang sakit."
"Tapi tuan Arjun Saputra berpesan agar kamu tetap datang apapun keadaanmu."
"Aku sakit Daniar, kamu tau sendiri kan kondisiku sekarang bagaimana?"
"Iya sih.. Tapi bagaimana ya?" Daniar bimbang.
"Aku yang akan menanggung sendiri resikonya. Kamu jangan khawatir."
"Ya sudah, terserah kamu saja."
----
Persis degan yang diucapkan oleh Daniar, tuan Arjun Saputra menikahi Dona di kediaman. Acara penuh khidmat itu tidak di hadiri ketiga istrinya, Dona telah sah menjadi nyonya keempat di kediaman itu. Raut wajah bahagianya justru berbanding terbalik dengan mimik wajah tuan Arjun Saputra yang sepertinya tertekan.
Daripada menghadiri acara, Dinda memilih melepaskan kepenatan dengan duduk santai di kursi taman di tepi kolam.
Dinda mencoba melepaskan semua beban yang ia pikul.
"Entah harus darimana aku memulai. Sekarang justru di hadapkan hal yang begitu menjengkelkan." kata Dinda di dalam hati.
"Ternyata kamu di sini."
Dinda menoleh saat melihat Bella datang dengan wajah angkuhnya.
"Untuk apa kamu kesini, pergilah aku ingin kedamaian."
"Maksudmu aku bagai bencana?"
"Aku tidak berkata seperti itu."
"Terserah lah, aku hanya ingin memberi ucapan belasungkawa untuk saja."
"Siapa yang mati?"
"Sepertinya cinta Arjun untukmu."
Dinda mengernyitkan dahinya, tidak terpikir Bella akan berani mengucapkan hal itu padanya.
"Kalau begitu kamu harus memberiku karangan bunga yang besar bukan?"
"Kamu ini, harusnya kamu tadi datang untuk menggagalkan pernikahan itu. Apakah kamu tidak takut posisimu terancam?"