Orang itu memakai baju hitam dengan celana panjang komprang. Ikat kepala serta penutup muka serba hitam. Pinggangnya diikat ban hitam juga, sepertinya terselip satu senjata berupa pedang di sana.
Ia celingukan dengan muka kesal. Terlihat dari sorot matanya yang memandang tajam ke segala arah. Mencari-cari orang yang telah melemparkan buah kepadanya.
Wisaka tertawa geli, suruh siapa ia mengerjai dirinya tadi. Giliran dibalas mencak-mencak marah. Wisaka masih menikmati pemandangan itu dari atas pohon.
Hup.
Wisaka melompat ke bawah, tahu-tahu sudah berdiri di belakang orang yang membuntutinya. Si baju hitam itu belum menyadarinya, malah berteriak-teriak kepada orang yang mengganggunya, suruh menampakkan diri.
"Aku di sini, Kisanak," kata Wisaka.
Orang itu sampai terlonjak saking kagetnya. Ia bersalto dan bersiaga, menatap marah dengan matanya yang tajam.
"Siapa, kau?" tanyanya.
"Terbalik, aku yang seharusnya bertanya, kamu siapa? Mengapa membuntutiku?" Wisaka balik bertanya.
"Tidak usah banyak bertanya, terima seranganku!" teriaknya. "Hiaaat!" serunya sambil meloncat ke arah Wisaka.
Wisaka menghindar, dia berkelit ke kiri, serangan itu lolos. Wisaka dapat mengukur kekuatan lawan. Tidak lebih tinggi dari ilmunya, tetapi nampak musuh begitu ringan bergerak karena tubuhnya yang ramping.
"Aku tidak punya masalah denganmu, mengapa kau menyerangku?" Wisaka bertanya. Pemuda itu merasa penasaran dengan orang ini.
"Ada dendam masa lalu yang harus aku selesaikan denganmu keparat ... hiat ... hiat!" serunya di tengah-tengah serangannya.
"Dendam masa lalu apa?" Wisaka merasa marah dengan pernyataan orang yang menyerangnya. Geram dengan ucapan kasarnya.
Orang berpenutup wajah itu rupanya tidak main-main dengan ancamannya. Merasa serangannya dapat dimentahkan oleh Wisaka, ia mengambil pedang yang terselip pada ikat pinggangnya. Sarung pedang yang unik, terdapat ukiran naga yang sedang menyemburkan api.
Sejenak Wisaka tertegun melihat kilaunya, apalagi saat dicabut dari sarungnya. Mata pedang itu berkilat tertimpa sinar matahari. Bergetar hati Wisaka melihat aura pedang tersebut.
"Tunggu!" seru Wisaka. "Ada dendam apakah antara kita ini?" tanya Wisaka mengulang pertanyaannya.
Orang berkostum serba hitam itu tidak menjawab, ia sibuk memutar-mutar pedang di tangannya. Sinarnya yang memantulkan cahaya matahari berkelebat-kelebat. Begitu terkena rimbunan pohon terdekat, pohon itu seperti terpapas pisau yang sangat tajam.
"Wow!" Wisaka melompat menghindar.
Kali ini Wisaka tidak mau main-main lagi, dia harus memburu waktu untuk segera pergi ke goa tempat penyimpanan pusaka. Wisaka ancang-ancang akan pergi, tidak mau meladeni orang tersebut. Melihat gelagat Wisaka akan pergi, pemuda itu menghalangi jalan Wisaka.
"Urusan kita belum selesai, mau kemana kau!" teriaknya sambil meloncat ke depan Wisaka.
"Kita tidak ada urusan. Tidak pernah ada dendam di antara kita, apalagi di masa lalu. Aku baru pertama kali ini bertemu denganmu, Kisanak!" hardik Wisaka kesal. Dia merasa orang ini sudah menghalangi jalannya dengan segala omong kosongnya.
Bukannya pergi, orang itu malah menghunus pedang, menyerang Wisaka. Jelas sekali manusia ini ingin mencelakai Wisaka. Terpaksa Wisaka meladeninya kali ini, pemuda itu ingin persoalan ini cepat tuntas.
Wisaka memasang jurus Matahari Terbenam. Tiba-tiba cuaca yang tadinya panas berubah menjadi teduh seperti sore hari. Pedang yang tadi berkilauan terkena sinar matahari, pudar juga auranya. Orang itu terlihat berusaha mengalirkan tenaga dalamnya lebih besar lagi untuk membuat mata pedang tetap dalam kekuatannya.
Desss ... dhuarr.
Wisaka melancarkan serangannya. Pemilik pedang melintangkan senjatanya di depan dadanya, tetapi pedang itu mental dari tuannya. Cepat-cepat Wisaka melompat menangkapnya di udara.
Orang asing berbaju hitam itu terjengkang. Terjajar dan terlentang di tanah. Wisaka memburunya, menginjak dadanya. Pedang yang kini di tangan dipakainya untuk membuka penutup wajah pemuda ramping itu.
"Kau ... aku sudah menduganya, siapa kau?" bentak Wisaka.
"Aku ... Ayu Sekar," jawabnya singkat.
Mukanya merah menahan malu karena identitasnya ketahuan Wisaka. Oh ... ternyata betul kecurigaan Wisaka. Dia heran sejak di atas pohon tadi, mengapa suara itu terdengar seperti suara wanita. Walau orang itu sudah berusaha untuk melakukan penyamaran dengan baik.
"Katakan, siapa yang menyuruhmu?"
"Aku tidak disuruh siapa pun?"
"Ada dendam apa antara aku dan kau?" tanya Wisaka sambil melepaskan injakannya.
"Aku murid Dewi Kematian!" serunya sambil secepat kilat merebut pedang dari tangan Wisaka, kemudian melesat dari hadapan Wisaka yang sedikit lengah.
"Apa? Murid Dewi Kematian!" pekik Wisaka tertahan. "Tunggu," sambungnya sambil lari mengejar gadis tersebut. Wisaka kehilangan jejaknya. Hanya pohon-pohon kecil yang bergoyang terkena angin bekas kepergiannya.
"Apa katanya tadi, murid Dewi Kematian? Bukankah Dewi Kematian hanya ada di zaman dahulu?" gumam Wisaka penuh tanda tanya. "Apakah semua ada hubungannya dengan Eyang Astamaya yang mengangkatku sebagai muridnya, walau sudah berpuluh tahun meninggal." Wisaka menduga-duga. "Ah ... apakah ini hanya kebetulan, atau memang gadis itu sengaja mencariku?"
Wisaka yang tidak habis pikir terus saja berkata-kata sendiri, tidak habis pikir. Dia saja bertemu Eyang Astamaya seperti dalam mimpi, lalu gadis itu tadi apakah sama seperti dirinya? Bertemu Dewi Kematian dalam mimpi.
Pikiran Wisaka tidak mampu menduga-duga lebih jauh lagi. Mungkin lain hari masih bisa bertemu dengan gadis itu. Bukankah tadi sudah memberi tanda kenang-kenangan di punggung tangannya. Tidak sengaja gadis itu tergores pedang saat merebutnya dari Wisaka tadi. Darah mengucur deras, dan yang pasti akan menimbulkan guratan panjang bekas luka. Wisaka pasti akan langsung mengenalinya kalau nanti berjumpa lagi.
Gadis itu pasti akan mencarinya kembali dengan kekuatan yang lebih dahsyat tentunya. Dewi Kematian, gurunya itu tidak akan membiarkan Ayu Sekar serah bongkokan atau menyerah pasrah kepadanya. Pasti akan mengajarinya lebih keras lagi. Supaya saat bertemu dengan Wisaka tidak membawa pulang malu, alias kalah.
Wisaka merasa hidupnya akan banyak masalah kini. Akan ada banyak persoalan yang mau tidak mau harus diselesaikan olehnya. Wisaka akan terjebak di dalamnya.
"Satu persoalan belum selesai, persoalan lain yang tidak aku ketahui duduk perkaranya sudah menjeratku," keluh Wisaka.
Wisaka terus berlari mencari goa yang disebutkan oleh Kyai Abdullah tadi malam. Hari hampir malam tetapi Wisaka belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan goa tersebut.
"Apakah aku akan kemalaman di jalan ini, di manakah adanya goa yang dimaksud," kata hatinya.
Wisaka berpacu dengan waktu. Berlari melawan arah matahari terbenam. Dari kejauhan samar-samar di keremangan senja, pemuda itu melihat pohon seperti petunjuk Kyai Abdullah.
Sebuah pohon beringin yang sudah berjenggot, akar gantungnya begitu lebat. Wisaka mencari-cari di sekitarnya. Pohon itu terdapat di sebuah bukit.
'Mana ada goa di sini?' pikir Wisaka.
Wisaka mencoba berjalan ke ujung bukit, ke arah lerengnya. Benar dugaan Wisaka, mulut goa itu terdapat di situ. Jadi, pohon beringin itu ada di atas goa tersebut. Wisaka berjalan dengan hati-hati memasukinya, takut ada jebakan menantinya.
Wisaka seperti dejavu. Bukankah dalam semedinya juga dia melihat suasana yang sangat persis, ataukah hanya sebuah kebetulan saja.
"Cahaya itu, apakah ... apakah?" Wisaka tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.