Bukan Tidak Menerima
Beberapa jam kemudian Cath kembali ke apartemen mereka bersama dengan David.
Walaupun belum menerima David setidak nya pria itu masih bisa berada di samping Cathleen kemana pun perempuan itu pergi.
"Chirs. Thanks banget. Tapi, sorry gue belum bisa menerima lo." katanya di depan lobby apartemen sang ibu mertua.
"Gue ngerti. It's okay." jawab David. Pria itu hanya bisa mengantarkan sampai lobby apartemen saja tanpa menemaninya ke rumah sang ibu mertuanya.
Dia baru saja dapat kabar bahwa Dahna ingin memperbaiki hubungan Daniel dengan Cathleen.
Untuk itu dia mencoba untuk menahan diri terlebih dahulu agar permasalahan yang ada tidak semakin pelik.
"Masuk sana. Ibu hamil jangan keluar malam." David masih saja perhatian. Jelas-jelas dirinya di tolak oleh wanita hamil itu.
Cinta dan kasih sayang David sudah melekat dalam diri pria itu. Walaupun di tolak ia masih tetap akan selalu mencintainya.
Apalagi kini Cathleen hanya tinggal menunggu sang bayinya lahir saja. Setelah itu mereka akan resmi bercerai secara agama dan negara.
Cathleen menganggukkan kepalanya memberikan senyum pada David.
Melambaikan tangan kini wanita hamil tersebut menunggu pintu lift terbuka di depannya.
Setelah terbuka Cathleen masuk ke dalam menekan tombol angka dimana lantainya berada.
Menunggu lift itu sampai di depan pintu apartemen nya cuplikan David melamar dirinya di depan Kania temannya membuat Cathleen terharu pada pria itu.
Dari dulu David memang selalu perhatian dengan Cathleen apalagi sekarang pria itu tahu bagaimana kehidupan rumah tangganya yang rumit.
"Sayang. Kamu lapar ya? Maaf ya Mama lupa tidak bawa susu untuk nutrisi kamu di perut Mama." gumam Cathleen dalam hatinya mengelus perutnya yang semakin hari semakin membuncit.
Ada pergerakan kecil di dalam kandungan Cathleen membuat wanita itu gemas sendiri. Serasa mengobrol dengan lawan bicaranya ketika sang janin merespon setiap usapan yang di lakukan nya.
Ting!
Pintu lift terbuka ketika suara itu berbunyi. Cathleen melangkah menuju apartemen sang ibu mertua perempuan itu menghela napasnya kasar ia tidak bisa terus seperti ini tinggal di dalam rumah mertuanya.
Sementara Cathleen sudah tidak mau rujuk dengan Daniel.
Ting
Tong
Ceklek.
"Malam, bu. Kenapa ibu belum tidur?" sapa nya sekaligus bertanya masuk ke dalam apartemen mertuanya.
"Ibu sengaja menunggu anak perempuan ibu kembali bekerja. Gimana hari ini apakah lelah? Atau ada sesuatu yang membuatmu bahagia?" Wanita setengah paruh baya itu bertanya.
"Apa sih ibu." jawabnya dengan senyuman.
Dahna melarang Cathleen untuk melakukan aktivitas cukup duduk di kursi meja makan dan ia yang akan melayaninya.
Membawakan sup hangat pada wanita hamil itu dengan nasi yang masih hangat juga. Tak lupa minuman nya serta lauk pauknya membuat Cathleen merasa tidak enak.
"Ibuuuu." rengek nya membuat Cathleen merasa terharu.
Wanita itu hanya tersenyum ketika mendengar rengekan sang menantu. Tepatnya Dahna sudah tidak menganggap Cathleen menantunya lagi melainkan sebagai putri kandungnya.
Ia terlalu egois untuk bisa memaafkan putranya yang dengan terang-terangan menikahi wanita lain Demi kepentingan dirinya sendiri.
Sudah lama Dahna jelaskan pada sang putra bahwa istrinya sudah tidak memakai alat kontrasepsi. Pria itu masih saja egois dan berakhir dengan menikahi sahabatnya sendiri.
"Cath, kalau memang kamu sudah tidak mau rujuk bersama Daniel. Ibu tidak akan memaksa, jangan pernah berpikir untuk pergi dari ibu ya. Ibu akan selalu mendukung apapun keputusan kamu." ujar Dahna ketika sang putri telah selesai memakan makanan malam.
"Bu, maafin aku ya ... Aku bukan tidak mau, hanya saja terlalu mudah untuk memaafkan kesalahan besar yang dia lakukan terhadap aku. Tapi, untuk urusan anak kami akan selalu berbagi walau bagaimana pun dia adalah ayah kandung dari bayi ini. Terkecuali jika dia sudah tidak peduli dengan anaknya." jawab Cathleen memegang lengan sang ibu.
"Tidak usah pikirkan itu nak. Yang terpenting kamu bahagia dan calon anak kamu sehat di dalam kandungan." Dahna tersenyum bahagia.
Cathleen hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban perempuan itu melanjutkan camilan malam pasalnya semenjak hamil wanita itu selalu kelaparan.
Maklum saja kehamilan nya sudah akan menginjak trisemester tiga.
"Aku bersih-bersih dulu ya, bu." katanya setelah mengambil buah jeruk selesai di kupas.
Dahna mengangguk. Wanita itu menyuruh sang maid untuk membereskan bekas makanan dan ia akan mengambil puding beserta kopi untuk menemaninya menonton drama tv.
Sementara Cathleen ia baru saja masuk untuk membersihkan diri di dalam kamar mandi.
***
"Niel, aku mau beli perlengkapan bayi. Mana uang nya." Salsabila menengadahkan tangannya meminta uang pada sang suami.
Daniel menoleh dari ponselnya. Cukup helaan napas kasar ia keluarkan sungguh membuat Daniel merasa jera dengan tingkah Salsabila.
Baru beberapa hari yang lalu wanita itu sudah Daniel berikan uang beberapa juta sebagai nafkahnya dalam dua minggu.
Belum genap dua minggu wanita itu sudah kembali meminta haknya.
"Kemana uang yang aku berikan waktu itu? Apa sudah habis?" Daniel bertanya. Semenjak dirinya tidak bekerja pria itu menjadi perhitungan terlebih Salsabila memang boros pada barang yang menurutnya tidak layak di beli.
"Kamu perhitungan ya Niel. Ini keperluan buat anak kamu loh." Salsabila menjadi kesal. Bukanya memberikan uang malah menanyakan uang sebelumnya yang sudah ia habiskan.
"Sa. Bukan aku perhitungan hanya saja kamu terlalu boros memakai uang. Baru saja beberapa hari yang lalu aku kasih ke kamu sudah habis lagi? Beli apa saja sih kamu?!" Daniel pun menjadi terbawa emosi.
"Beli apa saja! Apa kamu pikir membeli kebutuhan rumah itu tidak termasuk dari uang yang kamu kasih, hah? Aku cuma minta uang buat membeli perlengkapan bayi kamu. Kalau memang kamu tidak punya uang bilang saja tidak perlu alasan!" Salsabila membanting pintu kamarnya merasa tidak terima jika selalu di pertanyakan uang yang sudah di berikan.
Daniel menjambak rambutnya kebelakang. Istri keduanya itu selalu membuat dia marah kesal dan emosi.
Berbeda dengan Cathleen perempuan itu selalu terlihat lebih tenang dan tidak neko-neko apalagi Cathleen jarang sekali meminta uang nafkah lahirnya pada Daniel.
"Aku merindukan mu, Cath." menatap cahaya malam di atas balkon. Pria itu meneteskan air mata menyesali perbuatan nya dengan menikahi perempuan lain hanya karena sebuah keturunan.
Semenjak pagi itu Daniel tidak berani untuk menghubungi Dahna sebagai ibu kandungnya. Ia terlalu egois jika harus mengadukan semuanya pada Dahna.
Kesalahannya memang tidak bisa di maafkan begitu saja. Namun, salahkah jika dirinya hanya merindukan istri pertamanya.
Daniel teringat dengan jadwal kontrol Cathleen.
Tut....
Tut....
"Bu, apa aku bisa ikut melihat perkembangan anakku?." setelah panggilan itu tersambung Daniel bertanya.
"Baiklah, bu. Selamat malam." Daniel memutuskan panggilan setelah mendengar jawaban dari sang ibu.
"Apa kamu akan pergi ke dokter bersama istri mu itu?!"
Bugh!