Kuntilanak itu memandang Wisaka. Sorot matanya menyiratkan kebingungan. Ia nampak gelisah. Mungkin karena sebentar lagi matahari akan terbit di ufuk timur.
"Dengarkan baik-baik, jangan karena kau bisa menghilang dengan selendang ini. Kau bisa seenaknya mempermainkan manusia, kalau mempermainkan sesama demit aku tidak peduli. aku tahu selendang ini sangatlah penting untuk menjagamu dari kejaran demit-demit yang lain. Jadi jaga! Jangan sampai kau bermasalah dan selendangmu berpindah tangan, mengerti?"
Kuntilanak itu manggut-manggut, lantas menunduk. Rambutnya bergerak menutupi wajahnya yang pucat pasi. Ia berdiri tanpa menjejak tanah.
"Ini ambillah!" perintah Wisaka.
Kuntilanak itu berkelebat cepat menyambar selendangnya, kemudian melayang pergi. Menyisakan tawa cekikikan yang semakin menjauh.
"Mengganggu tidur saja," kata Wisaka sambil merebahkan badannya di batu datar.
**
Faruq dan Wisaka menggeliat saat mendengar suara Onet berisik ak ak uk uk. Rupanya hari sudah siang. Onet sudah kembali dengan buah pisang hutan di tangannya.
Wisaka dan Faruq kembali melanjutkan perjalanan. Masih hutan lebat sisi kiri dan kanan jalan. Banyak pohon yang kebetulan sedang berbuah.
"Onet, kamu lihat itu buah ungu-ungu bergerombol, ha ... itu manis sekali rasanya," kata Faruq sambil tertawa. Dia menunjuk pohon gowok atau kupa yang sedang berbuah lebat.
"Gundulmu manis, itu asem sekali rasanya," kata Wisaka.
"Ayo, Onet, kamu manjat! Lumayan buat bekal kita di perjalanan,'" suruh Faruq.
"Kamu dong yang naik Faruq! Bisa enggak?" tanya Wisaka setengah mengejek.
"Siapa bilang aku tidak bisa, lihatlah kemampuanku!" seru Faruq. Dia bersiap naik sambil membusungkan dada.
Faruq naik ke pohon gowok, tapi rupanya dia tidak pandai memanjat. Badannya yang subur merosot lagi ke tanah. Dadanya tergores kena batang pohon yang kasar. Bilur-bilur merah tercipta di sana.
Onet menyeringai sambil bertepuk tangan. Wisaka tertawa melihat usaha Faruq yang tidak putus asa. Melorot lagi, melorot lagi.
"Awas, minggir!" Wisaka berseru sambil melompat ke batang pohon. Dia naik dengan begitu cekatan. Onet turut melompat ikut naik.
"Hey, tunggu!" Faruq berteriak-teriak di bawah. Nampaknya masih berusaha keras untuk dapat naik.
Wisaka dan Onet tidak memperdulikan Faruq. Mereka sibuk memilih buah yang sudah ungu kehitaman pertanda matang maksimal. Rasanya pun tidak terlalu asam, segar sekali dimakan tengah hari.
"Tangkap, Faruq, itu hadiah untuk orang yang gak bisa manjat!" Wisaka berteriak menggoda Faruq. Dia melemparkan buah yang masih hijau untuk Faruq.
Faruq cemberut digoda Wisaka. Bibirnya manyun sambil memungut buah gowok pentil. Dia penasaran dengan rasanya.
"Sialan, asem banget!" seru Faruq.
Wisaka tergelak sambil duduk di dahan. Pemandangan dari atas pohon begitu indah, Wisaka memandang jauh ke depan. Dia tertarik dengan sesuatu yang bergerak-gerak di dekat rumpun bambu.
Seekor rusa sedang asyik merumput. Bukan rusanya yang membuat Wisaka tertarik. Ada sesuatu di dahi rusa tersebut. Benda berkilauan terkena sinar matahari, apabila kepala rusa itu bergerak.
Wisaka cepat-cepat turun, lalu berjalan cepat menuju tempat rusa. Faruq heran melihat sikap Wisaka.
"Eh ... eh mau ke mana, ada apa, Kang?" tanya Faruq sambil mengekor Wisaka.
Wisaka tidak menjawab, dia hanya meletakkan telunjuk di bibirnya. Faruq mengerti dan diam, hanya kepalanya celingukan melihat kiri-kanan. Berfikir keras, ada apakah ini?
Wisaka bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dia memperhatikan benda apa yang berkilauan di dahi rusa tersebut. Di antara dua tanduknya terdapat sebuah permata, indah sekali. Permata berbentuk air mata berwarna biru.
"Ssst ... lihatlah, rusa itu memakai permata," kata Wisaka pelan. Faruq turut memperhatikan keanehan itu.
"Ya, betul, siapa yang memakaikan perhiasan itu di kepala rusa?" tanya Faruq.
Wisaka mengedikkan bahunya. Matanya terus memperhatikan rusa tersebut. Rusa itu berjalan gontai menuju suatu tempat. Wisaka dan Faruq mengikutinya. Onet memperhatikan dari atas pohon.
Rusa semakin masuk ke dalam hutan. Sesekali ia berlari lincah, tanduknya yang bercabang banyak tidak menyulitkannya bergerak. Wisaka dan Faruq terus mengikutinya.
Sampailah rusa itu ke sebuah mulut goa. Ia berbalik, kemudian melihat sekitarnya seperti memastikan kalau tak ada orang lain yang mengikutinya. Setelah dirasa aman, ia pun masuk.
Wisaka memberi tanda kepada Faruq dan Onet. Mereka mengikuti Wisaka masuk ke dalam goa. Mereka merundukkan kepala karena mulut goa yang rendah. Kegelapan menyambut. Wisaka dan Faruq melangkah dengan hati-hati.
Mereka tidak menemukan rusa tersebut karena tidak ada penerangan dalam gua. Kegelapan membuat tidak dapat melihat sekeliling dengan jelas. Wisaka teringat sesuatu, kemudian memutuskan keluar goa untuk membuat obor. Pemuda itu melihat pohon jarak tumbuh berjejer di luar goa tadi. Seperti seseorang sengaja menanamnya.
Wisaka dan Faruq mengumpulkan biji-biji jarak yang sudah tua. Mereka menusuknya dengan bambu. Wisaka menggesek-gesek batu dekat sampah bekas menyiangi bambu. Sampah halus tersebut cepat terbakar, apinya dipakai Wisaka untuk membakar biji jarak.
Mereka kembali ke dalam goa. Tercengang Wisaka melihat keadaan di dalam goa. Goa begitu bersih dan sepertinya sebuah tempat tinggal, karena terlihat dari lantai goa yang padat seperti sering terinjak-injak.
"Apakah ada orang!" Faruq berteriak-teriak.
Tidak ada jawaban, hanya gema suaranya yang berdengung. Mengembalikan suaranya lebih kencang. Wisaka melihat sekeliling goa. Terdapat sendang kecil yang airnya jernih dan dingin. Wisaka mencuci mukanya di sana.
"Hmm, sedap rasa airnya," kata Wisaka, sesaat setelah meminum air sendang.
"Benarkah?" tanya Faruq. Dia menciduk air dengan tangannya dan meminumnya. "Betul manis rasanya," lanjut Faruq.
Wisaka terus berjalan menyusuri goa. Ada tangga dari batu-batu besar menuju sebuah ruangan. Wisaka naik, kemudian masuk ke ruangan tersebut. Dia terheran-heran dengan semua yang ada di ruangan itu.
"Ruangan siapa ini, Kang?" tanya Faruq pelan. Dia melihat kiri-kanan dengan raut muka ketakutan. Melihat sesuatu yang bersinar di pojokan. "Itu apa, Kang?" Faruq menunjuk.
Wisaka menoleh ke arah tempat yang ditunjuk Faruq. Cahaya kebiruan nampak kelap-kelip terkena cahaya obor Wisaka. Wisaka dan Faruq mendekatinya. Mereka kaget setelah tahu benda apa yang bersinar tersebut.
"Bukankah itu rusa yang tadi, Kang?" tanya Faruq berbisik.
"Ssst ... jangan berisik," kata Wisaka sambil menempelkan telunjuknya di bibir. "Pegang obor ini, aku akan ke sana!"
Dengan mengendap-endap Wisaka pergi ke arah sinar berasal. Terlihat olehnya rusa itu bersembunyi di sebuah ceruk kecil. Ia memandang ke arah Wisaka.Tidak bermaksud mengganggu Wisaka kembali ke tempat Faruq.
Terlihat Faruq sedang mengobori sesuatu. Tangannya memegang dinding, mengusap lalu meniupnya. Wisaka ikut mengamati dinding. Membersihkan dan sesekali mencungkil dengan jarinya. Mereka terperanjat dengan penampakan di dinding tersebut. Wisaka penasaran, pemuda itu bergeser membersihkan dinding goa lagi. Seperti sebelumnya dia nampak kaget.
"Ini gambar apa, Kang?"