Faruq tersadar dari hipnotis Pak Amir. Dia tergagap-gagap begitu melihat Wisaka, kemudian menunjuk ke depannya.
"Iiitu ... Kang, orangnya!" seru Faruq panik.
"Siapa?" tanya Wisaka sambil melihat kiri-kanan. Tidak ada siapa pun, tetapi kemudian ingat kalau Faruq baru pulih dari pengaruh makhluk terkutuk itu.
"Iblis yang ada di gambar itu, Kakang dari mana saja?" tanya Faruq.
"Sudah kabur, ayo cepat, kita harus secepatnya sampai di kampung, aku khawatir dia akan mencari korban lainnya," ajak Wisaka sambil melesat lari.
"Ayo!" seru Faruq sambil berlari mengejar Wisaka.
Mereka berlari tanpa henti, kalau bisa malam ini juga Wisaka ingin mencapai tempat tujuan. Wisaka dan Faruq berlari secepat mereka bisa. Mereka terlihat seperti kelebatan hantu di siang bolong.
Tiba-tiba Faruq dan Wisaka terjatuh seperti menghantam satu benteng pertahanan di depan. Wisaka yang sedang berlari kencang tidak menyadari rintangan di depan. Dia dan Faruq mental seperti menabrak jala.
"Sialan! Siapa yang menghadang jalanku?" Wisaka bertanya dengan marah.
Pemuda itu memandang berkeliling, tidak nampak siapa pun. Wisaka merasakan aura kehidupan di balik pohon besar. Dia memfokuskan pandangannya ke sana. Nampak olehnya perempuan penyamar itu.
"Sekar," gumamnya. "Hendak apalagi dia?" katanya kepada Faruq.
"Sekar siapa?" tanya Faruq bingung. " Bukankah ia laki-laki?" sambungnya.
"Dia wanita, aku pernah bertarung dengannya," jawab Wisaka. "Keluarlah kau, Sekar!" teriak Wisaka.
Sekar akhirnya keluar, dia berdiri dengan angkuhnya. Memandang Wisaka penuh kebencian. Entah racun apa yang Dewi Kematian tanamkan kepada muridnya itu. Gadis itu memandang tajam Wisaka, matanya yang indah melotot dari balik penutup mukanya. Kali ini Wisaka melihat tangan Sekar dibalut selendang berwarna ungu, sepertinya terbuat dari sutera. Itu pasti luka bekas pertarungan dengannya tempo hari.
"Hendak apa lagi kau, Nyai? Apakah hobimu menghadang perjalanan orang kini?" tanya Wisaka sinis. Dirinya merasa geram karena perjalanannya mesti tertunda lagi.
"Urusan kita belum selesai, Kakang!" serunya.
"Tidak usah kau memanggilku Kakang," tukas Wisaka tak senang. "Panggil aku Wisaka," sambungnya lagi.
"Baiklah, Wisaka, mari kita selesaikan urusan kita sekarang, hiaaat!" seru Sekar sambil bersalto di udara. Dia melemparkan pukulan jarak jauh yang dahsyat.
Wisaka bertahan dengan jurus Kabut Tameng Matahari, gelombang pukulan dari Sekar berbalik arah menuju pemiliknya. Sekejap Sekar seperti terkejut menerima pukulan darinya seolah-olah senjata makan tuan.
"Jurus Kabut Tameng Matahari!" teriak Sekar.
"Kenapa? Kamu kaget?" tanya Wisaka. "Atau kau juga punya jurus yang sama?" Wisaka bertanya setengah mengejek.
"Cih, guruku najis punya jurus yang sama dengan Eyang Astamaya!" teriak Sekar tandas.
"Kau pikir aku akan senang punya jurus yang sama denganmu! Dasar gadis tidak tahu sopan!" umpat Wisaka. Kali ini Wisaka benar-benar marah karena gangguan ini.
Kini Sekar mengeluarkan pedangnya. Dia tidak main-main lagi untuk segera menghabisi Wisaka. Wisaka juga jadi tertantang untuk mengalahkan wanita ini.
"Apakah kau merasa hebat dengan pedangmu itu, Nyai, kau bahkan seperti emak-emak yang bawa pisau dapur untuk mengupas bawang," ejek Wisaka sekalian.
Mata Sekar berkilat, ia merasa sangat marah diejek Wisaka sedemikian rupa. Dia bersiap mengayunkan pedang pusakanya.
Wusss.
Angin berkekuatan senjata tajam melaju melabrak tubuh Wisaka. Wisaka segera menghindar dengan berjumpalitan di udara. Angin itu lewat di bawah Wisaka. Menghantam satu pohon besar di belakang Wisaka tadi.
Blaaar.
Pohon itu tumbang dan terbelah seperti dibelah kampak. Pedang yang sangat hebat dengan baja yang berkualitas, serta diisi tenaga dalam yang luar biasa pula.
"Wow, hebat," kata Wisaka sambil bertepuk tangan. Faruq melihat dengan pandangan ngeri. Pemuda gendut itu berpikir, kalau dirinya yang berhadapan dengan wanita itu pasti tubuhnya sudah hancur.
Wisaka mengukur kekuatan lawan. Seandainya Sekar tidak punya pedang pusaka, dengan mudah Wisaka dapat mengalahkannya. Sekarang bagaimana caranya agar pedang itu lepas dari pegangan Sekar.
"Dengar, Sekar Ayu! Aku kasih kesempatan kamu untuk pergi sekarang! Cepat sebelum aku mengeluarkan pusaka juga!" gertak Wisaka.
"Cuih, sombong sekali kau, hadapi dulu aku, maka dendam guruku akan impas!" teriak Sekar tak mau kalah. Gadis itu mendecih, entah meludah atau tidak, karena mukanya tertutup kain.
"Kau diperbudak dendam, sungguh tidak masuk akal, siapa yang berbuat salah? Mengapa kita yang harus menuntut balas," protes Wisaka.
"Aku tidak akan pulang sebelum mengalahkanmu!"
"Silahkan kalau kau mampu!"
Sekar segera bersiap dengan serangan kedua. Wisaka juga kali ini tidak menganggap enteng lawan. Pemuda itu ingin segera menuntaskan permasalahannya dengan Sekar.
Hiaaat.
Sekar merangsek dengan pedangnya. Terlihat dia tidak maksimal melakukan gerakan. Itu karena luka bekas pertarungannya dengan Wisaka beberapa waktu lalu, belum sembuh betul.
Wisaka pun mengeluarkan pusaka yang hampir sama dengan Sekar, mungkin pedang itu adalah pasangan dulunya. Pemuda itu menangkis serangan demi serangan yang dilancarkan oleh Sekar. Terlihat kalau Wisaka memang unggul.
"Wanita keras kepala!" seru Wisaka. Dia terus mendesak Sekar. Nampak gadis itu kewalahan menghadapinya. Gadis itu hanya mampu bertahan dengan pedangnya kini.
Sebuah tendangan memutar dilakukan Wisaka saat Sekar lengah karena tangannya yang terluka berdenyut sakit.
Bruuught.
Tendangan itu mendarat di dada Sekar, Sekar limbung kemudian terjajar ke belakang. Cepat dia membuka penutup wajahnya.
"Hoek ... hoek." Darah segar muncrat dari mulut Sekar, gadis itu muntah darah. Sepertinya luka dalam serius. Dirinya memandang ke arah Wisaka.
Faruq bergerak hendak menolong, Wisaka menahannya dengan satu tangan.
"Biarkan saja," kata Wisaka dingin.
Faruq hanya memandang iba terhadap gadis yang ternyata sangat cantik itu. Sekar berusaha berdiri dengan sisa-sisa kekuatannya. Akhirnya melesat pergi sambil memegangi dadanya. Wisaka mengembuskan napas lega, kemudian menggulung kembali pedangnya yang sangat tipis itu. Diselipkan di sela ikat pinggangnya. Pedang yang sangat unik.
"Kasihan, Kang," kata Faruq. Dia yang sejak tadi mengawasi, kini berani bicara.
"Kalau aku yang kalah apakah dia akan membiarkan aku hidup?" tanya Wisaka. "Masih mending aku tidak membunuhnya," sambungnya lagi.
"Betul juga ya," kata Faruq sambil manggut-manggut.
Onet yang sejak tadi juga mengkeret di pundak Faruq. Berani melompat ke atas pohon. Ia kemudian mengambil buah-buahan matang dan dilemparkan ke arah Faruq.
"Sialan, gara-gara wanita kesasar itu kita harus menginap lagi di hutan," gerutu Wisaka. Dia duduk sambil mengupas buah pemberian Onet.
"Aku tidak mengerti, Kakang, punya masalah apa antara kalian hingga ada dendam yang begitu membara?" tanya Faruq.
"Aku tidak mengerti, bertemu aja baru dua kali ini. Mungkin yang dimaksud dendam gurunya dia terhadap Eyang Astamaya guruku itu," jelas Wisaka.
"Bukankah mereka sudah meninggal, Kang?" Faruq bertanya lagi.
"Itulah kadang aku melihat mereka, entah mimpi atau bukan. Kisah mereka dulu, ilmu yang mereka kuasai, bahkan Sekar pun pernah aku lihat pula," terang Wisaka.
"Aku tidak mengerti, melihat mereka bagaimana, di mana?" berondong Faruq.
"Ya seperti sebuah film, ada episodenya," kata Wisaka membuat Faruq tambah penasaran.
"Jelaskan dong, Kang," pinta Faruq memohon.