"Tampakkan wujudmu!" seru Wisaka.
Suara tawa itu semakin nyaring. Wisaka kembali melihat Eyang Astamaya dalam mimpinya. Datang dengan suara tawanya yang menyakitkan telinga, tiba-tiba saja sudah duduk di hadapan Wisaka.
"Ilmu apalagi ini, Eyang?" tanya Wisaka sambil menutup telinganya. "Hentikan!" teriak Wisaka. Wisaka merasa telinganya pekak dan berdengung demi mendengar suara tawa yang aneh itu. Eyang Astamaya menghentikan suara tawanya.
"Tutup pendengaranmu, pakai jurus Kabut Tameng Matahari, fokuskan pikiran ke hal lain, dengan begitu suara itu tidak akan merusak gendang telingamu!" suruh Eyang Astamaya.
"Aku tidak punya jurus itu, Eyang, jurus apakah itu? Apa yang akan terjadi kalau kita terkena jurus itu?" tanya Wisaka.
"Anak bodoh, mengapa masih bertanya? Gendang telingamu bisa pecah dan mengalirkan darah, merambat ke pembuluh darah di otakmu, itu namanya jurus Tanduk Kijang Mengorek Telinga," kata Eyang Astamaya. "Mengapa tak kau pelajari ilmu yang sudah aku ukir di dinding goa?"
"Aku masih ragu, Eyang," jawab Wisaka.
"Bodoh, kamu pikir setiap orang bisa mencapai goa ini? Tidak, Wisaka. Kamu bisa menemukan tempat ini, karena aku sudah memilihmu dan mengutus Galuh untuk menjemputmu," tegas Kakek sakti itu.
Wisaka manggut-manggut, mengertilah dia kini. Teringat kembali saat pertama melihat Galuh dan membuntutinya hingga masuk ke goa ini. Rupanya ini adalah kehendak pemilik goa, Eyang Astamaya.
"Jurus yang tadi Eyang pakai untuk menghantamku, apakah seperti itu juga akibatnya kalau dipakai untuk menghancurkan musuh?" tanya Wisaka ragu-ragu. Dia takut Eyang Astamaya marah.
"Tentu saja, Iprit itu bisa hancur kalau kau sudah menguasai betul jurus itu, jurus Matahari Terbenam namanya," jelas Kakek tua itu. "Kau harus mempelajari ilmunya besok pagi, setelah itu kau harus bersemadi selama tiga hari," suruh Eyang Astamaya.
"Tapi, Eyang, aku harus meneruskan perjalanan mencari Kyai Abdullah," kata Wisaka.
"Tujuanmu mencarinya apa? Ingin mendapatkan ilmu untuk membasmi Iprit itu bukan? Sama saja, dengan ilmu dariku kau bisa menumpas iblis itu. Siapa tahu saat digabungkan dengan ilmu dari Kyai Abdullah, kamu akan semakin mudah menaklukkan iblis keparat itu," kata Eyang Astamaya lagi.
Wisaka terdiam, ada baiknya memang apabila untuk beberapa waktu menjadi murid dari seorang kakek misterius ini. Mungkin dengan banyaknya ilmu bisa mengalahkan iblis Iprit itu.
"Ingat saat kau bersemedi, akan ada banyak godaan dari para siluman yang menyamar, kau harus bisa membedakannya, mengerti anak muda?" tegas Eyang Astamaya.
Wisaka mengangguk cepat tanda mengerti. Dia sudah mengambil keputusan untuk tetap tinggal di goa ini untuk menguasai jurus Matahari Terbenam dan jurus Tanduk Kijang Mengorek Telinga.
Keesokan harinya Wisaka mempelajari jurus Kabut Tameng Matahari, setelah sedikit menguasainya pemuda itu mengutarakan maksudnya untuk bersemedi kepada Faruq. Faruq mengerti dan bersedia menunggu. Selama Wisaka bersemedi Faruq akan berjaga bersama Onet dan Galuh di goa, supaya semedi Wisaka tidak ada yang mengganggu.
"Baiklah, Kang, aku akan keluar dulu bersama dengan Onet dan Galuh, mencari makanan dan berjaga-jaga, siapa tahu ada binatang buas yang masuk dan mengganggu semedimu," kata Faruq sambil melambaikan tangannya ke arah Onet dan Galuh. Mereka serentak berlari ke luar goa.
Sepeninggalan mereka Wisaka mencari tempat ternyaman, kemudian duduk di batu dan mulai bersedekap. Dia memejamkan matanya dan mulai berkonsentrasi mengosongkan pikiran. Perlahan-lahan pikiran alam bawah sadarnya pergi ke suatu tempat yang asing baginya.
Wisaka melihat dirinya tengah berada di suatu padang rumput. Bersemedi di bawah pohon rindang, satu-satunya pohon di tengah padang rumput tersebut.
"Kang, Kang!" Faruq berseru dari kejauhan. Nampak dia tengah dikejar oleh segerombolan serigala yang kelaparan.
Wisaka bergeming teringat pesan Eyang Astamaya. Namun, hatinya juga tidak tega membiarkan Faruq bergulat sendirian.
"Tolong, Kang!" teriak Faruq.
Wisaka tetap diam meneruskan semedinya. Dia menutup pendengarannya dengan jurus Kabut Tameng Matahari, akan tetapi karena ilmunya belum sempurna dirinya masih bisa mendengar jeritan Faruq.
"Kang, tolong!" Kembali terdengar jeritan Faruq. Kali ini Faruq diterkam oleh kawanan serigala itu, kemudian dirobek-robek badannya. Wisaka masih tetap diam, walau hatinya tergerak untuk menolong Faruq. Tiba-tiba Faruq dan kawanan serigala itu menghilang dari pandangan Wisaka.
Malam menurunkan gelapnya ditingkahi suara-suara binatang hutan. Faruq, Onet dan Galuh sedang beristirahat setelah seharian berburu kelinci yang tadi sudah dibakar sebagai makan malam. Mereka kini tertidur pulas.
Wisaka masih meneruskan semedinya. Dia duduk bersila dengan tegap, sementara tangannya tetap bersedekap di atas dada. Pemuda tampan itu semakin khusyuk.
Angin dingin tiba-tiba datang membuat sejuk goa yang agak pengap. Seiring dengan itu nampak sesosok bayangan perempuan bergaun ungu dengan dandanan ala putri China. Rambut panjang dengan tusuk konde manik-manik yang menjuntai. Wanita itu menghampiri Wisaka.
Harum semerbak mengiringi kedatangannya. Hampir saja Wisaka membuka matanya. Jurus Kabut Tameng Matahari digunakan lagi, Wisaka merasakan wangi itu semakin mendekatinya.
Semakin santer, dan kini dia merasakan sebuah tangan halus mengusap-usap pundaknya, kemudian lehernya. Ada angin hangat yang menerpa telinganya seiring bisikan mesra dari sang Putri.
"Kakang, bangunlah," bisik wanita itu halus.
Wisaka yang sudah menggunakan jurus Kabut Tameng Matahari tentu saja tidak mendengar perkataan wanita itu, tetapi dirinya masih bisa merasakan hangat napasnya di telinganya. Sebagai laki-laki normal tentu saja Wisaka merasa sedikit terganggu dengan kehadiran wanita itu. Apalagi wanita itu semakin agresif dan mulai kurang ajar. Si Cantik itu memeluk leher Wisaka dari belakang, kemudian mulai mencumbunya. Ia mencium Wisaka dengan liar.
Susah payah Wisaka menahan hasratnya yang mulai timbul. Berkonsentrasi penuh dan tidak memikirkan apa pun. Menutup seluruh panca inderanya, termasuk menutup jalan pernapasan. Wisaka tidak bernapas untuk menetralisir gejolak nafsu birahinya.
Wisaka merasakan ada kain lembut jatuh di tangannya yang sedang bersedekap. Rupanya wanita jadi-jadian tersebut sudah melepaskan bajunya. Masih bisa dirasakan oleh Wisaka, sebuah kulit halus bergesekan dengan punggungnya yang telanjang.
Hati Wisaka berdesir, semakin menguatkan hatinya untuk tidak tergoda. Wanita itu semakin erotis menggosokkan badannya ke badan Wisaka. Wisaka merasa semakin sulit berkonsentrasi. Dadanya sesak menahan gejolak hasratnya serta efek dari menahan napas.
"Gerrrh."
Tiba-tiba satu suara menggeram dengan begitu dahsyat. Seekor harimau jantan melompat ke arah wanita itu, mencakar, menggigit dan membantingnya ke tanah.
"Bruuuk."
"Aaah."
Suara jeritan menggema disertai menghilangkannya sosok wanita. Asap tipis mengepul dari tempat wanita itu lenyap. Wisaka menghembuskan napasnya lega, tetapi tak sedikit pun dia membuka matanya. Terasa oleh Wisaka, bulu-bulu hangat menggesek punggungnya, kemudian terdengar auman harimau.
Harimau itu membuka mulutnya lebar-lebar, seperti hendak memangsa Wisaka bulat-bulat. Faruq yang terbangun karena bunyi auman harimau kaget dan berteriak gugup.
"Hendak kau aa-aa-pakan, Kang Wisaka?!"
Harimau itu berbalik memandang Faruq, matanya berkilat dan menyala di keremangan goa . Faruq mengkeret ketakutan.
"Matilah aku, matilah aku!" Faruq berteriak putus asa.