Wisaka teringat kembali dengan mimpinya, ah ... apa memang itu bisa disebut mimpi. Rasanya seperti nyata. Apalagi kini semua ada di depan matanya.
"Cahaya merah itu, apakah ... apak …" Wisaka tidak meneruskan gumamannya.
Sinar merah di ujung goa itu semakin mencorong. Wisaka dengan ragu-ragu mendekatinya. Benarkah seperti yang ada dalam penglihatan dalam semedinya bahwa sinar merah menyala itu adalah sepasang mata naga?
Wisaka tidak berani terlalu dekat untuk memastikan itu. Dia berbelok ke arah sisi goa, kemudian bersembunyi di antara batu-batu besar. Batu itu terasa hangat seperti berada di depan perapian. Wisaka bersikap waspada, naik perlahan-lahan, kemudian melongok ke arah ceruk.
"Astaga, binatang apakah itu?" tanyanya dalam hati. Dia menutup mulutnya sendiri demi dilihatnya seekor binatang berwujud ular, bersisik besar-besar, mengkilap dan berwarna hijau.
Rupanya memang benar, warna merah itu berasal dari mata ular yang terbuka sedikit. Seandainya matanya terbuka lebar, maka akan semakin terang-benderang keadaan sekitar tempat tinggal ular tersebut.
Wisaka tidak melihat ada pusaka di sekitar ular tersebut. Seperti dalam semedinya itu dia melihat Eyang Astamaya mengambil pusaka dari tengah, di bawah perut ular tersebut. Kini tempat itu kosong saat Wisaka menelitinya lebih dekat lagi.
Ular itu bukanlah naga yang dilihat dalam semedinya, tetapi ular biasa yang sangat besar. Bergulung seperti kasur. Wisaka membayangkan seandainya mulutnya terbuka, kerbau pun akan masuk ke dalam mulutnya.
"Apakah ini yang dinamakan ular Anaconda?" Wisaka membatin.
Pemuda itu terus mengamati ular tersebut, sambil mencari-cari pusaka yang dimaksud oleh Kyai Abdullah. Akan tetapi sampai jereng mata rasanya, tidak terlihat tanda-tanda keberadaan pusaka di dekat binatang itu.
Tanpa terasa Wisaka semakin mendekati makhluk melata itu. Dia semakin penasaran, mungkin pusaka itu tertindih oleh badan ular yang begitu besar. Semakin Wisaka mendekat, rupanya ular tersebut mencium bau asing dari tubuh manusia.
Ia menggeliatkan badannya, matanya terbuka lebar, air liurnya menetes dari sudut mulutnya. Seketika goa menjadi terang benderang. Wisaka merasa hawa semakin panas dan pengap. Bau menyengat dari air liur ular pun turut menguar.
"Sialan!" maki Wisaka dalam hati. Dia berusaha menyembunyikan badannya dari pandangan ular tersebut.
Rupanya penciuman ular lebih tajam, ia tahu keberadaan Wisaka. Kepalanya menjulur ke arah Wisaka. Wisaka cepat menghindarinya. Selamat ... Wisaka mengelus dadanya, kali ini pemuda itu bisa bernapas lega.
Ekor ular bergerak cepat, mengibas laksana pecut. Wisaka lari menghindar, ekornya menghantam batu tempat Wisaka bersembunyi tadi.
Blaaar.
Batu hancur berkeping-keping. Wisaka tidak menyangka kalau kekuatan ular itu sedemikian dahsyat. Wisaka mundur untuk mengatur strategi. Senjata pusaka pemberian leluhurnya dulu, dirabanya. Masih terselip di pinggangnya.
Ekor ular itu masih bergerak ke sana-sini, menghancurkan apa saja yang dekat dengannya. Wisaka berlari menghindar, matanya menajamkan pandangan mencari-cari benda yang dicarinya. Nihil, tidak ada benda apa pun.
Wisaka bingung, harus mencari ke mana, sedangkan ular itu nampak semakin marah. Bahkan kini kepalanya berdiri tegak, siap memangsa musuh di depannya.
Pemuda itu bersiap dengan jurus andalannya, jurus Matahari Terbenam. Sinar redup semakin menambah gelapnya goa. Wisaka mengalirkan setengah kekuatannya di kedua tangannya.
Blaaar.
Seperti bola mengenai dinding, serangan itu memantul kembali. Wisaka bergerak menapakan kakinya di dinding. Berjalan dengan cepat menghindar, agar tidak terjadi senjata makan tuan.
"Sial, mengapa perut ular itu seperti karet?" gumam Wisaka heran.
Binatang melata itu semakin marah. Ia terus mencari keberadaan Wisaka. Mengikuti, kemudian ekornya kembali menghantam Wisaka.
Praaak.
Batu besar itu pecah terkena pukulan ekor ular. Matanya semakin menyala-nyala dalam keremangan goa. Wisaka tidak tahu entah berapa lama sudah dirinya bertarung dengan ular tersebut untuk mencari sebuah pusaka. Apakah hari masih malam atau siang? Wisaka tidak peduli.
Wisaka mengeluarkan senjata pusaka miliknya, pemberian kakek leluhur dahulu di Hutan Sancang. Sebuah Kujang dengan cahaya keemasan dikeluarkan dari balik bajunya yang gombrong.
Kilaunya mampu membuat ular itu berkedip sebentar. Selanjutnya binatang itu kembali menyerang Wisaka. Pemuda itu bersiap di bawah bayangan kepala ular tadi. Begitu kepala ular akan melibasnya, dia meloncat ke atas kepalanya. Wisaka mendekap erat kepala ular tersebut. Sementara sebelah tangannya lagi memegang pusaka .
Craaash.
Pemuda itu menancapkan senjatanya ke mata ular. Darah menyembur dari mata yang terluka. Kepala ular mengibaskan badan Wisaka. Laki-laki itu terpental menabrak dinding goa. Sesaat Wisaka merangkak hendak berdiri. Sang ular jauh lebih cepat mendekati Wisaka. Mulutnya terbuka lebar-lebar. Hap ... Wisaka sudah berada di mulut ular.
Tangan pemuda itu menggapai-gapai, pusaka Kujang tetap terpegang erat di tangannya. Badan Wisaka meluncur memasuki tenggorokan dan mendarat di perut yang penuh cairan. Wisaka bangun, mengusap mukanya yang penuh dengan lendir. Dia mengumpulkan segenap ingatannya.
"Apakah aku sudah mati?" Dia bertanya kepada dirinya sendiri, kemudian memeriksa nadinya, masih terasa berdetak.
Keadaan begitu gelap gulita, Wisaka tidak mampu melihat apa pun.
Dug ... dug ... dug.
Suara berirama itu yang terdengar. Wisaka meraba dadanya, adakah jantungnya berbunyi sekeras itu? Namun, bukan jantungnya yang berbunyi. Bunyi itu seperti langkah orang di lantai papan. Laki-laki itu mengerahkan tenaga dalam ke pusaka yang dipegangnya. Berharap Kujang itu mengeluarkan cahaya untuk menerangi sekitarnya. Benar dugaan Wisaka, begitu tenaga dalam tersalurkan, pusaka itu mengeluarkan sinar.
Seperti memegang obor, Wisaka mencari asal suara, nampaklah jantung ular yang besar sedang berdetak, berdenyut-denyut menimbulkan suara tadi.
Sesuatu yang redup tertimpa cahaya dari kujang tersebut menarik perhatian Wisaka. Terseok-seok dirinya menghampiri benda tersebut. Bukan perkara mudah berjalan di dalam perut ular yang selalu berguncang dan sangat licin. Berkali-kali Wisaka jatuh bangun.
Benar saja, kotak ukir-ukiran tergeletak di sana. Wisaka mengambilnya, kemudian membukanya. Sesuatu yang aneh bergulung seperti cemeti tetapi terbuat dari logam yang sangat lentur.
"Apakah ini sebilah pedang?" tanya hati Wisaka. Dia mengamati bentuk benda tersebut. Terdapat gagang yang sangat unik berbentuk kepala ular. Matanya terbuat dari permata berwarna merah.
Wisaka mencoba mengeluarkan benda tersebut dari kotaknya, benda itu memang sebuah senjata. "Mungkin ini yang dimaksud oleh Kyai Abdullah," pikirnya.
Wisaka kembali menggulung pedang tersebut, memasukannya kembali ke kotaknya. Senjata Kujang juga dia simpan kembali ke balik ikat pinggangnya. Wisaka duduk di atas usus ular sambil memegang kotak, berpikir bagaimana caranya bisa keluar dari perut ular.
Tiba-tiba Wisaka merasakan satu goncangan keras seperti gempa terasa olehnya. dirinya terombang-ambing di antara cairan dan usus ular. Wisaka memegang erat-erat kotak berisi pusaka dan mencari-cari pegangan.
Wisaka ingat sifat ular Anaconda, makhluk itu akan memuntahkan kembali mangsa yang sudah ditelannya. Laki-laki itu membiarkan dirinya diombang-ambing oleh cairan di perut ular. Perlahan-lahan terangkat dan meluncur ke bawah seperti berbelok.
"Apakah ini saatnya," pikir Wisaka.